Konten dari Pengguna

Sejarah Peradilan Agama dimasa Pendudukan Jepang

Muhammad Luthfi Permana
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5 Mei 2024 14:50 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Luthfi Permana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source Image: pexels.com/katrin bolovtsova
zoom-in-whitePerbesar
Source Image: pexels.com/katrin bolovtsova
ADVERTISEMENT
Secara historis, keberadaan lembaga yang melaksanakan fungsi peradilan agama sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam berdiri. Namun, pada waktu itu kewenangan sebagai hakim (qadhi) umumnya dilakukan oleh raja atau sultan yang sedang berkuasa. Khusus untuk perkara-perkara yang menyangkut agama, sultan biasanya akan menunjuk seorang ulama untuk melaksanakan fungsi tersebut. Dasar yang digunakan untuk memutus perkara biasanya adalah Al-Quran dan hadis serta kitab-kitab fikih karya para fuqaha'. Di samping itu, pemutusan perkara juga didasar- kan pada hukum adat sebagai living law yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadis. Istilah yang digunakan sebagai hukum dalam Islam disebut 'urf.
ADVERTISEMENT
Setelah Belanda pergi dan digantikan oleh Jepang, sistem yang dipakai dalam menjalankan pemerintahan pun tidak jauh berbeda. Bahkan tak jarang bertentangan dengan peradilan dalam negeri karena memang disengaja dibuat sedemikian rupa agar tidak jelas. Sebab sejak semula pemerintah kolonial memang sangat khawatir dengan diterapkannya hukum Islam. Hal tersebut dikarenakan hukum Islam sangat bertentangan dengan ideologi dan agama penjajah. Bagi penjajah, memberikan hak hidup terhadap hukum Islam sama saja memberikan hak hidup bagi hukum bangsa Indonesia. Setelah Jenderal Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang pada 8 Maret 1942, pemerintah Jepang segera mengeluarkan berbagai peraturan, salah satunya adalah Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang menegaskan bahwa pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ketetapan baru tersebut tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam, sebagaimana kondisi terakhirnya pada masa pendudukan Belanda.
ADVERTISEMENT
Peradilan agama pada masa pendudukan Jepang tidak dapat dilepas- kan dari "kebijakan-kebijakan" pemerintah Belanda. Daniel S. Lev mengatakan bahwa pendudukan Jepang hanya membawa kemajuan dan memperkuat kedudukan Pengadilan Agama yang ada di satu atau dua daerah di luar Jawa saja, itu pun setelah Jepang melihat keuntungan yang akan diraih. Sedangkan Anderson menyatakan bahwa pengelolaan negara jajahan, baik yang dilakukan Jepang maupun Belanda, tidak ada bedanya.
Menurut Bustanul Arifin, pelembagaan peradilan agama di Indonesia adalah berdasarkan keputusan raja No. 24, 19 Januari 1882 yang diundangkan dalam Staatsblad (Stb) 1882 No. 152 merupakan akhir intervensi politik terhadap hukum Islam karena membahayakan praktik hukum kolonial Belanda yang sangat jelas bertentangan dengan hukum Islam. Sebagaimana diketahui bahwa Belanda memang tidak netral terhadap urusan agama, terutama terhadap Islam. Hal tersebut bisa dipahami dari kombinasi kontradiktif Belanda, di mana pada satu sisi Belanda sangat takut terhadap ancaman pemberontakan kaum Islam fanatik fundamentalis, dan adanya harapan yang sangat berlebihan, di mana Belanda sangat optimistis akan keberhasilan upaya Kristenisasi yang diharapkan akan segera menyelesaikan persoalan yang ada.
ADVERTISEMENT
Semenara itu, pada lain sisi pelembagaan peradilan bisa dikatakan merupakan sebuah simbol dari kekuasaan hukum Islam meskipun rapuh di mana golongan ningrat telah lama berusaha untuk menghapusnya. Di lain pihak, Belanda menganggap bahwa pelembagaan peradilan agama merupakan "jasa baik" untuk meluruskan praktik "peradilan" yang saat itu berjalan untuk memelihara stabilitas kekuasaan politik Belanda. Sebelum adanya Stb. No. 152, praktik peradilan berjalan dalam bentuk dan wadah yang sangat sederhana atau tradisional. Persidangan dilaksanakan menurut keperluan warga setempat. Pelaksananya juga hanya dilakukan oleh orang-orang yang dianggap mengerti tentang ilmu- ilmu agama. Ini berarti bahwa pada saat itu, untuk menjadi hakim yang dilegitimasi oleh warga, hanya diperlukan keahlian di bidang keagamaan. Pengangkatannya pun tidak memerlukan prosedur administratif dan datang dari atasan. Konsekuensi negatifnya adalah timbul ketidakpuasan dalam menerima putusan yang kemudian berlanjut dengan sengketa atau bahkan mengabaikan keputusan hakim.
