Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dilema Pemilu 2024, Demokrasi atau Algoritmakrasi?
18 Februari 2024 1:03 WIB
Tulisan dari Muhammad Dzikriyyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin 2500 tahun yang lalu saat Cleisthenes mencetuskan negara demokrasi, dunia hanya memiliki dimensi realitas fisik. Manusia bertemu dengan manusia lainnya secara langsung dan bertukar informasi tanpa ada istilah “framing”. Sehingga dapat berdemokrasi secara independen dan terminimalisir dari resistensi manapun.
ADVERTISEMENT
Demokrasi menitikberatkan pada keputusan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam kerangka politik, substansi dari demokrasi adalah bagaimana hak-hak dari setiap individu dapat digunakan tanpa ada diskriminasi dan ketidakadilan. Kesempatan dan partisipasi antara individu satu dan yang lainnya dinilai sama tanpa memandang strata sosial dan ekonomi.
Teknologi Mengubah Wajah Dunia
Abad ke-21 menjadi sejarah baru bagi peradaban manusia. Seketika dunia manusia membelah diri dan menghasilkan dunia non-fisik (maya). Ruang-ruang maya diisi oleh sistem kompleks dan koneksi terpadu. Membuat manusia terhubung lintas tempat dan waktu.
Namun, semua itu tidak berjalan secara alamiah. Terdapat panduan sistematis untuk menginstruksikan program atau menjalankan komputasi pada dunia maya yang disebut sebagai algoritma. Ruang-ruang maya tidak lain berisikan realitas manipulatif yang dijaga oleh algoritma, sehingga kerap kali mempengaruhi psikologis manusia.
ADVERTISEMENT
Menurut data dari GWI.COM, pada tahun 2023 terdapat 212,9 juta pengguna internet di Indonesia. Rata-rata waktu yang dihabiskan dalam dunia maya sebanyak 7 jam 42 menit atau sepertiga dari 24 jam waktu yang dimilik tiap-tiap manusia. Fenomena ini menghasilkan tantangan baru bagi demokrasi. Manuver strategi politik beralih memanfaatkan dunia non-fisik ini. Bagaimana demokrasi mampu menjaga esensinya dalam realitas manipulatif demikian?
Konsep Demokrasi di Indonesia
Pilpres dan pileg membuktikan bahwa dunia maya sangat mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihannya. Konsep “One Man One Vote’ melahirkan diskursus baru. Satu orang yang tidak mengerti apa yang mereka pilih, memiliki nilai yang sama dengan orang yang riset sebelum memilih. Suara orang yang hanya terpengaruh konten, memiliki nilai yang sama dengan orang yang memilih secara independen.
ADVERTISEMENT
Tentu hal tersebut tidak salah menurut sistem demokrasi Indonesia, sebab Indonesia menerapkan metode “Majority Rules” atau suara terbanyak. Namun dapat dibayangkan bagaimana kualitas suara dan pengaruh dunia maya terhadap catur perpolitikan Indonesia.
Efek Dunia Maya Terhadap Pemilu
Law of attraction menyatakan kalau pikiran adalah magnet. Sedangkan dalam dunia maya, kebiasaan adalah sebuah magnet. Dunia maya ibaratkan ladang pertanian, apa yang ditanam itulah yang dipanen. Apa yang menjadi kebiasaan di media sosial, itulah yang akan algoritma tunjukkan kepada penggunanya.
Dalam dunia psikologis, terdapat konsep "Konformitas Sosial", manusia cenderung merasa terdorong untuk mengikuti tren yang sedang populer. Hal ini dijadikan strategi oleh badan pemenengan pemilu (Bapilu) di Indonesia. Baik Bapilu pilpres maupun pileg mencoba menciptakan tren melalui dunia maya. Tidak sedikit tren yang jauh dari kata “bersubstansi”. Efek emosi empati masih dominan bagi rakyat Indonesia. Jadi, siapa yang mampu menarik emosional ialah yang akan mendominasi.
ADVERTISEMENT
Kemudian terdapat “Efek Kelompok”. Ketika seseorang melihat bahwa banyak orang lain yang tertarik dengan suatu isu atau aktivitas tertentu, mereka akan cenderung terpanggil untuk ikut bergabung dan merasa bagian dari kelompok tersebut. Bagaimana pengguna media sosial dapat mengetahui kelompok ini?
