Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Balance Of Power: Membendung Arogansi Korea Utara Terhadap Korea Selatan
10 September 2024 12:26 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Ryhan Aghani dan M Bustanul Azhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Seni perang sangat penting bagi negara. Ini adalah masalah hidup dan mati, jalan menuju keselamatan atau kehancuran” begitulah kiranya kutipan yang ditulis oleh seorang jendral perang bernama Sun Tzu yang hidup pada sekitar abad ke-5 SM, kutipan tersebut menggambarkan dua kemungkinan dalam suatu peperangan yaitu mati berjuang atau binasa tanpa perlawanan. Sejarah mencatat bahwa perang menjadi persoalan yang paling merusak peradaban sebagai mana pernah dialami kota Hiroshima dan Nagasaki yang luluh lantah akibat ledakan Bom atom oleh Amerika serikat pada tahun 1945 hingga menewaskan 50.000 sampai 100.000 korban jiwa, akibat dari bom nuklir tersebut.
ADVERTISEMENT
Dewasa kini, tendensi terulangnya peristiwa perang yang kemungkinan dapat mendestruksi peradaban mulai memanas kembali tepatnya di Semenanjung Korea, hal ini disebabkan Uji Senjata Nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara di sekitaran Semenanjuang Korea, dilansir dari Portal Berita BBC, Korea Utara memiliki Rudal Terkuat bernama “Hwasong-18” dengan kemampuan jelajah sejauh 1.000 KM yang pada bulan Juli 2023 dilakukan uji rudal di sekitar semenanjung korea, akibat dari tindakan tersebut berakibat pada Ketegangan bagi negara Korea Selatan serta Jepang yang secara geografis berdekatan dengan Korea Utara. Tentu terhadap tindakan arogansi Korea Utara ini mendapat kecaman dunia internasional. Namun kecaman tersebut tak dapat menekan arogansi serta agresivitas Korea Utara dalam uji senjata Nuklirnya di Semenanjung Korea
ADVERTISEMENT
Nihilnya Upaya Mengatasi Arogansi Korea Utara
Berbagai upaya telah dilakukan, baik secara diplomatis sampai dengan sanksi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk menekan arogansi korea utara yang senantiasa gencar melakukan uji senjata nuklir, tercatat pada 9 Oktober 2006 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1718 berupa sanksi pembatasan Impor, Resolusi 2270 pada tanggal 2 Maret 2016 sanksi pembatasan Korea Utara terhadap Sistem Keuangan Internasional, lalu pembatasan akses Korea Utara Terhadap ekspor batu bara, besi dan makanan laut yang tertuang dalam Resolusi 2371 pada tanggal 5 Agustus 2017. Dalam upaya diplomasi juga telah ditempuh yaitu pada tanggal 15 Februari 2007 yang dihadiri oleh enam pihak meliputi Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, China, Jepang, dan Rusia. Dalam pembicaraan diplomasi ini Korea Utara Sepakat untuk menutup fasilitas nuklirnya di Yongbyon sebagai langkah menuju denuklirisasi, lalu Pertemuan puncak antara Amerika Serikat dengan korea utara pada 12 Juni 2018 yang awalnya bersepakatan untuk melakukan Denuklirisasi lengkap pada semenanjung korea, namun pada realisasinya keseluruhan Langkah diplomatis tak berjalan secara efektif.
ADVERTISEMENT
Ketidakefektifan sanksi-sanksi serta upaya diplomasi yang selama ini dilakukan terhadap Korea Utara, menggambarkan terjadinya stagnasi dalam menjaga stabilitas keamanan internasional khususnya di semenanjung korea, lantas bagaimana langkah yang semestinya ditempuh oleh korea Selatan guna menekan arogansi korea utara terhadap keamanan negaranya.
Pentingnya Balance Of Power
Menghadapi persoalan ini penting bagi Korea Selatan untuk melakukan upaya Balance Of Power terhadap Korea Utara, dalam bentuk pengembangan senjata nuklir bagi negaranya, dilansir dari data Arms Control Association, Korea utara diperkirakan telah merakit 50 hulu ledak nuklir serta memiliki bahan fisil untuk sekitar 70-90 senjata nuklir, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi persenjataan Korea Selatan yang tidak memiliki senjata nuklir.
