Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sastra, Hujan, dan Nostalgia
12 Juli 2024 17:59 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Ridwan Tri Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 3 Juli 2024, saya merayakan "Hari Sastra Nasional" di Tebet Eco Park bersama komunitas sastra di kampus saya–yang juga didirikan pada tanggal yang sama dan kini telah berusia 16 tahun.
ADVERTISEMENT
Acara ini berlangsung dengan gembira. Wangi rumput, pohon yang menjulang tinggi, dan suara kepakan sayap burung, beserta nyanyiannya membuat jiwa kami terasa damai. Apalagi, acara ini berkonsep ala-ala piknik yang membangun suasana jadi terlihat akrab, ya, seperti piknik keluarga.
Sebenarnya, tidak banyak kegiatan sastra dalam acara ini, selain peserta membacakan puisi. Namun, banyaknya makanan membuat acara menjadi seru. Tidak perlu saya sebutkan apa makanannya, tapi siapa sih yang tidak suka makan-makan?
Sangking serunya, kami tidak menyadari bahwa langit berubah menjadi kelabu. Angin berhembus gaspol, burung-burung berwarna hitam mulai berterbangan mencari tempat berteduh, serta bau tanah pertanda hujan sudah terendus. Uh, syedapnya!
Dan, kejadian ini memperlihatkan kebodohan kami. Bukannya beres-beres, kami malah bengong melihat rentetan-rentetan kejadian tersebut. Tiba-tiba seorang dosen pembimbing kami berkata, “Kalian semua suka hujan enggak sih? Soalnya penyair biasanya suka hujan.”
ADVERTISEMENT
Bodohnya beberapa teman-teman saya, malah menanggapinya. Mereka semua menyukai hujan. Saya pun berpikir, mungkin bagi mereka hujan merupakan firman visual. Seperti Joko Pinurbo (Jokpin) menyatakan senja adalah firman visual di novelnya yang berjudul Srimenanti.
“Barangkali langit kelabu adalah sesuatu yang gaib bagi mereka,” ucap saya dalam hati.
Kami pun terlena, hingga akhirnya hujan deras membuat kami kelimpungan. Dalam keadaan panik ini, beberapa orang berjalan mencari tempat berteduh dengan beratapkan tiker.
Dalam hati saya ngedumel, “Memang saya suka hujan, tapi kalau kehujanan saya mah enggak suka.”
Memahami Sastra sebagai Sarana Syukur
Anehnya, saat kami mendapatkan tempat berteduh; tidak ada tampang-tampang menyesal di wajah teman-teman saya. Mereka tampak bergembira, malah tertawa-tawa sambil melanjutkan cerita yang tadi sempat terputus karena hujan.
ADVERTISEMENT
Itu belum seberapa. Saat di perjalanan pulang, ada notif WhatsApp (WA) masuk. Dosen pembimbing kami, mengaku memungut diksi di antara genangan hujan. Di luar prediksi! Beliau berjalan menuju Stasiun Cawang sambil menjadi pemulung diksi!
Hal ini membuat saya berpikir, apakah ada sesuatu yang menarik dalam kondisi seperti ini–yang luput dari penglihatan saya?
Tak lama kemudian teman-teman saya menanggapinya. Mereka juga berhasil membuat sebuah puisi. “Gila! Sudah enggak waras!” celetuk saya di atas motor.
Bisa-bisanya mereka membuat puisi, padahal tadi habis kehujanan. Saya pun hanya bisa garuk-garuk kepala, sambil menatap kendaraan yang tidak bisa bergerak sama sekali di Pancoran. Dalam keadaan macet ini, saya mencoba menulis puisi. Namun, saya hanya bisa mengetik kata umpatan di status WA, “Pancoran Bangsat!”
ADVERTISEMENT
Sampai rumah, saya langsung mandi dan memutuskan tidur setelah itu. Namun, nyatanya saya hanya berbaring dengan frustasi. Pikiran saya terusik oleh kebahagiaan teman-teman saya yang tampaknya mampu menemukan inspirasi di tengah kondisi yang kurang ideal. Ini membuat saya bertanya-tanya; apa frasa “sastra itu kehidupan” atau “sastra itu cinta” bukan sekedar omong kosong?
