Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Hukum Mati, Pertukaran Narapidana, dan Reformasi Hukum Pidana Transnasional
9 April 2025 12:26 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hukuman mati di Indonesia terus menjadi isu kontroversial dalam sistem hukum pidana nasional, terlebih setelah pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih mempertahankan ancaman pidana mati sebagai salah satu bentuk hukuman. Di saat banyak negara mulai meninggalkan hukuman mati sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia, Indonesia tampak masih berkutat dalam dilema antara keadilan retributif dan perlindungan HAM universal.
ADVERTISEMENT
Data Amnesty International Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2024 saja, setidaknya ada 85 orang divonis hukuman mati dari 75 kasus. Kasus-kasus ini mayoritas berasal dari kejahatan narkotika dan pembunuhan, dua jenis delik yang memang secara historis kerap dijatuhi pidana mati oleh hakim di Indonesia. Sepanjang tahun 2025, vonis mati kembali dijatuhkan kepada 21 terdakwa dari 21 kasus, mempertegas kecenderungan yudisial yang tetap menjadikan pidana mati sebagai pilihan utama dalam kasus-kasus berat.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa pidana mati belum sepenuhnya dijadikan sebagai ultimum remedium, sebagaimana dikehendaki oleh semangat hukum pidana modern yang lebih menitikberatkan pada rehabilitasi pelaku dan pencegahan jangka panjang. Di sisi lain, hukum pidana Indonesia, yang menganut tradisi hukum kontinental warisan Belanda, sangat menjunjung asas legalitas sebagai fondasi utama setiap penjatuhan pidana.
ADVERTISEMENT
Namun, yang ironis, dalam tataran praktis, Indonesia belum memiliki regulasi komprehensif yang mengatur mekanisme transfer narapidana antarnegara (transfer of prisoners), meskipun praktik tersebut telah terjadi dalam beberapa kasus, seperti dengan Filipina, Perancis, dan Australia. Hal ini memperlihatkan ketimpangan antara norma hukum positif dengan realitas praktik bilateral antarnegara.
Kasus Reynhard Sinaga misalnya, terpidana kasus kekerasan seksual paling berat dalam sejarah modern Inggris, yang direncanakan untuk dipindahkan ke Indonesia, adalah contoh paling relevan dalam menyoroti ketiadaan regulasi hukum pidana internasional di tingkat nasional. Wacana ini menuai polemik di tengah masyarakat karena menyangkut banyak aspek, baik dari aspek keadilan bagi korban, peran negara dalam melindungi warganya, serta otoritas moral negara pengirim dan penerima narapidana.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif hukum humaniter dan hukum pidana internasional, setiap transfer narapidana antarnegara haruslah dilandasi kesepakatan internasional yang mengikat secara hukum, serta memenuhi prinsip non-refoulement, hak untuk mendapat perlakuan manusiawi, dan jaminan keadilan prosedural. Sayangnya, Indonesia belum memiliki instrumen hukum nasional yang mendetail tentang prosedur ini.
Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon seperti Inggris menempatkan posisi Presiden atau Kepala Negara dalam peran sentral terkait grasi, amnesti, dan abolisi, yang biasanya juga menjadi bagian dari diplomasi hukum. Di sinilah perbedaan mencolok dengan sistem hukum kontinental di Indonesia, yang sangat formalistik dan rigid dalam menjatuhkan sanksi pidana.
Perbedaan ini menimbulkan dilema ketika harus mengakomodasi praktik internasional yang fleksibel, tetapi harus berhadapan dengan sistem hukum domestik yang kaku dan tertutup terhadap inovasi prosedural lintas negara. Maka dari itu, penting bagi Indonesia untuk segera memiliki regulasi yang jelas dan terukur mengenai pelaksanaan hukuman mati dan mekanisme transfer narapidana antarnegara.
ADVERTISEMENT
Regulasi ini tidak hanya penting untuk memberikan kepastian hukum bagi semua pihak, tetapi juga menjadi jembatan penting dalam diplomasi hukum internasional yang kian berkembang. Tanpa regulasi yang jelas, setiap pemindahan narapidana berpotensi melanggar prinsip due process of law yang dijunjung tinggi dalam sistem hukum pidana.
Selain itu, dalam konteks hukuman mati, Indonesia perlu membuka diskursus nasional yang lebih inklusif dan transformatif. Apakah pidana mati masih relevan dalam sistem keadilan pidana modern yang menekankan rekonsiliasi sosial dan pemulihan korban, atau justru menjadi simbol kegagalan negara dalam menangani akar masalah kejahatan?
Jika pidana mati dipertahankan, maka perlu ada standar yang sangat ketat, mekanisme banding berlapis, serta pengawasan ekstra ketat terhadap potensi kekeliruan dalam penjatuhan hukuman. Terlebih lagi, putusan mati bersifat irreversible. Ketika sudah dieksekusi, tidak ada jalan kembali jika terbukti terjadi kesalahan yudisial.
ADVERTISEMENT
Dari sisi hubungan internasional, absennya regulasi transfer narapidana membuat Indonesia berada dalam posisi lemah dalam melakukan perjanjian bilateral. Negara-negara mitra tidak dapat sepenuhnya percaya pada sistem hukum kita karena kekosongan hukum yang seharusnya menjadi dasar kerja sama penegakan hukum lintas negara.
Regulasi transfer narapidana harus dirancang dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan restoratif, HAM, dan perlindungan warga negara. Tak kalah penting, regulasi ini juga perlu menyentuh isu krusial tentang tempat pelaksanaan hukuman, hak keluarga untuk mengakses narapidana, dan rehabilitasi sosial setelah hukuman dijalani.
Dalam konteks ASEAN dan hubungan diplomatik global, keberadaan instrumen hukum ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat dan sekaligus menjunjung nilai-nilai keadilan universal. Harmonisasi hukum ini juga akan menekan ketegangan diplomatik yang mungkin muncul karena ketidakpastian perlakuan terhadap narapidana warga asing di Indonesia, maupun warga Indonesia di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Di era globalisasi hukum, ketidakhadiran regulasi semacam itu bukan hanya ancaman terhadap keadilan individual, tetapi juga terhadap kredibilitas sistem hukum nasional di mata dunia internasional. Kita tidak bisa hanya mengandalkan praktik sporadis dan diplomasi kasus per kasus tanpa payung hukum yang mapan.
Indonesia dapat belajar dari negara-negara seperti Belanda, Jerman, atau Norwegia, yang telah memiliki undang-undang khusus tentang kerja sama peradilan pidana internasional, termasuk transfer narapidana, dengan memperhatikan hak asasi dan kepentingan publik.
Kini saatnya pemerintah dan DPR membuka ruang untuk merancang RUU tentang Pelaksanaan Hukuman Mati dan Transfer Narapidana Antarnegara. RUU ini harus melibatkan lintas kementerian, lembaga peradilan, lembaga HAM, organisasi masyarakat sipil, serta ahli hukum internasional dan hukum pidana.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, Indonesia tidak hanya akan memiliki sistem pidana yang lebih manusiawi dan berkeadilan, tetapi juga siap berdiri sejajar dalam komunitas hukum internasional yang modern dan adaptif. Regulasi yang baik akan menjadi warisan hukum penting untuk masa depan penegakan keadilan dan perlindungan HAM di negeri ini.