ADVERTISEMENT
Peradilan agama dengan evolusinya merupakan implementasi politik semenjak dikeluarkannya Stb. No. 152, sampai proses diundangkannya Undang-Undang No. 7 tahun 1989. Para pejabat peradilan agama pada saat itu tidak lebih dari "beamte", yakni petugas yang dibebani tugas-tugas yang bentuknya kurang jelas, tetapi mempunyai kedudukan yang terhormat dalam pertanggungjawabannya, di samping karena kurang terdidik dan terlatihnya mereka dalam penanganan peradilan agama.
Peradilan agama, sampai Jepang hengkang, sejak adanya reorganisasi dengan Stb. No. 152 tidak berubah secara organisatoris. Ia tidak ber- diri sejajar dengan peradilan umum (negeri). Putusan peradilan agama tidak dapat dilaksanakan sebelum adanya persetujuan eksekusi dari badan peradilan umum.
Pada 1922, dibentuk badan yang bertugas mencari jalan agar peradilan agama menjadi lebih baik menurut pandangannya. Komisi tersebut berhasil membuat beberapa kesimpulan penting, meliputi kasus-kasus yang dimasukkan ke peradilan agama hanya kasus yang dianggap erat kaitannya dengan hukum Islam serta kasus-kasus yang berhubungan dengan keabsahan perkawinan, perceraian, mahar, dan kewajiban suami untuk menafkahi istrinya. Peradilan agama yang sebelumnya terdiri atas ketua dan anggota-anggota yang punya hak suara, berubah menjadi hanya seorang hakim saja. Hal ini berkenaan dengan kekuasaan qadhi. Hakim harus dibantu oleh dua orang penasihat yang ahli dalam hukum Islam. Untuk menghindari hal-hal yang kurang adil dan meninggikan peradilan agama, hakim harus menerima gaji dari bendahara negara. Pengadilan banding (Mahkamah Tinggi Islam/Hor Voor Islamietische Zaken) ditetapkan kembali untuk menangani kasus-kasus dari peradilan agama.
ADVERTISEMENT
Pada 1937, akhirnya dibuatlah sebuah peraturan baru (Stb. 1937 No. 116) dengan mencantumkan pasal-pasal yurisdiksinya. Saat itu ditetapkan pula Mahkamah Tinggi Islam dan pemindahan wewenang mengadili perkara waris kepada pengadilan negeri (pasal 7 S. 1937 No. 116 dan 610), serta diberlakukannya ordonansi perkawinan dengan pencatatan perkawinan di catatan sipil. Kerapatan qadhi besar berlaku untuk daerah Kalimantan Selatan (pasal 19 Stb. 1937 No. 639 dan 63). Sedangkan bagi daerah di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan, masalah peradilan agama diserahkan kepada penguasa dan masyarakat setempat yang merupakan bagian dari pengadilan adat dan sultan.
Kebijakan Jepang terhadap Peradilan Agama Dari Maret 1942 sampai Agustus 1945, bekas jajahan Hindia Belanda hidup di bawah penguasaan Jepang. Meski dengan waktu yang sangat singkat, sejarah mencatat bahwa penguasaan Jepang merupakan masa-masa traumatik yang secara mendasar memengaruhi banyak aspek kehidupan bangsa Indonesia. Disadari atau tidak, pada tahap-tahap akhir penjajahan-ketika kekuatan militer semakin memburuk-politik Jepang perlahan memberikan konsesi-konsesi yang lebih besar kepada Indonesia. Jepang tampaknya membentuk politik kolonial yang luwes, terutama dengan pertimbangan- pertimbangan dan strategi jangka pendek. Para pemimpinan Islam pada saat itu melihat adanya kesempatan memperoleh hak-hak yang pernah hilang sejak 1920-1930-an, bahkan mungkin lebih dari itu.
ADVERTISEMENT
Jepang secara mengejutkan dapat membuktikan pemahamannya yang baik terhadap posisi dan pengaruh kelompok-kelompok elite yang saling bersaing satu sama lain, dan dengan sangat mahir memanipulasi kelompok-kelompok tersebut demi kepentingannya. Dengan demikian, pada dasarnya, dalam kaitannya dengan peradilan agama, tidak ada yang cukup berarti sampai dibentuknya Departemen Agama, kini bernama Kementerian Agama, pada 3 Januari 1946 sebagai bukti bahwa Indonesia bukanlah negara Islam dan bentuk dari kompromi antara kalangan priayi nasionalis di satu pihak dan Islam nasionalis di pihak lain.
