Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
JSI WTO on E-Commerce: Keberhasilan Mekanisme Plurilateral WTO?
15 Oktober 2024 12:02 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Muhammad Ismail Anshari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 26 Juli 2024, teks rancangan Inisiatif Joint Statement Initiative WTO on Electronic Commerce (JSI WTO on E-Commerce) dicapai melalui konsensus di antara negara-negara anggota WTO yang berpartisipasi dan kemudian disebarluaskan kepada semua anggota, kecuali bagi mereka yang tidak setuju dengan rancangan tersebut, termasuk Indonesia. Indonesia menolak untuk mendukung teks rancangan tersebut karena posisinya yang tegas mengenai artikel yang berkaitan dengan moratorium atas Custom Duties on Electronic Transmission (CDET). Negara-negara lain yang tidak mendukung rancangan tersebut termasuk Brasil, Kolombia, El Salvador, Guatemala, Paraguay, Taiwan, Penghu, Kinmen, dan Matsu, Turki, dan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Fakta bahwa tidak semua negara setuju dengan rancangan JSI menunjukkan bahwa mekanisme plurilateral berfungsi sebagai jalur alternatif dalam mengatasi stagnasi negosiasi multilateral dalam kerangka WTO. Meskipun diskusi mengenai rancangan tersebut memakan waktu lima tahun untuk mencapai konsensus, proses negosiasi melibatkan lobi yang signifikan dari banyak negara, terutama dari co-convenors, yang menargetkan negara-negara yang belum menetapkan posisi pada artikel-artikel penting, yang menimbulkan kekhawatiran tentang pengaruh mereka terhadap pengambilan keputusan negara lain. Bagaimana mekanisme plurilateral dalam JSI WTO on E-Commerce mempengaruhi posisi nasional negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, selama proses negosiasi?
Stagnasi WTO sebagai Tanda Kegagalan Mekanisme Multilateral
Setelah kegagalan negosiasi Doha Development Agenda yang berakhir pada 2015, stagnasi institusional muncul di pusat sistem perdagangan global, namun hal ini tidak menghalangi munculnya organisasi-organisasi baru di masa depan. Sejak diluncurkan pada 2001, Doha Development Agenda hanya menghasilkan satu kesepakatan: Trade Facilitation Agreement (TFA). Selain itu, kesepakatan lain, yaitu Kesepakatan tentang Fisheries Subsidies, dicapai pada 2022. Jumlah kesepakatan yang terbatas dalam kerangka WTO menunjukkan stagnasi rezim perdagangan internasional.
ADVERTISEMENT
Stagnasi WTO berdampak signifikan terhadap praktik perdagangan global, yang menyebabkan meningkatnya perang dagang antara negara-negara maju dan berkembang, serta mendorong penyelesaian sengketa di luar mekanisme WTO. Stagnasi dalam negosiasi multilateral ini kemudian memberikan ruang bagi negara-negara berkembang untuk mengejar kesepakatan lain, seperti kesepakatan bilateral dan regional, yang dianggap kurang luas dan lebih menguntungkan, sekaligus menangani isu-isu ekonomi domestik yang telah lama terabaikan dalam diskusi multilateral. Stagnasi dalam WTO menggarisbawahi kegagalan mekanisme ini untuk mengakomodasi berbagai perkembangan dan perubahan dalam ekonomi politik global saat ini.
Dalam upaya untuk mengatasi stagnasi yang berulang dalam negosiasi WTO, negara-negara berkembang telah menyatakan aspirasi untuk mereformasi mekanisme institusional WTO, dengan menekankan pendekatan yang lebih fleksibel mengingat karakteristik, kapasitas ekonomi, dan kekuatan politik yang beragam dari negara-negara yang bernegosiasi. Prinsip multilateralisme dianggap memaksa semua anggota untuk menyetujui kesepakatan, yang sering kali memperumit proses negosiasi dalam kerangka WTO. Mekanisme kesepakatan plurilateral muncul sebagai pilihan utama bagi anggota WTO karena fokusnya yang khas pada isu-isu tertentu dan keterlibatan hanya sejumlah negara terpilih yang memiliki kepentingan dalam isu-isu tersebut. Kesepakatan plurilateral menekankan fleksibilitas, bertujuan untuk memfasilitasi negosiasi di antara sejumlah kecil anggota WTO dan hanya membahas aspek-aspek tertentu. Bagi negara-negara maju, mekanisme plurilateral ini mungkin menawarkan solusi untuk tantangan mencapai konsensus dalam negosiasi WTO, memungkinkan partisipasi yang fleksibel oleh negara-negara lain yang ingin bergabung seiring dengan perkembangan isu.
