Konten dari Pengguna

Kudeta Suriah dan Ironi Demokrasi Dunia

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
11 Desember 2024 11:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Suriah Bashar al-Assad. Foto: Louai Beshara / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Suriah Bashar al-Assad. Foto: Louai Beshara / AFP
ADVERTISEMENT
Di kala Indonesia sedang mengalami masa subur berdemokrasi yang ditandai dengan damainya proses pemilu legislatif, pemilihan presiden, serta pemilihan kepala daerah, keadaan demokrasi di belahan dunia justru mengalami ancaman serius. Tentu ini akan mudah mendapatkan pembenaran jika memperhatikan pergolakan politik yang sedang terjadi di Suriah.
ADVERTISEMENT
Dinamika politik internasional tersebut jelas mengalami pengulangan ke belakang, dari musim semi demokrasi menuju musim revolusi berdarah dengan penggunaan senjata. Pemaksaan peralihan kekuasaan dengan menggulingkan presiden di sejumlah negara justru dipengaruhi keterlibatan militer yang mengintervensi kekuasaan politik. Ironisnya, saluran demokrasi melalui pemilihan sengaja tidak dilakukan sehingga memicu ancaman serius penggunaan senjata sebagaimana terjadi di Suriah, Mesir, Yaman, Libya, Ukraina, Venezuela, termasuk Thailand dan Filipina.
Memahami berita kudeta bersenjata setidaknya menegaskan bahwa demokrasi yang berjalan di belahan dunia seolah baru dipahami sebatas terbangunnya institusi demokrasi. Pemahaman demikian ditampilkan dengan demokrasi prosedural melalui pemilu, namun melupakan aspirasi dan cita-cita perlindungan sekaligus penghormatan hak asasi manusia.
Langkah politik pemberantasan “terorisme” yang ditujukan terhadap kelompok oposisi oleh junta militer Suriah, dapat menjadi representasi bahwa proses demokrasi di Suriah sudah di ambang kedaruratan. Bahkan konflik militer berkepanjangan semakin mempertegas pengabaian atas nilai-nilai kemanusiaan dan berdemokrasi dengan adanya persaingan kekuatan dan pengaruh antara AS yang mendukung pemberontak Suriah dan Rusia yang mendukung pemerintahan Bashar al-Assad.
ADVERTISEMENT
Kekuatan oposisi di Suriah sesungguhnya mencita-citakan sistem demokrasi berlaku dengan kerimbangan kekuasaan. Praktik demokrasi tersebut dimaksudkan adanya kekuasaan yang dibagi-bagi secara resmi melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Tujuan itu untuk menjamin tidak adanya pemusatan kekuasaan di satu pihak tertentu, terwujudnya checks and balances untuk membebaskan rakyat dari tangan pemerintahan diktator, sekaligus semangat pemerataan kemakmuran.
Demokrasi yang berjalan di Mesir misalnya, justru jalan di tempat karena kekuatan militer masih menguasai jalur politik yang berakibat mengkhianati aspirasi revolusi. Hal ini terlihat dari pola otoritarian baru ketika militer memegang kekuasaan, yaitu penangguhan konstitusi, penutupan media yang pro mantan perdana menteri, dan terjadi penangkapan terhadap sejumlah petinggi Ikhwanul Muslimin. Ancaman dan pemidanaan sepihak terhadap kelompok pro-Mursi dan dilarangnya media pro-Mursi untuk beroperasi, merupakan gambaran efek negatif transisi demokrasi yang salah jalan.
ADVERTISEMENT
Negara-negara Arab yang membebaskan diri dari kekuasaan monarki dan berjuang untuk beralih sistem republik, sebagian besar diperintah para mantan tentara yang naik takhta karena kudeta militer. Oleh karenanya, demokrasi di negara-negara Arab senantiasa diwarnai adanya pembungkaman terhadap lawan-lawan politik dengan membangun jaringan aparat keamanan. Jaringan ini terdiri dari polisi rahasia dan intelijen untuk menguasai semua gerak masyarakat sipil yang dianggap mengancam kekuasaan.
