Konten dari Pengguna

Penundaan Pemilu dan Pembangkangan Konstitusi

Muhammad Naufal
Jurnalis CNN
4 April 2022 20:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Naufal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
kumparan.com
ADVERTISEMENT
Wacana penundaan pemilu seakan tidak kunjung surut, tidak membutuhkan waktu lama bagi beberapa partai politik untuk mencederai hal-hal yang sebetulnya juga mereka setujui sendiri. Tanggal 14 Februari 2024 yang masih seumur jagung ditetapkan sebagai tanggal pelaksanaan pemilu kembali diguncang melalui yang mengemuka belakangan ini.
ADVERTISEMENT
Alasan menunda pemilu ini pun cukup menggelitik, mulai dari perbaikan ekonomi pasca Covid, kekhawatiran terhadap pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, ataupun big data yang “mengatasnamakan” 110 juta percakapan masyarakat di media sosial yang di klaim, mendukung gagasan ditundanya pemilu tersebut.

Lantas pertanyaan yang paling sering mengemuka belakangan ini ialah: “Kepentingan siapakah gagasan penundaan pemilu ini?” Pasalnya, para pendukung isu penundaan pemilu ini selalu saja “mengatasnamakan” rakyat.

Bahkan, tidak tanggung-tanggung sampai membawa 110 juta masyarakat yang diklaim mendukung gagasan ini. Sementara, pada sisi lainnya klaim ini berbanding terbalik dengan realitas di tengah-tengah masyarakat yang justru menunjukkan resistensi yang kuat terhadap gagasan ini.
Hal ini tergambar melalui hasil survei yang dirilis oleh berbagai macam lembaga survei seperti, LSI, Indikator Politik, dan Litbang Kompas yang menunjukkan rendahnya dukungan dari masyarakat terhadap wacana penundaan pemilu tersebut.
ADVERTISEMENT
Meskipun gagasan ini masih sekedar wacana, akan tetapi tanda-tanda akan meredupnya gagasan ini belum kunjung terlihat. Malahan, terus bergulir semakin kencang kian harinya. Padahal, gagasan ini merupakan gagasan berbahaya yang berpotensi mengangkangi konstitusi dan mengingkari kedaulatan rakyat.
Menuju Konstitusi tanpa Konstitusionalisme
Satu hal yang perlu disadari ialah, jalan menuju penundaan pemilu ini bukanlah perkara mudah, jalur yang ditempuh untuk merealisasikan wacana ini masih sangatlah panjang dan haruslah melalui pintu amendemen konstitusi yang diajukan sekurang-kurangnya oleh 1/3 anggota MPR, untuk mengubahnya sekurang-kurangnya dihadiri oleh 2/3 anggota MPR, dan mendapatkan persetujuan dari 50+1% anggota MPR.
Meskipun begitu, jika kita berkaca dari konstelasi politik di parlemen hari ini, proses ini sangatlah memungkinkan untuk ditempuh. Setidak-tidaknya untuk sampai ke tahap pengajuan amandemen UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Jika gagasan ini sampai terjadi, maka yang menjadi permasalahan utamanya ialah, nilai etis dan potensi dikangkanginya azas konstitusionalisme. Tidak sedikit pasal-pasal dan ketentuan di dalam UUD 1945 yang akan ditabrak oleh gagasan ini. Diantaranya, pasal 1 ayat (2) dan (3) yang menekankan terhadap azas supremasi konstitusi dan negara hukum. Kedua, pasal 22E yang menyebutkan dengan tegas pemilu dilaksanakan selama 5 tahun sekali.
Sehingga, jika wacana ini terealisasi, maka penundaan pemilu akan menjadi semacam hadiah perpanjangan jabatan yang diberikan secara cuma-cuma tanpa harus bertarung dalam pemilu. Wacana ini tentu saja betul-betul mencederai azas demokrasi konstitusional yang menempatkan pemilu sebagai instrumen bagi pejabat publik untuk mendapatkan mandat secara langsung dari rakyat.
Gagasan penundaan pemilu saat ini mengingatkan saya atas apa yang dikatakan oleh Susi Dwi Harijanti (2016:xvi) dengan sebutan “Constitution without constitutionalism”. Pernyataan ini dimaksudkan kepada konstitusi yang bukannya menguatkan prinsip konstitusionalisme, tetapi malah menjauhkannya dari prinsip tersebut. Sehingga, konstitusionalisme yang secara harfiah seharusnya membatasi kekuasaan, justru menjadi pondasi bagi berjalannya praktek otoritarian.
ADVERTISEMENT
Contohnya sebagaimana yang terjadi di Rusia, melalui amandemen konstitusi terbukalah pintu bagi Putin untuk menjabat sebagai Presiden seumur hidup, Konstitusi 2008 Myanmar yang memberikan kekuasaan dan keterlibatan politik yang sangat besar kepada militer tatmadaw, dan juga Cina melalui amendemen konstitusinya berhasil menghapus batas waktu jabatan Presiden yang memuluskan langkah Xi Jinping menjadi presiden seumur hidup. Cerita-cerita pelik di belahan dunia lain inilah yang seharusnya dijadikan pelajaran agar tidak dengan mudah memain-mainkan konstitusi.
Perlukah Mengamendemen Konstitusi hari ini?