Langkah awal yang dapat ditempuh Korea Selatan yaitu Menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi (NPT). Mengingat bahwa Korea Selatan bergabung pada perjanjian tersebut pada tahun 1975, Ketentuan perihal pengunduran diri terdapat dalam pasal X perjanjian a quo yang menegaskan bahwa Negara yang menjadi Pihak dalam Perjanjian berhak untuk mundur dari perjanjian apabila terdapat peristiwa luar biasa yang dapat membahayakan kepentingan negaranya.
ADVERTISEMENT
Gagasan perihal dilakukannya Pengembangan Senjata Nuklir bagi Korea Selatan secara independen bukanlah alternatif yang tidak berlandaskan teori, gagasan ini berdasar pada paradigma Realisme yang melihat bahwa politik internasional senantiasa berjalan secara anarkis dikarenakan tidak terdapat otoritas tertinggi untuk mengelola berbagai macam negara-negara dengan kepentingan masing-masing, Sifat anarkis terlihat dari terbaginya kelompok Dewan keamanan PBB dalam konflik ini menjadi dua yaitu kubu Negara Rusia, China yang berkubu pada Korea Utara sedangkan Korea Selatan Berkubu dengan Amerika Serikat dan Jepang. Mestinya Secara Ideal sebagaimana yang dikatakan Immanuel Kant dalam tulisanya berjudul “Perpetual Peace: A Philosophical Sketch” untuk menciptakan perdamaian abadi yaitu dengan menjadikan Federasi negara-negara sebagai alat mencegah serta menyelesaikan suatu Konflik dengan menempuh jalan damai. Namun saat kita jumpai bahwa orientasi Dewan Keamanan PBB tak bermuara pada kesepahaman perihal perdamaian abadi, namun justru berjalan secara anarkis akibat adanya perkubuan.
ADVERTISEMENT
Maka penting bagi paradigma Realisme untuk menekankan bahwa Kekuatan (Power) dan kepentingan Negara merupakan faktor utama dalam lingkup politik global. Terkhusus dalam bingkai pemikiran Realisme Ofensif yang dikemukakan oleh Jhon Mearsheimer, bahwa suatu negara tidak hanya berupaya untuk memaksimalkan kekuatan nya, namun suatu negara juga akan berupaya untuk memaksimalkan powernya agar negara-negara lainya tidak berani menekan secara agresif negaranya.
Sebagai Penangkal Arogansi
Peningkatan kekuatan secara mandiri Korea Selatan dengan kepemilikan senjata nuklir, juga bertujuan sebagai langkah pencegahan/penangkalan (Dettrence). Paradigm ini menilai Bahwa upaya dalam mencapai stabilitas negara dalam ruang lingkup internasional bertitik tolak pada kapabilitas suatu negara berupa keunggulan dalam sektor tertentu yang dalam konteks ini keseimbangan kekuatan antara Korea Selatan dengan Korea Utara. Sebagaimana dikatakan oleh profesor Branislav L. Slantchev, bahwa upaya Deterrence yang berarti suatu tindakan menggeretak terhadap lawan agar tidak lagi melakukan ancaman secara arogan dikarenakan power yang berimbang.
ADVERTISEMENT
Bukankah dengan kepemilikan senjata nuklir Korea Selatan justru meningkatkan potensi perang nuklir semakin meningkat? Menjawab pertanyaan tersebut maka kita perlu memahami konsep Mutual Assured Destruction (MAD), konsep ini mendalilkan bahwa berimbangnya suatu kekuatan antar negara yang berkonflik, terkhusus keseimbangan dalam sektor persenjataan nuklir, menjadikan negara-negara yang semula arogan menekan, menjadi berpikir dua kali untuk melancarkan serangan, dikarenakan kehancuran yang juga dapat berbalik jika dipaksakan, mengingat bahwa daya destruktif dari senjata nuklir sangatlah besar dan tentu dapat menghancurkan kedua belah pihak.
Cara pandang Mutual Assured Destruction selaras dengan peribahasa yaitu “Menang jadi Arang, Kalah jadi Abu” menyiratkan bahwa suatu konflik pada hakikatnya akan merugikan kedua belah pihak, yang dalam konteks ini konflik senjata nuklir yang apabila terjadi akan merugikan Korea Selatan dan juga Korea Utara. Dengan demikian potensi pecahnya perang nuklir dapat dinilai sukar terjadi, serta dengan berimbangnya kekuatan tersebut dapat menekan balik tindak agresif yang selama ini dilakukan Korea Utara Terhadap Korea Selatan dengan Keseimbangan Kekuatan antara keduanya.
ADVERTISEMENT