Frasa ini memang terdengar klise, namun ternyata memiliki makna yang dalam. Ketika teman-teman saya mampu menciptakan puisi di tengah situasi yang kurang ideal, mereka sebenarnya sedang menunjukkan kemampuan sastra untuk merangkul dan mengubah pengalaman sehari-hari menjadi sesuatu yang berarti.
Teman-teman saya mampu melihat keindahan dalam hujan dan kemacetan, mengubahnya menjadi inspirasi untuk puisi. Mereka menunjukkan bahwa sastra tidak hanya tentang kata-kata yang indah, tetapi juga tentang cara kita memahami dunia di sekitar kita.
ADVERTISEMENT
Sastra mengajarkan kita untuk melihat keindahan dalam kekacauan, serta mengajarkan kita untuk menghargai momen-momen kecil yang sering kita abaikan. Dengan cara ini, sastra menjadi cerminan kehidupan yang penuh dengan cinta dan rasa syukur. Ini mengingatkan bahwa setiap momen, bahkan yang tampaknya tidak berarti, memiliki potensi untuk menjadi sesuatu yang bermakna.
Nostalgia adalah Teman Baik dalam Hujan
Saya teringat, seorang teman pernah berkata, “Nostalgia, akan menemukan teman yang baik dalam hujan.” Seketika saya terkenang dengan kehidupan saya di masa sekolah.
Dulu saya suka melihat genangan air di jalanan. Alasannya terlalu menye-menye. Melihat genangan air membuat saya mengingat mata doi yang agak sinis dan basah. Ya, mata yang membuat saya terlena waktu itu. Dan, saya pun jadi ingat, dulu saya pernah membuat puisi untuknya di kala hujan.
ADVERTISEMENT
Selain menikmati melihat genangan air, langit kelabu membuat saya lebih introspektif. Biasanya, sambil merenung saya mendengarkan lagu-lagu bergenre folk yang bertemakan hujan. Dan, lirik-lirik lagu tersebut juga bernuansa puitis, lho!
Seperti Dialog Hujan karya Senar Senja, Hujan di Balik Jendela karya Senandung, Hujan dan Kota karya Hankestra, Hujan di Mimpi karya Banda Neira dan Musim Hujan karya Sore Ze Band.
Kesukaan saya terhadap hujan di masa sekolah, terabadikan dalam puisi yang berjudul Prosedur Mencintai Hujan. Puisi ini ditulis untuk teman-teman saya yang selalu bertanya; mengapa saya menyukai hujan. Berikut puisinya:
Mencintai hujan itu
ibarat rambut di kepala
yang sudah lepek seminggu
diusap-usap halus dengan sampo.
Lalu diguyur dengan segarnya
air dari gayung
ADVERTISEMENT
dan terdengar merdu suara:
byur-byur.
Ketika mengenang masa sekolah, saya menyadari bahwa inspirasi bisa datang tiba-tiba–terutama saat hujan. Seperti aliran air hujan yang mengisi selokan depan rumah. Hujan menciptakan momen produktif. Kecintaan seseorang terhadap hujan bisa muncul dari berbagai hal. Entah suara rintik hujan, bau tanah setelah hujan, dan pemandangan hujan yang membangkitkan emosi dan imajinasi kreatif.
Belakangan ini, saya melewatkan momen seperti ini. Entah mungkin karena sibuk mengerjakan tugas kuliah. Saya jadi kurang peka terhadap banyak. Saya tidak bisa melihat dunia dari kacamata lain. Kacamata kecil yang bernama “syukur”. Dan akhirnya, setiap momen kecil dalam hidup saya lewat begitu saja.
Contoh kecilnya saat hujan kemarin. Ketika dosen pembimbing saya dan teman saya bisa memproduksi puisi. Saya cuma bisa mengumpat, “Pancoran Bangsat!” Hal ini membuat saya sadar, bahwa saya perlu menghargai momen-momen kecil untuk bisa mendapatkan inspirasi dalam hal-hal sederhana.
ADVERTISEMENT