Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Check and Balances: Upaya Legitimasi Abuse Power Legislatif?
1 Juli 2023 15:29 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Dzikriyyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Menurut Yopie Moria dalam buku Sendi-Sendi Hukum Konstitusional karya Dr. Hotma P, abuse power dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau wewenang secara tidak tepat dengan tujuan mencapai kepentingan tertentu, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain. Abuse power memungkinkan terjadinya manipulasi dalam proses pengambilan keputusan.
Pada zaman kerajaan, kekuasaan berpusat pada raja. Oleh karena itu raja memiliki kewenangan menyeluruh terkait urusan pemerintahan. Tak cukup sampai di situ, bahkan mampu mengintervensi kehidupan personal masyarakat.
Konsepsi kekuasaan raja berdampak pada ketidakseimbangan strukutur pemerintahan maupun kehidupan masyarakat. Perintah raja seperti perintah Tuhan yang tidak dapat ditolak, sehingga berkesan absolut.
Konsepsi trias politica merupakan antitesis dari konsepsi kekuasaan raja. Membagi kekuasaan menjadi tiga aspek yaitu eksekutif yang menjalankan undang-undang, legislatif pembentuk undang-undang, dan yudikatif penegak undang-undang. Keseimbangan tersebut diorientasikan untuk terwujudnya demokrasi dalam bernegara.
ADVERTISEMENT
Dalam menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara lahir prinsip check and balances. Check and balances adalah konsep dalam sistem pemerintahan yang menekankan pembagian kekuasaan antar cabang-cabang kekuasaan negara dan adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi antara cabang-cabang tersebut.
Adapun tujuannya adalah untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, menjaga keseimbangan kekuatan, dan memastikan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Pada tiga tataran kekuasaan negara terdapat satu kekuasaan yang menaungi dunia penegakan hukum yaitu yudikatif. Yudikatif adalah salah satu komponen vital dalam mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat untuk tercapainya penegakan hukum yang ideal.
Menelisik lebih dalam penerapan prinsip check and balances antara kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Berdasarkan UU. No 3 Tahun 2009 Pasal 8 dinyatakan bahwa DPR memiliki tugas untuk mengajukan calon hakim agung. Kemudian pada UU. No 24 Tahun 2003 pasal 18 dinyatakan bahwa DPR memiliki tugas mengajukan 3 calon hakim konstitusi.
ADVERTISEMENT
DPR merupakan representasi dari kekuasaan legislatif. DPR andil peran dalam pengajuan calon hakim agung dan hakim konstitusi. Peristiwa tersebut menunjukkan ada campur tangan dalam dapur yudikatif. Namun hal demikian diartikan sebagai proses check and balances antar cabang kekuasaan negara.
Beranjak pada segmen hakim agung dan hakim konstitusi, calon untuk kedua posisi tersebut diajukan oleh legislatif. Peristiwa ini memungkinkan terjadinya interaksi politik antara DPR dan calon hakim.
Sedangkan kita ketahui bahwa penegak hukum pada konteks ini adalah hakim agung dan hakim konstitusi merupakan objek yang menjembatani peraturan perundangan-undangan dengan masyarakat. Dapat dibayangkan bagaimana wajah penegakan hukum di Indonesia apabila hakim tersebut merupakan hanya hasil dari negosisasi politik.
Di beberapa aspek, peraturan perundang-undangan sudah cukup ideal, namun pada ranah praktik masih memiliki banyak hambatan. Campur tangan DPR dalam pemilihan hakim agung dan hakim konstitusi merupakan salah satu hulu yang mempengaruhi stabilitas kinerja lembaga yudikatif.
ADVERTISEMENT
Legislatif diisi oleh partai politik dan jika dibedah lebih dalam terdapat koalisi pengusung presiden terpilih maupun yang tidak terpilih. Tidak aneh apabila di dalamnya sarat akan muatan kepentingan politik golongan.
Ketika terjadi interaksi politik antara lembaga legislatif dan yudikatif hingga berujung pada kesepakatan, memungkinkan tercipta suatu irisan antara kepentingan politik legislatif dengan aktivitas yudikatif. Kondisi ini riskan terjadi disorientasi tujuan.
Tujuan filosofis lembaga yudikatif adalah memastikan adanya keadilan, menegakkan hukum, dan menjaga supremasi hukum dalam masyarakat. Penegak hukum harus mensinkronisasikan kinerjanya dengan peraturan perundangan-undangan agar tercipta penegakan hukum yang ideal.
Peraturan perundang-undangan merupakan hulu supremasi hukum dan masyarakat merupakan hilirnya. Sedangkan penegak hukum berada di tengah-tengah lintasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sehingga masyarakat dapat merasakan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan melalui transfusi yang dilakukan penegak hukum. Check and Balances yang diterjemahkan oleh pemerintah pada proses ini memberikan kekuasaan lebih pada legislatif.
Apa dampaknya apabila terjadi politik kotor pada pengajuan calon hakim tersebut? Penegakan hukum di Indonesia akan tetap seperti benang kusut bilamana aktor penegak hukum rentan terkena intervensi, apalagi terjebak pada lingkaran "politisasi".
Melihat realitas sekarang, pada tahun 2022 Hakim Agung Sudrajad Dimyati ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA). Peneliti ICW mengatakan bahwa sebelumnya hakim agung tersebut diduga berusaha menyuap anggota Komisi III DPR RI dalam rangka fit and proper test untuk calon hakim agung.
ADVERTISEMENT
Setelah melalui pemeriksaan oleh Komisi Yudisial, Sudrajad akhirnya tidak berhasil menjadi hakim agung pada tahun 2013. Namun, pada tahun berikutnya, ia ternyata terpilih menjadi hakim agung di kamar perdata.
DPR dirasa berlebihan dan tidak perlu campur tangan dalam pengajuan nama hakim agung dan hakim konstitusi. Pada UUD 1945 telah diterangkan bahwa mahkamah agung dan mahkamah konstitusi adalah kekuasaan negara yang merdeka.
Bahkan pada UU yang membahas kedua lembaga tersebut dinyatakan secara eksplisit bahwa mahkamah agung dan mahkamah konstitusi adalah lembaga negara yang independen. Apabila hendak menjalankan check and balances antar kekuasaan negara cukup pada segmen pengawasan dan evaluasi.
Sebab proses pengajuan hakim sudah termasuk ke dalam dapur yudikatif.Ketika legislatif diberikan ruang untuk ikut mengendalikan dapur yudikatif. Letak keseimbangan yang disorientasikan oleh prinsip check and balances menjadi anomali. Hal tersebut memberikan celah besar untuk legislatif abuse power.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu dengan membatasi kewenangan legislatif pada ranah tersebut dan memberikan ruang kepada yudikatif untuk memilih sendiri hakimnya. Maka independesi yudikatif dapat mencapai taraf yang diidealkan undang-undang dan terlepas dari ketergantungan politis terhadap legislatif.