Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bangkitnya Tiongkok sebagai Kekuatan Hegemoni Baru Mengancam Stabilitas Global?
9 Desember 2024 11:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Nur Azza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Teori Stabilitas Hegemoni
Pertama, akan dibahas mengenai satu teori dalam Ilmu Hubungan Internasional. Yakni Hegemonic Stability Theory atau Teori Kestabilan Hegemoni. Teori Stabilitas Hegemoni (kemudian akan ditulis sebagai TSH) merupakan konsep dalam hubungan internasional yang berakar dari studi ilmu politik, ekonomi, dan sejarah. Teori ini berpendapat bahwa stabilitas sistem internasional dapat tercapai ketika satu negara menjadi kekuatan dominan atau hegemon. Namun, runtuhnya hegemon atau absennya negara adidaya cenderung menggoyahkan kestabilan tersebut. Saat sebuah hegemon menjalankan perannya sebagai pemimpin melalui diplomasi, paksaan, atau persuasi, tindakan ini mencerminkan "penyebaran kekuasaan," yang disebut sebagai hegemon, kemampuan sebuah negara untuk "mengatur aturan dan struktur politik serta ekonomi dalam hubungan internasional." TSH memberikan kerangka untuk memahami kebangkitan negara-negara besar sebagai hegemon dunia, yang telah berlangsung sejak abad ke-15. Selain itu, teori ini juga berguna untuk menganalisis dan memprediksi dinamika politik internasional dengan melihat hubungan antara hegemon yang melemah dan negara penggantinya yang sedang bangkit. Teori ini menjelaskan bagaimana kebangkitan Tiongkok dianggap sebagai tantangan signifikan terhadap kekuasaan hegemonik AS dalam sistem internasional. Sejak krisis keuangan global 2008, Tiongkok telah mengalami pertumbuhan yang pesat, yang memicu kekhawatiran di kalangan elit kekuasaan AS bahwa mereka perlu mengambil tindakan untuk memperlambat pertumbuhan Tiongkok agar tidak mengancam dominasi AS di berbagai bidang, termasuk ekonomi dan teknologi. Dalam konteks ini, perang dagang dipandang sebagai upaya AS untuk mempertahankan posisinya sebagai kekuatan hegemonik dengan membatasi akses Tiongkok ke pasar dan teknologi AS, serta mencegah terjadinya "economic decoupling" yang dapat memperkuat posisi Tiongkok di panggung global (Wang, 2020).
ADVERTISEMENT
Awal Hubungan dengan AS
Setelah Perang Dunia II berakhir, hubungan AS dan China adalah saling berlawanan karena perbedaan ideologi, AS berusaha untuk membatasi bahkan memengaruhi sekutunya untuk tidak menjalin hubungan diplomatik dengan China. Baru kemudian pada tahun 1979, kedua pemerintah menjalin hubungan diplomatik penuh. Untuk mencapainya, Amerika Serikat harus memutuskan hubungan diplomatik resminya dengan Taiwan, meskipun tetap menjaga hubungan "antar masyarakat" yang setara dengan hubungan diplomatik. Kongres AS mengesahkan Undang-Undang Hubungan Taiwan , yang mengharuskan Amerika Serikat membantu mempertahankan kapasitas pertahanan diri Taiwan dan mempertimbangkan untuk membelanya jika terjadi serangan dari China daratan (Columbia University, n.d.) . Sejak terjalinnya hubungan diplomatik antara China dan Amerika Serikat, perekonomian kedua negara berkembang pesat, dengan keduanya berperan sebagai mitra yang kuat dalam bidang impor dan ekspor.