ADVERTISEMENT
JSI WTO on Electronic Commerce sebagai Mekanisme Plurilateral dalam Perdagangan Ekonomi
Joint Statement Initiative WTO on Electronic Commerce (JSI WTO on E-Commerce) merupakan proses plurilateral yang berjalan paralel dengan diskusi multilateral di bawah Work Programme on E-Commerce 1998 (WPEC). JSI diluncurkan selama Konferensi Menteri WTO ke-11 di Buenos Aires oleh 71 negara anggota WTO, dengan Australia, Jepang, dan Singapura sebagai ko-ketua utama. Selama pertemuan yang diadakan dari 19 hingga 22 November 2019 di Jenewa, Indonesia mengumumkan partisipasinya dalam JSI WTO on E-Commerce dan mengambil peran aktif dalam negosiasi. Hingga Oktober 2023, 90 negara anggota WTO telah bergabung dalam inisiatif ini, secara kolektif mewakili 90% dari perdagangan global. Negosiasi meliputi pertemuan pleno dan diskusi kelompok kecil yang bertujuan untuk menetapkan aturan dasar yang mencakup area seperti penyediaan perdagangan elektronik, mempromosikan kepercayaan dan keterbukaan dalam perdagangan elektronik, isu lintas sektor, telekomunikasi, dan akses pasar bagi perusahaan e-commerce.
ADVERTISEMENT
Pada pertemuan di Jenewa, Indonesia terlibat aktif dalam diskusi. Berbagai lembaga pemerintah Indonesia yang terlibat dalam merumuskan posisi terkait JSI WTO on E-Commerce pada Perdagangan Elektronik antara lain Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Badan Siber dan Sandi Negara. Kementerian Luar Negeri bertindak sebagai titik fokus dalam forum WTO, menugaskan lembaga terkait untuk bertanggung jawab atas substansi artikel sesuai dengan mandat masing-masing. Sebanyak 36 sub teks pada draf dibahas dalam negosiasi ini, yang menangani berbagai artikel terkait perdagangan elektronik. Seiring kemajuan negosiasi, artikel tertentu menjadi titik perdebatan di antara negara anggota, yang mengarah pada pembentukan kelompok kecil untuk menggali lebih dalam isu-isu spesifik seperti aliran data dan lokalisasi, e-payment, perlindungan data pribadi, isu horizontal, kriptografi, bea masuk pada perdagangan elektronik, pembangunan, telekomunikasi, dan kode sumber.
ADVERTISEMENT
Moratorium Bea Masuk sebagai Penghalang Kesepakatan dalam JSI WTO on Electronic Commerce pada Perdagangan Elektronik
Salah satu isu paling kontroversial dalam negosiasi adalah proposal untuk moratorium atas Custom Duties on Electronic Transmission (CDET), yang telah berlaku sejak 1998. Meskipun tidak ada definisi terperinci tentang pengiriman elektronik, WPEC mendefinisikan perdagangan elektronik sebagai produksi, distribusi, pemasaran, penjualan, atau pengiriman barang dan jasa melalui sarana elektronik. Perdebatan muncul dari kesenjangan antara perspektif Global North dan Global South, di mana negara-negara berkembang berargumen bahwa moratorium tersebut berdampak negatif terhadap mereka dengan mengakibatkan hilangnya pendapatan tarif dan pajak lainnya, serta dampak terhadap industrialisasi dan penggunaan teknologi digital. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa terus mendominasi proses negosiasi, menekankan pentingnya moratorium CDET dalam teks rancangan, yang bertentangan dengan kebijakan domestik di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki kekhawatiran tentang beberapa artikel, dengan mempertahankan posisi garis merah, yang berarti bahwa jika posisi Indonesia tidak terpenuhi, negara ini akan menarik diri dari negosiasi rancangan. Ini termasuk isu terkait aliran data, produk TIK yang menggunakan kriptografi, dan CDET. Indonesia menolak moratorium permanen atas CDET, yang sejalan dengan kebijakan domestiknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2006, yang mengubah Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Beberapa negara maju bahkan secara langsung meminta pertemuan bilateral dengan Indonesia selama negosiasi untuk membujuknya mengubah posisinya tentang artikel ini agar dapat dimasukkan dalam teks rancangan. Bagi beberapa negara, termasuk Indonesia, artikel CDET dapat berfungsi sebagai penghalang kesepakatan dalam menentukan sikap keseluruhan mereka terhadap rancangan jika kepentingan domestik tidak diakomodasi, dan posisi ini dapat memengaruhi negosiasi mendatang yang memperkenalkan kembali artikel CDET.