Puncak pertentangan tampak semakin jelas ketika proses pembentukan dasar negara Republik Indonesia. Pertentangan-pertentangan semacam ini, selain memang telah ada sebelum Jepang datang, merupakan hasil maksimal dari proses devide et impera yang dilakukan Jepang untuk memperkuat kedudukannya, walaupun akhirnya Jepang harus merelakan sistem chek and balance berakhir akibat tumbuhnya rasa kebangsaan Indonesia dan pemberian fasilitas yang berbeda terhadap golongan elite Indonesia.
ADVERTISEMENT
Partai Masyumi yang berdiri pada November 1943, diminta untuk menarik diri dari jenis politik apa pun. Dalam hal ini ada tiga alasan: Pertama, orang Jepang meningkatkan perwakilan Islam di dalam organ-organ politik yang didirikannya. Kedua, tugas-tugas yang diberikan kepada organisasi baru, terutama yang diberikan kepercayaan secara pribadi kepada anggota-anggota, ribuan kiai dan ulama, di tingakat desa sampai batas-batas yang jauh, merupakan usaha politik par excellence. Dalam kenyataanya, Jepang menjamin kekuatan muslim yang tak ada taranya dan berlangsung lama di arena politik Indonesia. Ketiga, Masyumi diberikan tempat utama dalam mekanisme pusat Djawa Hokokai (himpunan kebaktian rakyat atau organisasi pelayanan rakyat di Jawa) tanpa kehilangan kebebasan organisasinya. Oleh karena itu, ketua Masyumi, Hasyim 'Asyari dan Ir. Soekarno, diangkat sebagai penasihat utama (komon) bagi genseikan (kepala pemerintahan militer) yang mempelajari hokokai. Sedangkan Mas Mansur dan Moehammad Hatta bertanggung jawab terhadap masalah dalam negeri umum di pusat. Dengan kata lain, Masyumi menjadi bagian dari pemerintahan Jepang.
ADVERTISEMENT
Perkembangan-perkembangan selanjutnya, sepanjang berkaitan dengan Islam, tampaknya menjadi isu sentral sampai menjelang deklarasi yang penuh dengan kisah. Di samping semakin tajamnya pertentangan politik dan proses pemenuhan "janji-janji" yang diberikan Jepang, tampaknya dipenuhi masalah krusial, yaitu pertentangan politik antar- golongan elite Indonesia yang masing-masing merasa berhak untuk memutuskan.
Badan-Badan Peradilan pada Masa Penjajahan Jepang
Hukum yang berlaku pada masa pendudukan Jepang tidak berubah. Peraturan Osamu Sirei (UU Balatentara Jepang) No. 1 Tahun 1942 pasal 3 menyatakan:
"Segala badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah bagi sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer" (saat itu, politik hukum kembali merujuk pada pasal 131 dan pasal 163 IS).
ADVERTISEMENT
Pemerintah Jepang melakukan perubahan atas badan-badan peradilan, antara lain dihapuskannya dualisme dalam tata peradilan sehingga badan-badan peradilan yang ada diperuntukkan semua golongan. Badan- badan peradilan pada masa penjajahan Jepang, di antaranya:
a) Hooggerechtshof sebagai pengadilan tertinggi berubah menjadi Saiko Hoin.
b) Raad van Justite berubah menjadi Koto Hoin.
c) Landraad berubah menjadi Tiho Hoin.
d) Landgerecht berubah menjadi Keizai Hoin.
e) Regentschapsgerecht berubah menjadi Ken Hoin.
f) Districtsgerecht berubah menjadi Gun Hoin.
Kesimpulan
Pada dasarnya, baik secara historis maupun administratif, kebijakan politik peninggalan pemerintah kolonial Jepang memberikan implikasi yang berarti. Walaupun demikian, jika dipandang dari kacamata perubahan sosial keagamaan, akan terlihat kemajuan mencolok untuk umat Islam dibandingkan pada zaman Belanda. Jepang tidak ragu-ragu meningkatkan posisi agama Islam dan memberikan prestise sosial serta secara implisit memberikan prestise politik kepada juru bicaranya di Jawa dan daerah- daerah lainnya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perhatiannya yang intensif dan dukungannya terhadap Islam merupakan perbedaan utama praktik-praktik politik Jepang dan Belanda. Dua perbedaan lainnya adalah; pertama, korps priayi yang menjadi penguasa administratif dengan sekian banyak hak istimewa pada masa Belanda menjadi berkurang pada masa pendudukan Jepang. Kedua, berkaitan dengan pemimpin gerakan nasionalis Indonesia. Sesudah bertahun-tahun pembuangan para pemimpin yang terkemuka, elite nasionalis "sekuler" yang berpendidikan Barat telah diakui secara resmi oleh pemerintah Jepang, kemudian diangkat ke pos-pos pemerintahan militer dan memperoleh prestise sosial.
Daftar Pustaka
Rosadi, Aden. (2018). Perkembangan Peradilan Islam diindonesia. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Ahmad, R. (2015). Peradilan Agama diindonesia. Jurnal : Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 6(2), 324-326.