ADVERTISEMENT
Perang Dagang dengan AS: Bentuk Perlawanan Sang 'Raja'
Terdapat pandangan bahwa selama ini pemerintah AS dengan berani mendorong unilateralisme, proteksionisme , dan hegemoni ekonomi, membuat tuduhan tanpa dasar terhadap banyak negara dan kawasan, terutama China, serta menggunakan tindakan ekonomi seperti tarif untuk menekan negara lain dan memaksakan kepentingannya pada China melalui tekanan ekstrem (Sider, 2020, 15-26). AS secara sepihak, berulang kali menuduh negara lain menggunakan cara curang untuk berdagang dengan tanpa dasar tuduhan yang jelas, tuduhan ini termasuk ditujukan kepada Tiongkok. Tuduhan-tuduhan ini kemudian lebih dilanjutkan dengan pemberian tarif-tarif impor terhadap negara yang menjadi sasaran tuduhan AS. Perang dagang yang dimulai Amerika Serikat pada masa pemerintahan Donald Trump terhadap China telah menjadi salah satu topik paling kontroversial dalam beberapa tahun terakhir. Dengan menaikkan tarif impor pada produk-produk China, Trump bertujuan melindungi kepentingan ekonomi nasional Amerika Serikat serta menghentikan praktik perdagangan yang dinilainya tidak adil dari pihak China. Namun, kebijakan ini memicu ketegangan ekonomi antara AS dan China serta memberikan dampak besar pada berbagai sektor industri di kedua negara (Jackson & Shepotylo, 2019). Tampaknya AS oleh Trump berusaha untuk mempertahankan puncak kuasa hegemonnya. AS tampak cukup gelisah melihat perkembangan pengaruh Tiongkok yang cukup pesat beberapa dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
Hegemoni ekonomi dan keuangan Amerika telah menjadi senjata geopolitik. Dengan menggandakan sanksi sepihak dan "yurisdiksi jangka panjang", Amerika Serikat telah memberlakukan undang-undang domestik seperti Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional, Undang-Undang Akuntabilitas Hak Asasi Manusia Global Magnitsky, dan Undang-Undang Penanggulangan Musuh Amerika Melalui Sanksi, dan memperkenalkan serangkaian perintah eksekutif untuk memberikan sanksi kepada negara, organisasi, atau individu tertentu. Statistik menunjukkan bahwa sanksi AS terhadap entitas asing meningkat sebesar 933 persen dari tahun 2000 hingga 2021. Pemerintahan Trump sendiri telah memberlakukan lebih dari 3.900 sanksi, yang berarti tiga sanksi per hari. Sejauh ini, Amerika Serikat telah atau telah memberlakukan sanksi ekonomi terhadap hampir 40 negara di seluruh dunia, termasuk Kuba, Tiongkok, Rusia, Iran, dan Venezuela, yang memengaruhi hampir separuh populasi dunia. "Amerika Serikat" telah mengubah dirinya menjadi "Amerika Serikat yang Dikenakan Sanksi." Dan "yurisdiksi jangka panjang" telah direduksi menjadi tidak lebih dari sekadar alat bagi Amerika Serikat untuk menggunakan sarana kekuasaan negaranya untuk menekan pesaing ekonomi dan mencampuri bisnis internasional yang normal. Ini adalah penyimpangan serius dari prinsip-prinsip ekonomi pasar liberal yang telah lama dibanggakan oleh Amerika Serikat (China Embassy, 2023). Pada awal tahun 2018, Presiden Trump memulai peningkatan tekanan terhadap Tiongkok dengan mengancam sanksi besar terkait dugaan pencurian kekayaan intelektual, yang direspon oleh Tiongkok dengan mengenakan tarif 25% pada lebih dari 100 produk AS. Sepanjang tahun itu, kedua negara saling menerbitkan daftar tarif yang berpotensi, yang berdampak negatif pada ekonomi Tiongkok dan menyebabkan perlambatan. Pada Desember 2018, kedua pihak sepakat untuk menghentikan penerapan tarif baru, tetapi negosiasi kembali memanas pada Mei 2019 ketika Tiongkok menolak untuk mengubah undang-undang subsidi perusahaan, memicu Trump untuk menaikkan tarif dari 10% menjadi 25% atas impor Tiongkok senilai $200 miliar. Tiongkok merespons dengan menghentikan semua impor produk pertanian dari AS dan melemahkan yuan. Meskipun kedua negara akhirnya menandatangani kesepakatan perdagangan pada Januari 2020, AS terus menambah hambatan perdagangan. Pada tahun 2024, di bawah kepemimpinan Presiden Biden, tarif pada kendaraan listrik meningkat hingga 100%, dan produk teknologi lainnya, seperti sel surya dan semikonduktor, dikenakan tarif sebesar 50%, memicu ancaman balasan dari Tiongkok (Chen, 2024).