ADVERTISEMENT
Mekanisme Plurilateral JSI WTO on Electronic Commerce dan Pengaruhnya terhadap Negara-negara Berkembang, Termasuk Indonesia
Keputusan Indonesia untuk tidak sepenuhnya mendukung teks rancangan karena posisinya yang red line pada CDET menggambarkan bahwa mekanisme plurilateral menekankan fleksibilitas bagi negara anggota, dengan mempertimbangkan kepentingan nasional mereka. Berbeda dengan mekanisme multilateral, yang cenderung menekan negara anggota untuk mencapai konsensus, pendekatan plurilateral memungkinkan baik negara maju maupun berkembang untuk menjelajahi dan melobi sambil memfokuskan perhatian pada prioritas nasional mereka, meskipun beberapa negara tetap mempertahankan sikap mereka untuk mengangkat moratorium CDET. Negosiasi plurilateral yang sedang berlangsung dalam JSI WTO on Electronic Commerce menawarkan negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, ruang yang lebih besar untuk konsultasi domestik dengan pembuat kebijakan terkait dalam menentukan posisi nasional mereka, dengan mempertimbangkan beberapa faktor:
ADVERTISEMENT
1. Mekanisme Plurilateral Memberikan Policy Space bagi Negara-negara Berkembang
Amerika Serikat menonjol di antara negara-negara maju yang belum menyetujui seluruh teks dengan dalih ingin berfokus pada policy space atau mempersiapkan kebijakan domestik yang relevan sesuai dengan isu-isu yang dibahas dalam teks rancangan. Ketidakterlibatan Indonesia dalam teks rancangan menciptakan peluang bagi pemerintah Indonesia untuk memperkuat kebijakan domestik yang diperlukan, terutama terkait dengan artikel yang mewakili posisi garis merahnya.
2. Munculnya Kekuatan Baru dalam Dominasi Global North
Mekanisme plurilateral muncul dari kekhawatiran negara-negara berkembang atas kegagalan negosiasi multilateral di bawah WTO, yang sering kali lebih menguntungkan negara-negara maju. Negara-negara berkembang dan Least Developed Countries (LDC) dapat memanfaatkan mekanisme plurilateral ini untuk mengartikulasikan kepentingan nasional mereka, sejalan dengan negara-negara berkembang lainnya yang memiliki visi dan prioritas serupa, seperti China, India, dan Brasil. Munculnya negara-negara ini mengubah lanskap negosiasi di dalam WTO, yang selama ini didominasi oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Perubahan ini mendorong kebangkitan negara-negara berkembang, memungkinkan mereka untuk menetapkan posisi yang memprioritaskan kepentingan mereka.
ADVERTISEMENT
3. Referensi untuk Negosiasi Perdagangan Digital Masa Depan
Kesepakatan tentang teks rancangan JSI WTO on Electronic Commerce dapat berfungsi sebagai referensi bagi negara-negara berkembang ketika menetapkan posisi nasional mereka dalam negosiasi serupa di masa depan. Bagi Indonesia, sikap garis merahnya terhadap CDET kemungkinan akan menjadi penghalang kesepakatan dalam diskusi perdagangan digital mendatang, terutama jika CDET diperkenalkan kembali dan kepentingannya tidak terpenuhi.
4. Memperkuat Kolaborasi Multi-Pemangku Kepentingan dalam Menghadapi Teknologi Baru
Perkembangan pesat teknologi baru di tingkat multilateral memaksa Indonesia untuk beradaptasi dan menyelaraskan kemajuan teknologi dengan kebijakannya. Memperkuat kerja sama dan kolaborasi di antara berbagai pemangku kepentingan—termasuk pemerintah, sektor swasta, industri, dan akademisi sangat penting untuk mengidentifikasi tantangan dan mengumpulkan masukan guna mendukung posisi Indonesia di bidang baru yang mungkin dibahas dalam negosiasi perdagangan digital di masa depan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
JSI WTO Electronic Commerce menjadi salah satu contoh perundingan plurilateral di WTO yang sudah berhasil dicapai secara konsensus meskipun tidak semua negara anggota menyepakati dengan mempertimbangkan posisi nasionalnya masing-masing termasuk Indonesia. Hal inilah menjadi kelebihan yang ditawarkan mekanisme plurilateral dalam mengakomodir kepentingan negara khususnya negara berkembang dalam memberikan waktu dan ruang untuk berkonsultasi secara domestik terlebih dahulu dengan mempertimbangkan peta politik antar negara anggota dalam proses perundingan. Mekanisme plurilateral nyatanya memberikan dampak yang lebih baik dalam penyelesaian proses perundingan dengan tidak mengesampingkan posisi serta kepentingan negara berkembang dan least developed countries dan waktu yang terbilang lebih cepat dibandingkan proses multilateral.
Ditulis Oleh:
Muhammad Ismail Anshari
Mahasiswa Program Magister Hubungan Internasional (S2)
ADVERTISEMENT
Universitas Gadjah Mada