Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Nyepi, Pendahulu Earth Hour yang Hubungkan Kepercayaan dengan Pelestarian Alam
24 Maret 2024 16:47 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Muhammad Fadillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun ini, gerakan lingkungan Earth Hour yang dilakukan di seluruh dunia sejak 2007 kembali diadakan pada Sabtu, 23 Maret 2024.
ADVERTISEMENT
Gerakan yang dikampanyekan oleh World Wildlife Fund (WWF) ini dilakukan dengan memadamkan lampu selama satu jam sebagai simbol mengurangi konsumsi energi oleh manusia yang selama ini telah berkontribusi pada penurunan kualitas lingkungan.
Di Indonesia, aktivitas mengurangi konsumsi untuk kepentingan lingkungan sejatinya telah dilakukan ratusan tahun lebih awal dari Earth Hour. Tepatnya oleh umat Hindu Bali melalui Nyepi, praktik religi yang punya kaitan erat dengan alam baik dalam makna maupun dampak yang diberikan secara langsung.
Praktik Nyepi
Nyepi memang sebuah perwujudan dari kata ‘sepi’ yang menjadi asal bahasanya melalui penerapan empat larangan Nyepi atau Catur Brata Penyepian. Pertama Amati Geni, sebagai larangan untuk tidak menyalakan api (geni) dalam diri manusia yang berwujud nafsu dengan praktik tidak menyalakan api, lampu, atau listrik. Kedua, Amati Karya atau larangan melakukan aktivitas (karya) fisik untuk berfokus pada kegiatan rohani yang dilakukan dengan tidak bekerja.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Amati Lelungan atau larangan bepergian yang dilakukan dengan berdiam di rumah dan keempat Amati Lelanguan atau tidak mengobarkan kesenangan yang dipraktekkan dengan menghindari kegiatan hiburan. Sebagai gantinya, umat mengisi waktu melalui doa dan renungan.
Meskipun Nyepi merupakan peringatan tahun baru dalam kalender Saka yang berakar dari India, pelaksanaan Catur Brata hanya dijumpai di Indonesia pada umat Hindu dari Pulau Bali dan sekitarnya serta Suku Tengger yang tinggal di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur.
Aturan Nyepi yang berlaku dari pukul 06.00 WITA hingga keesokan harinya di jam yang sama membuat Bali masuk dalam keheningan. Jalanan lengang, pertokoan tutup, layanan data seluler dan televisi berbasis internet dimatikan, dan kegelapan menyelimuti malam. Bahkan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, salah satu bandara tersibuk di Indonesia, berhenti melayani penerbangan.
ADVERTISEMENT
Mereka yang tidak melakukan Nyepi seperti halnya turis juga diminta melakukan penyesuaian dengan tidak bepergian. Hanya petugas adat atau pecalang yang aktif bekerja untuk memastikan ketertiban pelaksanaan aturan Nyepi yang telah menjadi hari libur nasional sejak 1983. Namun, Nyepi tidak sekadar tentang pengendalian diri pada manusia tetapi juga timbal baliknya pada alam.
Nyepi untuk Alam dan Dunia
Umat Hindu Bali meyakini keterkaitan antara makhluk hidup seperti manusia sebagai sebuah dunia kecil atau disebut bhuana alit dengan alam semesta atau bhuana agung yang lebih besar dan kompleks. Posisi manusia sebagai bagian dari alam dilihat sebagai hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos.
Dalam kehidupan yang terus berjalan, pasifnya manusia dalam Nyepi merupakan sebuah momen untuk beristirahat dari kerja keras yang panjang. Manusia diminta untuk mengalah, melepaskan keinginan dan kemajuan peradaban yang telah dicapainya untuk memberi ruang pada alam serta berinteraksi dengan nya. Jika sehari-hari suara desir angin, kicau burung, dan kerik serangga tertimbun oleh riuh aktivitas, maka di hari Nyepi bebunyian yang identik dengan alam tersebut merajai indra manusia.
ADVERTISEMENT
Nyepi kemudian dimaknai sebagai wadah pemulihan bagi kedua dunia yang saling terkait: manusia dan alam, mikro dan makro, alit dan agung. Pemulihan tersebut menjadi bekal untuk melanjutkan aktivitas hingga satu tahun kedepan.
Perbaikan alam tercermin dari dampak nyata yang diciptakan Nyepi terhadap lingkungan. Dalam tesis Nyepi dan Awig-awig dalam Pelestarian Fungsi Lingkungan (Kamasan, 2003), Nyepi menjadi instrumen dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat akan upaya pelestarian lingkungan. Selain itu, penerapan Catur Brata mampu menekan penggunaan energi dan produksi gas buangan secara signifikan sehingga berkontribusi dalam perbaikan kualitas lingkungan di Bali khususnya pada hari Nyepi.
Jumlahnya pun tidak bisa dibilang kecil. Pada hari pelaksanaan Nyepi di Bali, Institute for Essential Service Reform (IESR) pada tahun 2019 (CNN Indonesia, 2023) menemukan adanya pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 33 persen dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada tahun 2022 mencatat penurunan polusi udara melalui konsentrasi partikel debu di atmosfer hingga 47,07 persen (Zulkifli, 2024). Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) turut menyebutkan adanya penghematan bahan bakar hingga satu juta liter dan penghematan listrik hingga 60 persen di Bali (Yuniarto, 2023).
