Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Meneguhkan Kembali Makna Republik
6 Mei 2024 9:33 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari M Hasan Syamsudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, terdapat suatu masa dimana para pendiri bangsa sibuk berdebat tentang bentuk negara Indonesia, apakah Indonesia akan dibawa pada negara monarki ataukah republik?. Perdebatan yang berlangsung pada Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tersebut akhirnya mengerucut pada pilihan bentuk negara republik dengan perolehan suara mayoritas melalui mekanisme stem atau voting. Salah satu tokoh pendiri bangsa yang turut mendorong gagasan republikanisme pada sidang BPUPKI tersebut adalah Muhammad Yamin. Pada sidang tersebut, di tengah kuatnya akar monarkisme di nusantara, M. Yamin mengutarakan ketidaksetujuannya pada bentuk negara monarki menimbang alasan mendasar sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan M. Yamin, selain berpotensi melahirkan dinasti politik yang bersifat turun-menurun, monarki juga berpotensi melahirkan oligarki pemerintahan oleh segelintir elit khususnya elit berbasis keluarga. Sebaliknya, gagasan republikanisme disuarakan begitu kuat dengan alasan bahwa pembagian kekuasaan di tangan rakyat sesungguhnya merupakan cita-cita yang selama ini diperjuangkan oleh rakyat Indonesia. Pembagian kekuasaan di tangan rakyat tersebut tak mungkin ditempuh melalui monarki melainkan hanya dapat ditempuh melalui republik. Sepenggal fragmen tentang perdebatan bentuk negara Indonesia di atas menunjukkan satu hal mendasar bahwa kekuasaan di tangan rakyat atau kedaulatan rakyat merupakan hal mutlak yang harus dipedomani dalam menjalankan kehidupan bernegara. Melalui kedaulatan rakyat, maka keputusan-keputusan politik dalam negara republik diharapkan mampu menghasilkan kemaslahatan bersama bagi rakyat Indonesia bukan hanya kepentingan segelintir elit atau kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Republik di Tengah Badai Dinasti Politik
Melihat perkembangan dinamika politik dalam satu dekade terakhir, nampaknya kekhawatiran M. Yamin soal ancaman dinasti politik mulai nampak. Meskipun secara formal Indonesia merupakan negara demokrasi yang berpegang pada prinsip keadulatan rakyat, namun kekuasaan politik berdasarkan hubungan kekeluargaan merupakan sebuah fakta politik yang tak dapat ditepis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak jabatan-jabatan publik hasil Pemilihan Umum (Pemilu) diisi berdasarkan hubungan kekeluargaan tersebut. Secara konstitusional, larangan tentang hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan antara petahana dengan kontestan politik dalam Pemilu telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) di tahun 2015 karena dianggap melanggar hak politik individu sebagai warga negara. Namun demikian, kuatnya konflik kepentingan antara petahanan dengan kontestan politik yang memiliki hubungan kekeluargaan sulit untuk dihindari. Konsekuensinya, selain melanggar etika politik, kontestasi politik juga seringkali berjalan tidak adil di kalangan peserta Pemilu.
ADVERTISEMENT
Bukti konkret dari fenomena dinasti politik dapat dilihat dari studi Yuliartiningsih dan Adrison (2022) berjudul Keterpilihan Dinasti Politik pada Pilkada Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2017-2020. Tercatat bahwa sejak tahun 2017-2020 terdapat 3 kali Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia dengan dengan total 508 Kabupaten/Kota. Dari 508 Kabupaten/Kota tersebut sebanyak 247 (48,62%) Kabupaten/Kota terindikasi terdapat unsur dinasti politik. Dari 247 Kabupaten/Kota tersebut kandidat dinasti politik menang di 170 Kabupaten/Kota (69%). Tak hanya berlangsung di tingkat lokal, di tingkat nasional politik berbasis kekeluargaan juga berlangsung secara gamblang. Majunya Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra dari Presiden Joko Widodo sebagai Calon Wakil Presiden pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 juga turut menormalisasikan praktik dinasti politik atau politik kekeluargaan di Indonesia. Sekali lagi, hubungan kekeluargaan dalam politik memang tidak menyalahi aturan konstitusi, namun jelas menciderai etika berpolitik sekaligus berpotensi melahirkan kompetisi politik yang tidak adil karena sarat konflik kepentingan.
ADVERTISEMENT
Bertahan di Tengah Cengkeraman Oligarki
Tak hanya problem dinasti politik, apabila ditelaah secara mendalam, kekhawatiran yang diutarakan oleh M. Yamin juga menyangkut praktik oligarki pada saat itu. Meskipun pada akhirnya Indonesia memilih bentuk negara republik, kekhawatiran M. Yamin soal oligarki mulai mewujud dalam kenyataan akhir-akhir ini. Apabila dahulu fenomena oligarki atau penguasaan negara dilakukan oleh segelintir elit berbasis keluarga, maka yang terjadi di Indonesia saat ini adalah penguasaan negara dilakukan oleh segelintir elit berbasis bisnis. Salah satu kasus nyata dari penguasaan negara oleh politisi pebisnis ditunjukkan dalam kasus Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) Omnibus Law tahun 2020. Di dalam UU Ciptaker tersebut nampak bahwa kepentingan bisnis energi dan tambang begitu dominan mengalahkan kepentingan publik termasuk kepentingan lingkungan hidup. Laporan koalisi masyarakat sipil Fraksi Rakyat Indonesia (2020) berjudul Omnibus Law; Oligarch’s Legal Holy Book mencatat bahwa adanya kemudahan-kemudahan dalam bisnis energi dan tambang yang berpotensi merusak lingkungan hidup tersebut tak lepas dari peranan para sekelompok politisi yang juga merangkap sebagai pebisnis tambang baik di legislatif maupun eksekutif. Mengakhiri tulisan ini, menjadi renungan kita bersama sebagai warga republik, akankan masa depan negara republik ini benar-benar teguh berorientasi pada kemaslahatan publik (common good) sebagaimana makna republik dan cita-cita pendiri bangsa dahulu? ataukah justru jauh panggang dari api?
ADVERTISEMENT