Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perkembangan Sistem Pendidikan Kolonial Belanda
20 Juni 2024 18:38 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad izza Anil mu'ir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selama zaman kolonial di Indonesia, sejarah mencatat adanya beragam sistem pendidikan. Terdapat pendidikan pesantren tradisional yang fokus pada pengajaran agama Islam, serta sistem persekolahan yang diperkenalkan oleh Belanda. Meskipun ada pengaruh besar dari budaya dan tradisi lokal, serta pendidikan agama tradisional, keduanya tetap memainkan peran penting. Seorang anak sering kali menghadiri sekolah berbahasa Belanda pada pagi hari untuk mendapatkan pendidikan sekuler, kemudian dikirim ke sekolah Islam pada sore hari untuk menerima pengajaran agama. Sekolah di pagi hari memberikan keterampilan yang diperlukan untuk mencari nafkah, sedangkan sekolah di sore hari mengajarkan cara hidup sesuai dengan ajaran agama.
Hingga awal abad ke-20, sistem persekolahan belum banyak diminati oleh penduduk pribumi. Pemerintah kolonial Belanda berupaya mengintegrasikan penduduk pribumi ke dalam sistem pendidikan Barat. Pada abad ke-18, pendidikan dan pengajaran diberikan secara individual. Meskipun Capellen pernah mengajukan rencana program pendidikan untuk pribumi kepada Gubernur Jenderal, rencana yang menjanjikan ini gagal terwujud karena kurangnya dana dari pemerintah kolonial. Namun, rencana Capellen berhasil mendirikan tiga sekolah pemerintah untuk anak-anak pribumi di Pasuruan, Karawang, dan Cianjur . Pada awal abad ke-19, sistem ini digantikan oleh sistem pendidikan Barat yang modern. Sebelum pemerintah Belanda mendirikan sekolah di Jawa, sudah ada sekolah teologi khusus untuk umat Kristen.
ADVERTISEMENT
Setelah tahun 1850, sekolah-sekolah di Jawa menjadi lebih teratur, namun tujuan pendirian sekolah oleh pemerintah Belanda bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, melainkan untuk melatih pegawai bagi administrasi kolonial. Pendidikan pada masa itu diarahkan untuk membentuk pegawai pemerintah, bukan untuk menciptakan sistem pendidikan nasional. Kebijakan pendidikan yang lebih aktif dianggap tidak bijaksana secara politis karena dikhawatirkan akan mengganggu produktivitas penduduk pribumi, yang dapat berdampak buruk pada produksi dan perdagangan antara tahun 1830-1870 . Selain itu, upaya beberapa pejabat kolonial progresif untuk mendirikan sekolah bagi penduduk asli gagal karena kurangnya dukungan keuangan dari pemerintah kolonial.
Pembukaan sekolah pelatihan guru pertama untuk pribumi di Surakarta pada tahun 1852 dan Fort de Kock (Bukittinggi) pada tahun 1856 diikuti oleh pendirian sekolah kelas II (ongko loro) yang mengajarkan keterampilan dasar seperti membaca, menulis, berhitung, dan bahasa daerah atau bahasa Indonesia, berbeda dengan sekolah kelas I (ongko siji) yang lebih maju . Upaya untuk mengurangi fasilitas pendidikan sulit dibenarkan karena iklim pendapat internasional mendukung penyebaran pendidikan atas alasan moral dan sosial, dan kekuatan kolonial mulai menilai satu sama lain berdasarkan jumlah pendidikan yang mereka sediakan. Pemerintah Hindia Belanda juga berusaha menyediakan tenaga kerja yang patuh dengan pelatihan minimal, terutama pekerja administratif murah untuk pegawai negeri dan perkebunan yang semakin kompleks dan modern.