ADVERTISEMENT
Ketika upaya menurunkan emisi zat karbon untuk menekan kenaikan suhu bumi telah dibakukan oleh pemerintah negara-negara dunia–termasuk Indonesia–melalui Perjanjian Paris (2015), Nyepi telah menunjukan kemampuan kolektif masyarakat untuk mempraktikkan upaya tersebut sesuai dengan kapasitasnya meski tidak secara langsung ditujukan untuk memenuhi komitmen perjanjian.
Nilai-nilai universal dalam Nyepi mengamini apa yang dikatakan Tjokorda Raka Kerthayasa, tokoh adat dari Ubud, dalam film dokumenter Semesta (2018). ‘’Karena ini kepentingan universal…bukan hanya untuk Bali. Gak ada untuk Bali, untuk Jawa. Itu untuk bhuana alit dan bhuana agung.’’
Pesan serupa tercermin dalam rangkaian prosesi menuju Nyepi seperti Melasti. Melasti adalah tradisi penyucian sarana upacara seperti benda sakral dari pura yang dilakukan secara massal oleh masing-masing banjar (unit administratif setingkat desa di Bali) di dekat sumber air seperti pantai, danau, sungai, atau mata air dimana air dilihat sebagai media untuk melebur hal-hal kotor.
ADVERTISEMENT
Iring-iringan peserta Melasti dengan pakaian adat dan atribut upacara menuju pantai-pantai di Bali menampilkan keindahan visual dan makna dari pertemuan tradisi dengan lanskap alam.
Melasti mendorong adanya penghargaan pada pelestarian bentang alam seperti pantai dan bantaran sungai, beserta sumber air itu sendiri. Terjadinya pencemaran atau kekeringan pada air dan wilayah yang menopangnya akibat kerusakan daerah resapan air, polusi sampah, atau perubahan iklim tentu berdampak pada keberlangsungan Melasti yang menjadikan unsur tersebut sebagai pusat dari prosesi.
Tidak terbatas pada kegiatan sekali dalam setahun, keterkaitan dengan alam turut hadir dalam keseharian masyarakat Bali melalui konsep Tri Hita Karana atau keseimbangan dalam hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan).
ADVERTISEMENT
Salah satu penerapanya adalah sistem irigasi berkelanjutan bernama Subak yang telah ada sejak abad ke-9 Masehi. Dalam subak terdapat kesinambungan antara pura yang berdiri di sekitar sumber air dan sawah serta upacara keagamaan yang terkait dengan pertanian, manajemen pengairan untuk mengisi sawah-sawah terasering oleh petani yang tergabung dalam keanggotaan subak, serta perlindungan pada bentang alam yang penting bagi siklus air.
Sistem yang mempertemukan antara praktik religi, kelestarian lingkungan, dan kegiatan ekonomi ini telah ditahbiskan oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia sejak 2012 pada wilayah seluas 19.500 hektar.
Air, yang erat kaitanya dengan alam sebagai sumber penyedia, memang memiliki peran sentral dalam spiritualitas Bali. Air dari mata air tertentu atau air yang telah disucikan dilihat sebagai manifestasi dari kekuatan niskala (dunia gaib) dalam wadah skala (dunia nyata) sehingga menjadi sarana dan prasarana upacara. Salah satunya adalah melukat, upacara penyucian diri untuk membuang ketidakberuntungan yang juga banyak dilakukan oleh wisatawan di Bali.
ADVERTISEMENT
Hidup di antara sumber daya alam yang kaya rupanya mendidik leluhur manusia di negeri ini untuk arif dalam menjaga alam alih-alih melakukan eksploitasi tanpa perhitungan. Agama, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, turut menyuarakan gagasan yang senada untuk menghargai alam.
Rupanya pesan untuk peduli pada lingkungan bisa diambil melalui nilai-nilai dari dalam negeri, tidak melulu dari gagasan pemikir-pemikir Barat yang santer disuarakan akhir-akhir ini.
Referensi
CNN Indonesia. (2023, March 21). Pakar Ungkap Efek Dahsyat Hari Raya Nyepi Pada Lingkungan.
Eiseman, F. B. (1990). Bali, Sekala & Niskala: Essays on Religion, Ritual, and Art. Tuttle Publisher.
Kamasan, I. G. A. N. O. (2003). Nyepi dan Awig-awig dalam Pelestarian Fungsi Lingkungan (Studi Kasus di Desa Adat Tenganan Pageringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali) (thesis).
ADVERTISEMENT
Manggalani, R.U. (December 2012). Tirta Nirwana Negeri Dewata. National Geographic Traveler Indonesia, 4 (12), 104-113.
Suda, I. K. (2022, August 31). Nyepi Sebuah Edukasi. Parisada Hindu Dharma Indonesia. https://parisada.or.id/nyepi-sebuah-edukasi/
Sudarta, W. (2018). Subak Memadukan Nilai Tradisional dan Modern. Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness (SOCA), 12(1), 133–143.
Yuniarto, T. (2023, March 22). Hari Suci Nyepi: Sejarah, tata Cara Upacara, Dan Makna Perayaan. Kompaspedia.
Zulkifli, M. (2024, March 11). Nyepi Untuk Menjaga Bumi. Kompas.id.