Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
2 Sebab Penderita Gangguan Mental Takut Mendapatkan Perawatan
8 Juli 2024 10:20 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Helmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gangguan kesehatan mental dapat menyerang siapa saja, baik dari generasi Z, generasi Y, maupun Baby Boomers. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengabaikan seriusnya penyakit ini jika ada teman atau kerabat yang mengalaminya. Dukungan dan perhatian kita sangat diperlukan.
ADVERTISEMENT
Penelitian dari National Institutes of Health menunjukkan bahwa orang yang memiliki penyakit mental namun tidak berkonsultasi dengan psikiater atau psikolog memiliki angka harapan hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang menjalani sesi konseling.
Temuan ini menunjukkan bahwa mengunjungi psikiater atau psikolog bukanlah suatu aib bagi diri sendiri atau keluarga, melainkan merupakan keharusan bagi mereka yang mengalami gangguan mental. Sebegitu pentingnya peran ahli untuk mengobati teman atau kerabat kita yang mengidap gangguan mental. Lalu apa aja sih yang membuat para pengidap enggan untuk melakukan sesi konseling dengan para ahli :
1. Stigma dan Diskriminasi Terhadap Penderita Gangguan Mental
“Ngapain ke psikolog? Ibadah aja, lo kurang iman, banyakin ibadah biar sembuh.” Pasti kalian sering dengar kata-kata kayak gitu. Memang sih, niatnya nggak sepenuhnya salah. Tapi, kalimat-kalimat kayak gitu sering bikin orang yang butuh bantuan malah ragu buat konsultasi ke psikiater atau psikolog karena takut di-judge.
ADVERTISEMENT
Menurut American Psychiatric Association , Stigma penyakit mental menjadi penghalang bagi berbagai komunitas ras dan etnis dalam mengakses layanan kesehatan mental. Di beberapa budaya Asia, mencari bantuan profesional bertentangan dengan nilai-nilai keluarga, kontrol emosi, dan menghindari rasa malu.
Tidak hanya mendapatkan stigma negatif, para pengidap gangguan mental juga sering mendapatkan diskriminasi baik dari teman, keluarga, bahkan dari tempat mereka bekerja. Stigma ini bukan hanya membuat mereka ragu untuk mencari bantuan, tetapi juga memperburuk kondisi mereka karena kurangnya dukungan sosial yang diperlukan untuk proses pemulihan.
Maka dari itu, kita harus mendukung komunitas-komunitas yang berfokus pada menghapus stigma negatif dan diskriminatif di masyarakat. Salah satu cara efektif adalah dengan meningkatkan edukasi tentang kesehatan mental di kalangan masyarakat luas, sehingga pemahaman yang benar mengenai pentingnya dukungan profesional dapat tersebar luas.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, masyarakat bisa menjadi teman yang baik dan suportif bagi para pengidap gangguan mental, bukan malah menambah beban mereka dengan stigma dan diskriminasi.
2. Biaya Konseling Gangguan Mental Yang Mahal
Menurut data yang dilakukan oleh Mental Health America pada tahun 2023, 59,8% remaja dengan depresi berat tidak menerima perawatan kesehatan mental apa pun, dan lebih dari 28 juta penderita gangguan mental tidak menerima perawatan yang mereka butuhkan. Biaya perawatan kesehatan tetap menjadi hambatan signifikan bagi banyak individu di AS.
Bahkan di AS, biaya konseling menjadi hambatan meningkatnya kasus gangguan mental yang terjadi pada masyarakatnya. Namun, pemerintah Indonesia telah membuat peraturan bahwa biaya konseling dan pengobatan bisa di-cover oleh BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan). Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memperkecil angka gangguan mental di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya program dari pemerintah, banyak juga komunitas-komunitas yang bekerja sama dengan dokter ahli untuk mengadakan sesi konseling dan edukasi bagi penderita gangguan mental. Contohnya adalah layanan konseling psikologi dari Yayasan Pulih yang mempunyai rentang harga dari 150-250 ribu untuk sesi selama satu jam.
Inisiatif semacam ini sangat penting dalam memberikan akses perawatan yang lebih terjangkau dan inklusif bagi masyarakat yang membutuhkan. Dengan adanya kerja sama antara pemerintah, komunitas, dan tenaga profesional, diharapkan angka gangguan mental dapat ditekan dan kualitas hidup penderita dapat meningkat.
Jadi, mari kita bersama-sama menghapus stigma dan diskriminasi terhadap gangguan mental. Ingatlah, mencari bantuan dari profesional bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah berani menuju kesehatan dan kesejahteraan. Untuk mereka yang sedang berjuang dengan gangguan mental, ketahuilah bahwa kalian tidak sendiri. Dukungan ada di sekitar kalian, baik dari teman, keluarga, maupun komunitas yang peduli.
ADVERTISEMENT