Konten dan eksposur terus menerus membentuk persepsi demikian dalam pikiran manusia. Selebgram, artis, dan influencer berperan besar atas peningkatan eksposur di dunia maya. Bisa dilihat berapa banyak dari mereka ikut berpartisipasi dalam kampanye politik 2024.
Fenomena seperti ini akan menimbulkan reaksi-reaksi lainnya. Filter Bubble salah satunya, pengguna hanya akan terpapar pada sudut pandang dan opini yang linier dengan kepercayaan atau kebiasaan media sosial mereka sendiri, sehingga rentan terjadi polarisasi dan konflik.
ADVERTISEMENT
Konten yang didesain untuk menyerang salah satu paslon atau caleg akan mendatangkan beragam respon dari masyarakat. Namun respon ini yang sebenarnya diinginkan, sebab jumlah respon akan mempengaruhi tren. Akibatnya, algoritma akan menunjukkan konten-konten yang selaras dengan yang sedang tren.
Pengguna pro akan disuguhkan dengan konten pro lainnya. Pengguna kontra akan disuguhkan konten kontra lainnya. Memungkinkan orang yang benci akan bertambah kebenciannya, dan orang yang suka akan semakin bertambah kesukaannya. Demikianlah algoritma beroperasi. Apakah teman-teman memilih berdasarkan rasionalisasi dan memiliki visi misi yang sama, atau hanya menjadi korban algoritma?
Demokrasi atau Algoritmakrasi
Tiap-tiap fenomena di atas melahirkan rangkaian pengaruh sosial. Dunia maya bukanlah satu dunia dengan realitas yang absolut. Namun, masing-masing manusia menciptakan dunia mayanya sendiri. Antar manusia menciptakan koherensi atau hubungan, sehingga melahirkan kesepahaman atau kesamaan dunia yang terikat oleh algoritma. Sederhananya, ekosistem maya.
ADVERTISEMENT
Kompleksitas ini sedang dialami oleh rakyat Indonesia pada pemilu kali ini. Fenomena demikian mempengaruhi kualitas suara rakyat Indonesia. Tidak sedikit rakyat memilih hanya karena kampanye di dunia mayanya unik, atau asik, atau romantisme masa lalu, atau kisah cinta, atau sering dihujat sehingga melahirkan empati. Bisa sebaliknya, tidak memilih hanya karena kampanye dunia mayanya tidak asik, atau bawa-bawa agama, atau sikap yang tidak etis, atau tidak banyak artis yang mendukung, atau tidak trending.
Pada beberapa suspek pemilih, tidak sedikit hal di atas menempati posisi pertama dalam menentukkan pilihan. Hal substantif dari masing-masing paslon atau caleg terlupakan. Rasionalisasi program kerja, visi misi, dan aspirasi menjadi kabur dan samar akibat konten yang mengedepankan gimmick dan sensasi. Para paslon dan caleg menggunakan persona atau topeng yang sesuai dengan keinginan pemilihnya sebagai titik tumpu. Tidak jarang ketika sudah terpilih, rakyat merasa tertipu.
ADVERTISEMENT
Ketika rakyat sudah menentukan pilihannya. Perlu disadari bahwa pilihan itu tidak terlepas dari konstruk dunia maya. Pertanyaan lebih lanjutnya adalah, “Apakah rakyat menilai secara objektif atau subjektif? Substansi atau sensasi? Teruji atau hanya sekadar janji?Idealisme atau pragmatisme?”
2500 tahun yang lalu saat Cleisthenes mencetuskan negara demokrasi, ia berupaya untuk mencapai kebaikan negara dan menekan kekuasaan bangsawan Athena. Apakah sekarang sudah terjadi pergeseran makna. Demokrasi atau algoritmakrasi? Kekuasaan bukan berada di tangan rakyat sepenuhnya. Melainkan rakyat hanya sebagai pion yang pilihannya berdasarkan algoritma media sosial. Benarkah demikian? Semoga saja tidak.
Demokrasi ideal diartikan sebagai pilihan berada ditangan rakyat secara independen. Keluar dari jebakan algoritma, mampu marasionalkan situasi politik, menilai dengan objektif untuk kebaikan negara, serta meminimalisir intervensi dari pihak lainnya. Terbebas dari pengaruh manipulatif manapun, memperbaiki kualitas suara dengan menentukan pilihan secara mandiri. Merdeka sejak dari pikiran, merdeka dari hati.
ADVERTISEMENT