Konten dari Pengguna

Fenomena Beauty Privilege di Masyarakat

Muhammad Ridhoi
Mahasiswa S1 Sastra Indonesia Universitas Airlangga
31 Mei 2022 15:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ridhoi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Elin dan Aliya di acara podcast OPRA merupakan contoh nyata konstruksi masyarakat terhadap orang good looking. (sumber: youtube)
zoom-in-whitePerbesar
Elin dan Aliya di acara podcast OPRA merupakan contoh nyata konstruksi masyarakat terhadap orang good looking. (sumber: youtube)
ADVERTISEMENT
Menjadi cantik dan rupawan adalah idaman semua orang. Maka tak heran pula begitu banyak produk kecantikan yang bersaing untuk mendapatkan posisi terbaik dalam pasar. Tak hanya obat ataupun skincare, operasi wajah pun rela dilakukan demi mempercantik wajah agar dilirik orang. Lantas, apa istimewanya menjadi cantik atau tampan?
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu tengah ramai diperbincangkan di media sosial seorang pengamen badut jalanan cilik yang berparas cantik. Video pengamen cilik itu diposting di sebuah akun TikTok milik warganet yang akhirnya viral. Elin, pengamen badut itu mengaku ingin mengamen dengan kostum badut karena ingin meringankan beban biaya keluarganya (Republika, 9/5/2022).
Hingga saat ini, Elin menarik banyak simpati warganet dan masyarakat sampai-sampai banyak yang ingin mengadopsinya. Menariknya, pada saat Elin mengamen, ia bersama dengan temannya bernama Alif. Namun yang diekspos justru Elin dan kakaknya— Aliya— yang bahkan tidak terlihat dalam video yang viral itu. Mengapa?
Beauty Privilege merupakan istilah untuk hak istimewa yang didapatkan oleh orang yang memiliki kriteria menarik berdasarkan standar masyarakat. Fenomena ini tentu saja sangat menguntungkan bagi seseorang yang mendapatkan privilege tersebut.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya pada kasus di atas, masyarakat lebih banyak memberikan atensi kepada si badut cantik daripada badut lainnya. Padahal dalam konteks ini, mereka sama-sama sedang mencari uang untuk kebutuhan. Tetapi realitanya, kakak Elin— Alya— yang bahkan tidak terlihat dalam video yang viral itu justru ikut dilirik publik.
Dari kasus tersebut dapat diasumsikan bahwa masyarakat memandang standar menarik memiliki keistimewaan yang hakiki. Padahal, hal ini sangat bertolak belakang pada prinsip hak asasi manusia yang mana seharusnya mengindahkan perlakuan yang sama.
Manusia harus diperlakukan dengan adil dan juga memiliki hak untuk mendapatkan kemudahan tanpa harus memiliki paras yang rupawan. Jika Beauty Privilege ini ditiadakan, seharusnya manusia dapat hidup dengan tanpa khawatir akan diskriminasi atau perundungan sosial.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, tidak hanya beberapa waktu lalu, namun sudah banyak contoh kasus lain di mana good looking selalu diperlakukan istimewa. Kasus narkoba aktor Jefri Nichol salah satunya. Kala itu netizen berbondong-bondong memberikan semangat dan melontarkan dukungan kepada artis good looking itu. Di sisi lain, ketika komika Coki Pardede terjerat kasus narkoba, luar biasa hujatan netizen kepada sahabat Tretan Muslim itu.
Artis lain seperti Uus, Young Lex, yang tidak sekalipun pernah terjerat kasus narkoba, juga ikut menjadi bulan-bulanan netizen karena dicurigai memakainya. Bahkan mentalis Deddy Corbuzier sempat membuat sebuah video satire terhadap ulah netizen yang bersikap mengagung-agungkan mereka yang good looking dan menjatuhkan bahkan membully mereka yang tidak good looking.
Di balik kesan positif dari masyarakat, timbul pula sebuah tuntutan dari masyarakat bahwa good looking harus memiliki attitude yang baik. Mereka yang good looking dianggap mewakili masyarakat sebagai contoh perilaku yang baik dan dianggap sebagai panutan. Meski begitu, ketidaksopanan orang good looking juga tak terlalu memengaruhi reputasinya.
ADVERTISEMENT
Ini merupakan salah satu privilege menjadi orang yang good looking. Banyak orang yang menganggap kesalahan itu hanya kekhilafan orang yang good looking, sementara ketika orang yang tidak good looking melakukan kesalahan, justru bully-an yang menimpanya. Maka dari itu pula, dalam video satire Deddy Corbuzier mengutip satu kalimat yang benar-benar relate dengan keadaan ini, “Minimal kalau nggak good looking ya, sopan.”
Sementara itu dalam jurnal Harvard yang bertajuk ‘Why Beauty Matters’, terdapat sebuah kutipan:
yang artinya jika seseorang itu menarik untuk dipandang, maka kenikmatan yang kita peroleh dari melihatnya mengubah perspektif kita terhadap semua nilai yang ada padanya. Hal ini mengungkap fakta bahwa konstruksi sosial memaksa kita untuk menilai positif ketika orang tersebut memiliki wajah yang good looking. Sebaliknya, pandangan terhadap mereka yang kurang menarik justru mengakibatkan pemikiran yang negatif.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh ketika kita memandang seorang pria memakai jas rapi, kita bisa menilai bahwa ia seharusnya orang yang kompeten dan berperilaku baik. Namun, ketika kita memandang seorang pria bertato dan berpakaian preman, kita malah timbul perasaan curiga dan menganggap bahwa pria itu adalah penjahat atau preman.
Akan tetapi bukan salah mereka yang memiliki paras yang good looking, namun konstruksi sosial masyarakat lah yang membentuk stigma bahwa beauty privilege itu nyata. Kita semua tau bahwa semua manusia telah diciptakan oleh tuhan dalam bentuk sebaik-baiknya, ada kelebihan pun ada kekurangan.
Sama seperti halnya siang dan malam, menjadi good looking pun juga memiliki banyak hal positif dan negatif. Kasus badut cantik beberapa waktu lalu juga menuai perdebatan. Pihak pro yang menganggap bahwa paras cantik itu sudah anugerah dari tuhan, orang tidak berhak menjustifikasi. Lalu, pihak kontra dengan argumennya bahwa semua yang good looking selalu menang dalam strata sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun juga, menjadi cantik atau rupawan adalah sebuah anugerah dari tuhan. Manusia hanya menerima takdir dan menjalaninya dengan penuh ketabahan dan keikhlasan. Tetapi, stigma masyarakat terhadap mereka yang good looking harus benar-benar diubah.
Seiring berjalannya waktu, fenomena beauty privilege yang mana good looking selalu menang akan menjadi sebuah bentuk diskriminasi dan mengsubordinasi kelompok tertentu yang tidak sesuai standardisasi kecantikan dan ketampanan menjadi terasingkan. Akibatnya, mereka yang merasa tidak memiliki kriteria standar cantik dan tampan akan menjadi orang yang tidak percaya diri menghadapi stigma sosial yang sudah menjadi sebuah racun baginya.
Penulis: Muhammad Ridhoi