Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Krisis Bisnis Properti, Goyahnya Bisnis Termasyur di Tiongkok
8 November 2022 10:16 WIB
Tulisan dari Muhammad Dimas Raply tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tiongkok merupakan salah satu negara Super Power yang memiliki kekuatan ekonomi yang sangat besar. Salah satu penunjang ekonomi Tiongkok adalah bisnis properti, yang mana bisnis properti ini menyumbang kurang lebih 30% dari ekonomi Tiongkok. Namun, akhir-akhir ini banyak yang mengatakan Tiongkok sedang mengalami krisis properti. Jika kita lihat lebih dalam, sebenarnya krisis properti sudah dipupuk sejak zaman pemerintahan Deng Xiao Ping. Pada saat itu, Deng membuat sebuah kebijakan yaitu gaige kaifang yang berarti keterbukaan terhadap dunia luar dan hal ini membuat banyak investasi asing masuk ke Tiongkok, sehingga membuat banyak penduduk desa berpindah ke kota dengan jumlah ratusan juta orang.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya perpindahan ini membuat demand properti di kota-kota melonjak hebat. Selain itu, di dalam masyarakat Tiongkok terdapat budaya yang menganggap jika seseorang terutama laki-laki yang memiliki banyak rumah maka dia dipandang semakin berharga. Sehingga banyak orang yang berbondong-bondong membeli rumah bukan untuk digunakan tetapi hanya untuk kebutuhan gengsi, sehingga di Tiongkok banyak ditemukan rumah-rumah dan apartemen kosong yang tidak digunakan.
Tiongkok merupakan negara dengan kepemilikan rumah yang sangat tinggi, yang mana hampir 90% masyarakat Tiongkok sudah memiliki rumah, bahkan mereka bisa memiliki lebih dari satu rumah. Dapat kita bayangkan dengan banyaknya populasi masyarakat Tiongkok dan hampir semua populasinya memiliki rumah sendiri bahkan lebih dari satu rumah, tentu saja hal tersebut membuat demandnya sangat tinggi. Banyaknya rumah dan apartemen 'berhantu' yang dibangun di Tiongkok terjadi karena memang masyarakat menggunakannya hanya untuk berinvestasi. Selain karena faktor budaya, banyaknya apartemen kosong di Tiongkok juga karena masyarakat membeli rumah untuk berinvestasi, yang mana bisnis properti merupakan komoditas investasi terbaik di Tiongkok dengan harganya yang tiap tahun selalu meningkat. Oleh karena itu banyak developer yang membangun apartemen di antah berantah bahkan akses jalannya sangat kurang dikarenakan memang tujuannya bukan untuk ditinggali tetapi untuk berinvestasi.
ADVERTISEMENT
Pembelian rumah di Tiongkok dapat dikatakan cukup mudah dengan adanya bantuan dari pemerintah Tiongkok, yang mana pemerintah Tiongkok memberikan intensif kepada masyarakat dan developer dengan cara pemberian bunga KPR yang rendah. Tidak hanya itu pemerintah juga memberikan pinjaman modal dengan mudah ke Developer. Namun, hal ini dimanfaatkan oleh para developer untuk mendapatkan keuntungan lebih, sehingga lambat laun mulai terbentuk skema ponzi dari bisnis properti di Tiongkok.
Hal tersebut disampaikan oleh Tian melalui CNA Insider, yang merupakan salah satu korban skema ponzi dari bisnis properti Tiongkok, yang mana apartemen yang seharusnya dibangun belum berisikan apa-apa. Bagaimana hal itu dapat terjadi? Setiap konsumen yang memberikan uang muka kepada developer yang seharusnya digunakan untuk membangun rumah, akan tetapi uang muka ini digunakan untuk membeli lahan baru yang nantinya akan dijual kepada konsumen lain. Jadi, rumahnya akan dibangun setelah mendapatkan uang cicilan bulanan dari konsumen, jika kurang developer tinggal meminjam uang di Bank. Dengan demand yang sangat tinggi, skema ponzi ini terus berjalan. Namun, ketika orang-orang sudah tidak membeli lahan baru lagi dan konsumen tidak membayar uang muka, skema ponzi ini perlahan akan terekspos. Dan hal tersebut terjadi ketika pandemi Covid-19 pada 2020 kemarin.
ADVERTISEMENT
Pada saat pandemi banyak orang-orang yang sulit untuk bekerja sehingga kondisi perekonomian menjadi terhambat sehingga orang-orang tidak bisa membayar bunga KPR. Hal ini juga membuat terhambatnya pembangunan oleh developer, sehingga orang-orang yang harusnya masih mampu untuk membayar KPR menjadi enggan untuk membayar karena tidak berjalannya pembangunan ini. Lalu, kenapa developer tidak meminjam lagi ke Bank? masalahnya hutang dari para developer di Tiongkok itu sudah sangat tinggi. Evergrande misalnya, mereka memiliki hutang sebanyak USD 300 Miliar belum lagi hutang dari developer lain. Yang pada akhirnya banyak proyek dari developer ini terhenti seperti yang terjadi pada Evergrande yang 1300 proyeknya menjadi terhenti ataupun masih belum selesai.
Apakah dengan adanya krisis properti ini dapat membuat Tiongkok menjadi runtuh? Penulis rasa tidak karena Tiongkok itu merupakan negara Super Power yang memiliki kekuatan ekonomi sangat kuat. Jadi, tidak mungkin Tiongkok akan runtuh ataupun kolaps dengan hal seperti itu. Kalau krisis tentu saja masih mungkin terjadi. Lalu, bagaimana cara Tiongkok menghadapi krisis Properti ini. Seperti yang disampaikan oleh perusahaan rating S&P:
ADVERTISEMENT
Untuk mengurangi hutang yang menggunung dari para developer, pemerintah Tiongkok membuat program Three Red Line yang merupakan kebijakan yang dibuat untuk membatasi utang tiongkok yang diberlakukan sejak tahun 2020. Yang mana, para developer ini dikelompokan menjadi tiga kriteria berdasarkan pelanggaran mereka. Jika ketiga kriteria tersebut terpenuhi (hijau), perusahaan dapat meningkatkan utangnya hingga 15%. Pelanggaran satu (oranye), dua (kuning), dan tiga (merah) kriteria akan menurunkan persentase pertumbuhan utang masing-masing menjadi 10%, 5%, dan 0% pada tahun berikutnya. Jadi, yang dulunya pemerintah dan bank memberikan pinjaman mudah sekarang tidak lagi dikarenakan pemerintah Tiongkok sadar jika tidak dicegah kejadian yang sama dengan apa yang terjadi dengan Amerika Serikat pada 2008 silam.
Ketika developer itu tidak bisa melanjutkan pembangunannya, pemerintah Tiongkok memberikan izin ke sebagian besar konsumen untuk tidak melanjutkan pembayarannya ke Bank. Hal ini mudah dilakukan oleh Tiongkok karena semua Bank milik pemerintah Tiongkok, jika dibandingkan dengan negara seperti Indonesia tentu akan sulit karena bank-bank swasta tidak semudah itu untuk memberhentikan cicilanya. Pemerintah Tiongkok juga melakukan hal ini untuk menjaga citra mereka di mata publik. Selama pemerintah Tiongkok masih dipercaya oleh rakyatnya dan selama pemerintah Tiongkok masih mengontrol kehidupan rakyatnya semua program-program untuk menangani krisis pasti dapat berjalan lancar. Semua karena Tiongkok ini merupakan negara yang mengontrol segala detail kehidupan masyarakatnya jadi semua program bakalan lebih lancar.
ADVERTISEMENT