Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerita dalam Sudut Pandang Antropologi Kedokteran
12 Juli 2023 6:28 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Rifqi Musyaffa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini banyak diinspirasi oleh kegiatan perkuliahan saya di University of Otago, New Zealand pada mata kuliah Population Health yang diampu oleh Profesor Ruth Fitzgerald.
ADVERTISEMENT
Setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki cara tersendiri untuk mengaktualisasi diri dan menjembatani dunia internalnya (baca: pikiran atau perasaan) dengan dunia eksternal (misalnya lingkungan).
Ada yang melakukannya melalui tulisan, ada yang menggunakan musik, ada yang menggunakan lukisan, dan ada yang melakukannya melalui lisan. Namun, satu hal yang pasti, bahwa apa pun bentuknya yang ingin mereka semua sampaikan adalah sebuah cerita.
Pada perkuliahan kedua saya pada mata kuliah Population Health, saya menemukan bahwa ternyata definisi sehat dan sakit tidak bisa disamaratakan.
Hal ini dikarenakan setiap orang mempunyai pengalaman dan keyakinannya sendiri mengenai sehat dan sakit. Akan tetapi, definisi sehat yang paling banyak diterima oleh orang-orang adalah definisi sehat yang dijabarkan oleh WHO pada tahun 1948 yang kurang lebih sehat diartikan sebagai kondisi fisik, mental dan sosial yang secara utuh sejahtera, yang tidak sekadar bebas dari penyakit.
ADVERTISEMENT
Definisi sehat yang selama ini dipakai dan dipercayai oleh para praktisi medis dan kebanyakan orang hanya mengokomodir cisgender. Oleh karena itu, terkadang yang mereka yang bukan cisgender menjadi terpinggirkan oleh penyedia layanan kesehatan.
Selain non-cisgender, orang-orang tunawisma juga ternyata cenderung memiliki definisi sehatnya sendiri. Dalam sebuah studi di Swedia yang meneliti 9 orang tunawisma menyebutkan bahwa sehat bagi mereka adalah saat kaki bisa terus berjalan untuk mencari tempat aman untuk merebahkan badan. Mereka menjadi penyalahguna narkoba dan alkohol untuk terus merasa hangat dan merasa aman dari perasaan cemas.
Arthur Frank, seorang ahli sosiologi dan antropologi menyebutkan bahwa ada 4 jenis cerita/narasi yang disampaikan orang ketika mereka mengalami sakit:
1. Restitusi, merupakan cerita yang paling sering diungkapkan oleh mereka yang sakit. Narasi jenis ini adalah narasi yang ingin selalu didengar oleh para pekerja kesehatan.
ADVERTISEMENT
Apabila pasien menggunakan narasi restitusi, artinya pasien memiliki harapan untuk sembuh dan memiliki keberanian untuk melawan penyakit yang sedang dia alami. Contoh: Kemarin saya sehat, hari ini saya sakit, dan besok saya akan sembuh lagi
2. Chaos, merupakan cerita yang berkebalikan dengan restitusi. Cerita chaos ini adalah cerita yang paling sering diutarakan oleh para tunawisma yang telah disebutkan di studi di atas.
Narasi ini mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap pelayanan medis dan keputusasaan terhadap kesembuhan. Isi ceritanya biasanya menyebutkan bahwa terapi medis tidak memberikan efek apa-apa, hanya membuang-buang waktu, dan mereka merasa didiskreditkan oleh para tenaga kesehatan. Cerita jenis ini biasanya tidak disukai untuk didengarkan oleh para tenaga kesehatan dan dokter.
ADVERTISEMENT
3. Quest, merupakan cerita yang biasanya diungkapkan oleh mereka yang pernah mengalami penyakit yang cukup parah tetapi mereka telah menerima semua yang mereka alami, baik itu ketika mereka sudah bisa sembuh ataupun ketika mereka tetap sakit.
Biasanya cerita ini memiliki patokan waktu kapan dimulai dan berakhir penderitaannya. Cerita ini lebih mirip seperti cerita perjalanan ketika menghadapi masa-masa sulit.
4. Testimoni, merupakan cerita yang diungkapkan oleh mereka ketika menjalani sebuah terapi tertentu untuk menyembuhkan sakitnya. Misalnya, seorang pasien membuat video Youtube ketika menjalani terapi Deep Brain Stimulation untuk mengatasi sakit parkinsonnya.
Cerita adalah hal yang penting dalam hidup kita, baik itu kita sebagai pasien, pekerja kesehatan, dokter dan ilmuwan. Setiap cerita memiliki hak untuk didengarkan dan terbebas dari penghakiman.
ADVERTISEMENT