Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Dilema 714 Dosen CPNS Mundur, Alarm Reformasi Tata Kelola ASN Akademik
16 April 2025 13:20 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pemerintah kembali dikejutkan dengan kabar yang tak lazim dalam dinamika penerimaan Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebanyak 714 dosen CPNS tahun 2024 yang sebelumnya dinyatakan lulus, memilih untuk mundur. Dari jumlah tersebut, 653 mengajukan surat pengunduran diri secara resmi, sementara 61 lainnya mangkir dari pengisian daftar riwayat hidup. Sekilas, ini tampak seperti keputusan pribadi. Namun, jika ditelaah lebih dalam, fenomena ini adalah cerminan dari problem struktural dalam perencanaan kebijakan ASN akademik.
ADVERTISEMENT
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) telah membenarkan kabar ini dan menyebut alasan utamanya adalah faktor penempatan. Ini bukan kali pertama ASN, terutama dari kalangan dosen, mengalami mismatch antara harapan dan realitas birokrasi. Tapi angka 714 bukan angka kecil, ini alarm keras bagi pemerintah untuk melakukan refleksi dan reformasi kebijakan.
Dari sudut pandang teori kebijakan publik, peristiwa ini dapat dianalisis melalui pendekatan policy failure, lebih tepatnya kegagalan pada tahap implementasi. Sebab, kebijakan rekrutmen CPNS ini sebetulnya dimulai dari desain yang sudah mengedepankan transparansi dan meritokrasi. Namun dalam eksekusinya, ada missing link antara kebutuhan individu, kapasitas lembaga, dan sistem yang berlaku.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa generasi muda intelektual saat ini lebih dinamis, lebih mobile, dan memiliki ekspektasi kerja yang jauh berbeda dari generasi birokrat masa lalu. Ketika mereka memilih menjadi dosen ASN, mereka berharap bisa berdampak di kampus yang sesuai dengan bidang dan potensi pengembangan diri. Namun, jika penempatannya tidak relevan secara geografis maupun akademis, maka mereka dihadapkan pada dilema eksistensial.
ADVERTISEMENT
Dalam prinsip good governance, kebijakan publik harus berpijak pada lima elemen dasar, yaitu transparency, accountability, responsiveness, effectiveness, dan participation. Dalam kasus ini, penempatan dosen CPNS tampak belum memenuhi prinsip responsiveness dan effectiveness. Keputusan yang diambil tidak cukup mendengarkan suara para peserta, dan dampaknya langsung terasa dalam bentuk pengunduran diri massal.
Lebih jauh lagi, jika kita menerapkan teori Human Capital Management dalam manajemen SDM strategis, maka kita tahu bahwa talenta terbaik akan selalu mencari tempat yang memberikan fit antara nilai-nilai pribadi dan budaya organisasi. Ketika penempatan CPNS terasa seperti “lotre birokrasi”, maka banyak dari mereka akan memilih jalur karier alternatif, baik di sektor swasta, NGO, atau akademik non-ASN.
Dalam dunia korporasi global, strategi penempatan talenta dilakukan melalui talent mapping, career development planning, dan local adaptation. Apakah pendekatan serupa pernah digunakan dalam menentukan penempatan dosen CPNS? Ataukah masih mengandalkan sistem kuota formasi tanpa sensitivitas terhadap karakteristik individu?
ADVERTISEMENT
Masalah ini juga menyingkap satu ironi besar. Negara membutuhkan dosen berkualitas untuk membangun daya saing pendidikan tinggi nasional, namun sistem rekrutmennya justru menghalangi kolaborasi strategis antara negara dan intelektual muda. Bukankah lebih bijak jika kebijakan penempatan mempertimbangkan profil akademik, pengalaman riset, dan aspirasi karier?
Kementerian PAN-RB bersama Kemendiktisaintek perlu duduk bersama dan merumuskan policy innovation dalam manajemen ASN akademik. Misalnya dengan skema hybrid placement yang memungkinkan penempatan sementara disesuaikan dengan preferensi awal, disertai kewajiban mobilitas setelah 2-3 tahun masa kerja. Atau menciptakan platform transparan berbasis AI untuk self-matching antara formasi dan profil kandidat.
Pemerintah juga perlu membangun sistem insentif berbasis lokasi dan kontribusi. Kampus-kampus di daerah tertinggal bisa memberikan tunjangan tambahan, akses pelatihan global, dan prioritas kenaikan jabatan fungsional. Di sinilah kolaborasi antara negara dan SDM unggul menjadi mutualistik, bukan transaksional.
ADVERTISEMENT
Kita juga perlu mengantisipasi dampak jangka panjang dari pengunduran diri massal ini. Akankah formasi yang kosong kembali dibuka tahun depan? Bagaimana keberlangsungan pendidikan di kampus-kampus yang sudah mengharapkan kehadiran dosen baru tersebut? Ini bukan sekadar urusan birokrasi tetapi urusan kualitas pendidikan nasional.
Mundur massalnya para dosen CPNS ini juga menciptakan preseden buruk terhadap persepsi publik. Ada kesan bahwa sistem ASN tidak cukup menarik bagi generasi muda cendekia. Jika dibiarkan, maka kita akan kehilangan minat generasi berikutnya untuk bergabung dalam jalur ASN akademik dan ini berbahaya bagi masa depan bangsa.
Oleh sebab itu, perbaikan sistem ini harus menjadi agenda strategis nasional. Ini bukan sekadar urusan teknis SDM, melainkan bagian dari misi besar membangun ekosistem pendidikan tinggi yang adil, kompetitif, dan inklusif. Negara harus menunjukkan bahwa menjadi dosen ASN adalah kehormatan yang layak diperjuangkan, bukan sekadar lotre administratif.
ADVERTISEMENT
Kementerian harus segera membentuk tim ad hoc yang terdiri dari akademisi, pakar SDM, dan pelaku kebijakan publik untuk melakukan audit menyeluruh terhadap proses rekrutmen CPNS dosen. Bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk membangun sistem yang lebih manusiawi dan berbasis data.
Jika peristiwa ini diabaikan, kita akan kembali pada pola rekrutmen tahunan yang penuh masalah. Namun, jika dijadikan titik balik, maka Indonesia punya peluang menciptakan sistem ASN akademik yang berkelas dunia, fleksibel, adaptif, dan berorientasi pada mutu.
Mundur 714 dosen CPNS bukan akhir dari segalanya. Akan tetapi, ini bisa menjadi awal dari reformasi sistemik, jika pemerintah mau mendengar dan bertindak bijak. Saatnya kebijakan publik kita berpihak pada potensi manusia, bukan hanya pada angka-angka formasi.
ADVERTISEMENT