ADVERTISEMENT
Selain daripada itu perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok juga berpengaruh kepada Geopolitik kedua negara tersebut seperti menurut beberapa ahli, respons Tiongkok dalam perang dagang dengan AS mungkin lebih merugikan ekonomi Amerika daripada Tiongkok. Perusahaan-perusahaan Amerika kemungkinan akan kehilangan konsumen mereka di Tiongkok akibat seruan nasionalistik untuk memboikot produk-produk Amerika seperti Apple, McDonald's, dan KFC. Di sisi lain, permintaan dalam negeri China untuk produk yang dibatasi oleh AS, seperti ZTE dan Huawei, meningkat. Sanksi terhadap ZTE telah menempatkan perusahaan dalam posisi sulit karena sebagian besar chip untuk produksi peralatan telekomunikasi diimpor dari AS, dan pemasok dari China dan Korea tidak dapat menggantikannya. Dampak pada konsumen akan tergantung pada pilihan konsumsi individu. Misalnya, orang Amerika yang menikmati produk teknologi yang biasanya dirakit di China cenderung merasakan perubahan lebih cepat daripada mereka yang bergantung pada barang produksi dalam negeri, karena barang impor menjadi lebih mahal akibat tarif yang diberlakukan. Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa penerapan tarif impor senilai $200 miliar akan merugikan setiap rumah tangga Amerika sekitar $127 per tahun (Kwon, 2022).
ADVERTISEMENT
Beberapa data dampak perang dagang ini menunjukkan bahwa kemudian perang dagang ini mungkin saja akan memicu Perang Dingin II atau bahkan Perang Dunia III. Tiongkok telah menjadi pemimpin dari Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dari 16 negara yang mana Tiongkok telah mengekspor 26% dari total ekspor mereka ke RCEP ini. Perang dagang akan berakhir dengan kompromi, jika AS belajar menghormati kepentingan pihak lain. China telah menyatakan kesiapannya untuk membuka pasar mobilnya, meliberalisasi sektor perbankan, memperkuat perlindungan hak kekayaan intelektual, dan membatasi transfer teknologi Amerika ke bisnis Tiongkok. Tiongkok mungkin juga setuju untuk membeli sebanyak mungkin hasil pertanian dari petani Amerika. China bersedia mencari kompromi dengan meningkatkan impor barang dan jasa dari AS, mengurangi subsidi pemerintah untuk bisnisnya, dan membuat transfer teknologi Amerika lebih transparan. Namun, kenaikan tarif impor yang sebelumnya diperkenalkan oleh AS kemungkinan besar tidak akan dibatalkan. Skenario ini tidak menutup kemungkinan bahwa konflik perdagangan bisa dibekukan untuk waktu yang lama, dengan "perdamaian dingin" atau detente antara AS dan China sebagai tujuan yang realistis.