Selain daripada terpinggirkannya azas konstitusionalisme, masuklah kita kepada pertanyaan selanjutnya, seberapa pentingkah kita untuk mengamendemen konstitusi hari ini? Memang betul, konstitusi bukanlah kitab suci yang terlarang untuk diubah. Melainkan, ia merupakan living document yang secara harfiah dapatlah diubah dan senantiasa berkembang.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, alasan yang melatarbelakangi amendemen konstitusi inilah yang tidak bisa sembarangan dan membutuhkan kondisi yang memang betul-betul menghendaki perubahan tersebut atau jika meminjam istilah James Madison (1961:314) dengan sebutan ‘great and extraordinary occasion’.
Hal ini merupakan konsekuensi logis daripada posisi konstitusi sebagai the supreme law of the land. Di dalamnya, terkandung cita-cita dan sejarah bangsa. Oleh karenanya, meskipun pasal 37 UUD 1945 memberikan pintu dan mengatur secara rinci hal ihwal tata cara mengamandemen konstitusi. Tetapi, di dalamnya tersirat persyaratan yang menjaga wibawa konstitusi yang membutuhkan syarat-syarat khusus untuk mengubahnya. Sehingga, tidak semata-mata konstitusi dapat diamendemen hanya atas dasar kepentingan elit belaka.
Hal ini pun selaras jika kita menengok kembali lembaran sejarah bangsa Indonesia, amandemen konstitusi selalu dilatarbelakangi oleh kejadian-kejadian luar biasa. Contohnya di Indonesia, reformasi konstitusi pada 1999-2002 sebagai tindak tanduk daripada gerakan reformasi pada 1998.
ADVERTISEMENT
Beranjak dari alasan tersebut, maka jika dikaitkan dengan kondisi hari ini dirasa amendemen konstitusi belum perlu untuk dilakukan dan akan sangat kentara jika amendemen konstitusi dilakukan, maka kepentingan elitelah yang semata-mata menjadi motor penggerak amandemen tersebut.
Hal lain yang perlu kita sadari juga ialah, berhembusnya gagasan penundaan pemilu ini berjalan beiringan dengan wacana-wacana lainnya yang juga membutuhkan amandemen konstitusi sebagai pintu masuknya. Yakni, penghidupan kembali GBHN dan isu penguatan fungsi DPD. Meskipun gaungnya tidak sekuat wacana penundaan pemilu, tetapi kedua isu ini terus menggema hari ini. Sehingga, hal ini berkemungkinan besar menjadikan amendemen konstitusi sebagai “titik pertemuan kepentingan” diantara aktor-aktor politik.
Mengapa saya beranggapan seperti itu? Tentu saja hal ini bukanlah tuduhan yang tidak berdasar. Logikanya sederhana, pertama, meskipun kepentingannya berbeda, tetapi yang menjadi kesamaannya ialah, kepentingan-kepentingan tersebut sama-sama terganjal oleh konstitusi. Seperti, penundaan pemilu, penghidupan kembali PPHN, dan penguatan fungsi DPD. Sehingga, amendemen konstitusi seakan menjadi satu pintu penyelesaian yang dapat mengakomodir semua kepentingan-kepentingan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kedua, hukum menurut KC Wheare (1966) merupakan kompromi realitas politik dan hal senada juga dikemukakan oleh Sri Soemantri dalam Susi Dwi Harijanti (2016:205) yang mengatakan, amendemen konstitusi merupakan masalah hukum yang mengandung aspek politik. Berangkat dari pernyataaan KC Wheare dan Sri Soemantri tersebut, maka dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mengamendemen konstitusi sebagaimana yang diatur pada pasal 37 UUD 1945, kunci untuk membuka pintu amendemen tersebut sudah pasti akan ditempuh melalui pemufakatan politik diantara kelompok yang berkepentingan, in casu: Partai Politik dan Anggota DPD.
Berkaca dari realitas politik hari ini, jika amendemen ke-5 UUD 1945 dilakukan pada konteks saat ini, maka amendemen ini hanya akan menjadi pintu masuk dan titik temu bagi kepentingan elit semata. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, meskipun kepentingannya berbeda-beda, akan tetapi semuanya sama-sama membutuhkan amendemen konstitusi.
ADVERTISEMENT
Sehingga, jika pintu amendemen ke-5 telah terbuka, potensi masuknya kepentingan-kepentingan tersebut pun semakin membesar. Analoginya, jika rumah kita kedatangan tamu sebanyak 3 orang, maka apakah mungkin hanya seorang yang kita suruh masuk ke dalam, sementara sisanya diminta untuk menunggu diluar?
Sebagai penutup, saya hendak mengutip perkataan Bung Hatta (1957:82) yang jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwasanya, demokrasi hanya bisa berjalan apabila didukung oleh rasa tanggung jawab. Ketakutan Hatta kala itu, seakan menjadi-jadi hari ini. gagasan menunda pemilu Inilah salah satu contohnya, dengan dalih keberlanjutan pembangunan dan “mengatasnamakan” kepentingan rakyat, konstitusi pun hendak dipermainkan tanpa peduli. Oleh karenanya, penting bagi kita semua untuk terus mengawal agar gagasan ini jangan sampai terjadi.