Pendirian sekolah di Indonesia merupakan salah satu prinsip dasar dari implementasi Politik Etis. Meskipun Politik Etis terdengar menarik bagi penduduk pribumi dan memperoleh simpati sosial-politik terhadap pemerintah kolonial, sebenarnya kebijakan tersebut merupakan upaya yang dirancang oleh sarjana Belanda untuk melanjutkan eksploitasi kekayaan Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan etis tidak dapat dipisahkan dari agenda kolonial yang bertujuan untuk intensifikasi dan eksploitasi sumber daya koloni. Munculnya Politik Etis bukanlah kebetulan, tetapi sejalan dengan puncak imperialisme Barat sebagai wujud dari politik kapitalisme modern abad ke-19 oleh bangsa Eropa.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pendidikan pada akhirnya memberi dampak kontraproduktif bagi pemerintah kolonial Belanda, karena mendorong munculnya kelompok terdidik di Indonesia yang menjadi pendorong utama tumbuhnya nasionalisme. Kelompok terdidik ini mampu membedakan antara hal-hal yang baik dan tidak baik, yang kemudian memimpin gerakan nasionalisme Indonesia. Sekolah-sekolah yang mengadopsi sistem pendidikan Barat memperkuat empati terhadap penderitaan rakyat kecil dan meningkatkan kesadaran politik orang-orang terdidik, sehingga membangkitkan harapan akan munculnya elit Indonesia yang akan memimpin gerakan ini . Meskipun pendidikan awalnya dimaksudkan sebagai alat politik yang terintegrasi dengan kepentingan Belanda, ada kekhawatiran bahwa kelompok terdidik ini akan menjadi kekuatan politik yang menentang kolonialisme di masa depan.
Referensi:
Aji, R., dan Eko Hermawan. "Ethical Politics and Educated Elites In Indonesian National Movement." International Conference on Social Science 2019 (ICSS 2019). Atlantis Press, 2019.
ADVERTISEMENT
Ananda, Adeliya Putri, dan Hudaidah Hudaidah. "Perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia dari masa ke masa." SINDANG: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Kajian Sejarah 3.2 (2021)
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h.41. dan juga Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda,. (Bandung: Mizan, 1996).
Bubalo, Anthony, dan Greg Fealy. Jejak kafilah: pengaruh radikalisme timur tengah di Indonesia. Mizan Pustaka, 2007.
Iskandar P Nugraha. Teosofi, Nasionalisme dan Elit Modern Indonesia. (Jakarta : Komunitas Bambu)
Latif, Yudi. Pendidikan yang berkebudayaan. Gramedia Pustaka Utama, 2020
Nasution, S. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. 2008.
Nata, H. Abuddin. Pembaruan pendidikan islam di indonesia. Prenada Media, 2019.
Noer, Deliar. "Islam in Indonesia." Asian Studies Review 9.3 (1986): Hal 93.
ADVERTISEMENT
Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve).
Penders, Christian Lambert Maria. Colonial education policy and practice in Indonesia: 1900-1942. The Australian National University (Australia), 1968.
Prayudi, Gusti Muhammad & Dewi Salindri. 2015. Pendidikan pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Surabaya Tahun 1901-1942. Publika Budaya, 1 (3)
Purnama, Agung. "Tradisi Keislaman Masyarakat Sunda Pada Abad Ke-19." Historia Madania: Jurnal Ilmu Sejarah 5.2 (2021)
Rifa’i, Muhammad. (2011). Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik hingga Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Rusdiana, Yusinta Tia, Heryati Heryati, dan Yuliarni Yuliarni. "PERAN ORGANISASI PERHIMPUNAN INDONESIA DALAM UPAYA MENCAPAI KEMERDEKAAN DI BELANDA." JEJAK: Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah 2.2 (2022): Hal 62.
ADVERTISEMENT
Suratminto, Lilie. "Educational policy in the colonial era." Historia: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah 14.1 (2013)
Susanto, Heri, Sri Fatmawati, dan Fathurrahman Fathurrahman. "Analisis Pola Narasi Sejarah dalam Buku Teks Lintas Kurikulum di Indonesia." Fajar Historia: Jurnal Ilmu Sejarah dan Pendidikan 6.2 (2022)
Zainu'ddin, Ailsa. "Education in the Netherlands East Indies and the republic of Indonesia." Critical Studies in Education 12.1 (1970)