Berdasarkan realita itu, Indonesia sebagai negara muslim demokrasi terbesar di dunia sekaligus anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) harus mengajarkan bagaimana demokratisasi itu berjalan. Sangat maklum jika Indonesia dapat menjadi role of model terbaik bagi negara-negara Arab yang sedang menyusun peta jalan menyatukan antara Islam dan berdemokrasi.
ADVERTISEMENT
Indonesia pernah mengalami demokrasi terpimpin pada era Orde Lama, kemudian selama puluhan tahun mengalami masa otoriter di bawah kekuasaan Orde Baru, mengalami titik transisi demokrasi di era reformasi pada 1998, dan kini sedang melaksanakan proses transisi kepemimpinan nasional. Setidaknya, Indonesia telah memiliki pengalaman dalam menghadapi masa transisi dari zaman ke zaman dengan kemampuan mengintegrasikan semua kepentingan dalam sebuah sistem demokrasi yang damai.
Negara-negara demokrasi yang bergejolak, jelas membutuhkan pelajaran dari bangsa Indonesia dalam mengatasi krisis politik dan krisis ekonomi pada 1998, hampir mirip dengan yang sedang terjadi di negara-negara konflik. Salah satu faktor suksesnya Indonesia menghadapi krisis legitimasi dan proses transisi demokrasi adalah kesediaan militer untuk tidak lagi ikut aktif mencampuri politik pemerintahan yang dipimpin dari masyarakat sipil dengan menerima penghapusan dwifungsi ABRI.
ADVERTISEMENT
Indonesia pernah memiliki militer yang memegang teguh sakralisasi dwifungsi ABRI. Dalam tata kehidupan bernegara, dwifungsi tersebut menjadikan militer dapat menjadi kekuatan sosial politik dan bahkan menjadi aktor dalam sektor perekonomian dalam wujud praktik bisnis militer. Penguasa sangat paham memanfaatkan kekuatan militer untuk mempertahankan kekuasaannya. Oleh karena itu militer tidak lagi berfungsi sebagai penjaga kedaulatan melainkan sebagai pelayan penguasa, pemihakan militer terhadap penguasa harus dibatasi dengan membangun sebuah masyarakat demokratis dan mencabut kesempatan militer untuk menjadi kekuatan sosial politik.
Selain melakukan pembelajaran demokrasi, pemerintah Indonesia juga harus melakukan tekanan diplomasi terhadap negara-negara demokrasi berkonflik agar tidak mengabaikan hak asasi manusia sebagai substansi demokrasi. Terlebih Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM dan sudah memiliki banyak pengalaman dalam menjalankan transisi demokrasi pasca-reformasi dan keberhasilan menangani konflik antar-etnis di berbagai daerahnya sendiri sebagaimana di Ambon, Poso, dan Sampit.
ADVERTISEMENT
Tentu sangat disayangkan perjalanan demokrasi justru mengarah pada penyimpangan kekuasaan yang tergolong political corruption, yaitu penggunaan kekuasaan untuk keuntungan kelompok elite tertentu. Hal demikian seperti terjadi dalam penutupan media yang pro-Mursi, dan terjadi penangkapan terhadap sejumlah petinggi Ikhwanul Muslimin yang dijauhkan dari identitas komunitasnya sekaligus hak-haknya sebagai manusia yang mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan.
Nilai dasar demokrasi pada dasarnya adalah terwujudnya kebebasan. Dan dengan kebebasan, setiap warga negara bisa mengontrol dan mengekspresikan hak sekaligus kewajiban politiknya. Namun bagi rezim tirani, demokrasi yang menjamin kebebasan tersebut dapat dianggap sebagai sesuatu yang merusak dan menghambat tatanan yang tentram, damai, dan sejahtera atas kekuasaan yang dipimpinnya.
Agar kejadian-kejadian teror demokrasi tersebut tidak berulang, bahkan terkesan tidak diabaikan, maka Indonesia melalui forum demokrasinya sekaligus melalui organisasi internasional semacam ASEAN, Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan PBB harus mendesak agar pemegang kekuasaan dan penguasa yang dikudeta dapat saling melakukan rekonsiliasi. Begitulah harapan damai dalam konflik kudeta di Suriah, Yaman, dan kawasan lain di dunia.
ADVERTISEMENT