ADVERTISEMENT
Perang dagang dapat meningkat dari tahap Perang Dingin kepada perang sebenarnya merupakan skenario sangat tidak diinginkan karena Amerika mengizinkan penggunaan senjata nuklir secara terbatas. Menurut Terence Tai-Leung Chong dan Xiaoyang Li, konflik perdagangan antara China dan Amerika adalah mendasar dan tidak mudah diselesaikan. Konflik ini berkaitan dengan perlombaan untuk dominasi ekonomi global. Amerika serikat memiliki keunggulan signifikan di dunia maya dan berusaha untuk "menjajah secara digital" ekonomi global. Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa mereka siap membuang kontrak dan kewajiban yang tidak nyaman serta mengabaikan PBB dan organisasi internasional lainnya, memberi dirinya hak untuk tindakan militer sepihak. AS bergerak menuju peran yang mirip dengan Kerajaan Inggris setelah Perang Dunia I. Skenario ini tampaknya tidak mungkin saat ini, tetapi bukan berarti tidak akan terjadi (Kapustina, Lipková, Silin, & Drevalev, 2020).
ADVERTISEMENT
Mengancam Stabilitas
Kembali lagi pada Teori di awal artikel ini yakni Teori Stabilitas Hegemoni. Teori ini menyatakan bahwa stabilitas sistem internasional dapat tercapai ketika satu negara menjadi kekuatan dominan atau hegemon dan runtuhnya hegemon atau absennya negara adidaya tersebut cenderung menggoyahkan kestabilan tersebut. Ini sama persis dengan apa yang terjadi pada Perang Dagang yang sudah dibahas diatas tadi. AS awalnya menjadi kekuatan unipolar penguasa hegemon global dan ekonomi global masa itu cenderung stabil. Ketika Tiongkok muncul sebagai calon kekuatan adidaya yang menyaingi AS, maka terjadi sebuah kekacauan geopolitik yang disebabkan oleh dualisme adidaya ini. Ketika sang penguasa hegemon mendapat kompetitor, maka tentu saja ia akan memunculkan sebuah perlawanan, yang sayangnya perlawanan tersebut kemudian akan menimbulkan sebuah kekacauan yang tak hanya di bidang ekonomi saja, tetapi bisa merambat ke bidang lainnya sehingga membuat 'Dunia menjadi Tak Stabil'. Artinya, menurut teori ini dunia dapat stabil jika hanya terdapat satu negara sebagai kekuatan puncak hegemoni saja. Ketika terdapat kompetitor atau kekuatan adidaya lain, maka kestabilan global akan terganggu.
ADVERTISEMENT
Referensi
China Embassy. (2023, March 2). US Hegemony and Its Perils. Retrieved October 27, 2024, from http://ws.china-embassy.gov.cn/eng/xwdt/202303/t20230302_11033825.htm
Columbia University. (n.d.). Asia for Educators | Columbia University. Asia for Educators | Columbia University. Retrieved October 27, 2024, from https://afe.easia.columbia.edu/special/china_1950_us_china.htm
Wang, Y. (2020, Agustus 6). The US–China Trade War and Hegemonic Competition. Taylor&Francis group, 179-194. 10.4324/9781003037231-11
Sider, K. J. (2020, January 26). Sino-American Clash of Hegemony: An Analysis of US-China Trade War. Open Journal of Political Science, 10(1), 15. 10.4236/ojps.2020.101002
Jackson, K., & Shepotylo, O. (2019, June 25). Winners and losers in the US-China trade war. The Conversation. Retrieved October 27, 2024, from https://theconversation.com/winners-and-losers-in-the-us-china-trade-war-119320
Chen, J. (2024, October 11). Trade Wars: History, Pros & Cons, and U.S.-China Example. Investopedia. Retrieved October 27, 2024, from https://www.investopedia.com/terms/t/trade-war.asp
ADVERTISEMENT
Kwon, E. (2022). The US–China Trade War. JOURNAL OF INDO-PACIFIC AFFAIRS, 227-239.
Kapustina, L., Lipková, Ľ., Silin, Y., & Drevalev, A. (2020). US-China trade war: Causes and outcomes. In SHS Web of Conferences (Vol. 73, p. 01012). EDP Sciences.