Konten dari Pengguna

Belajar Menjadi Tirani Abadi dari Keluarga Kim di Korea Utara

Muhammad Zair Baitil Atiq
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
7 Januari 2024 16:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Zair Baitil Atiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bendera Korea Utara: Foto: Unsplash/Micha Brandli
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bendera Korea Utara: Foto: Unsplash/Micha Brandli
ADVERTISEMENT
Perlu diakui bahwa keluarga Kim adalah tirani paling sukses dalam mempertahankan kekuasaannya hingga saat ini. Sudah lebih dari 75 tahun keluarga ini berhasil menjadikan Korea Utara sebagai tempat suci untuk menyalurkan hasrat politiknya. Dimulai dari kepemimpinan sang kakek Kim Il Sung selama 46 tahun sejak 1948 hingga 1994, lalu diteruskan oleh putra sulungnya yaitu Kim Jong Il yang memimpin selama 17 tahun sejak 1994 hingga 2011, dan dilanjutkan oleh sang cucu Kim Jong Un yang mulai berkuasa sejak 2011 hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan keluarga Kim ini seakan tanpa celah, disaat diktator di negara lain silih berganti berjatuhan karena instabilitas politik yang terjadi namun mereka secara sempurna masih kokoh dalam mempertahankan singgasananya. Tentu kejayaan ini didukung oleh berbagai strategi preventif dan represif yang berhasil dilakukan.
Mulai dari penguatan birokrasi dan militer untuk mengontrol masyarakat, penggunaan teror dalam melenyapkan oposisi, produksi senjata mematikan untuk mencegah intervensi kekuatan asing, serta indoktrinasi ideologi bernama “Juche”–yang seakan telah menjadi agama–untuk menjaga loyalitas masyarakat. Mungkin keluarga kim dapat menjadi teladan yang tepat bagi para penguasa lain yang ingin melanggengkan kekuasaannya atau sedang membangun dinasti politiknya.

Sang Dewa “Kim Il Sung” dan Ideologinya

Monumen Mansu Hills. Foto: Wikipedia
Bagi masyarakat korea Utara sosok Kim Il Sung adalah layaknya seorang dewa. Ia merupakan seorang pemimpin yang revolusioner, peletak pondasi bangsa, dan penyelamat Korea Utara dari penjajahan serta kesengsaraan. Pada awal kemerdekaan korea utara, Kim Il Sung berhasil menyatukan 3 kekuatan besar politik di korea utara yakni faksi nasionalis, faksi sosialis, dan faksi Manchurian.
ADVERTISEMENT
Keberhasilannya dalam penyatuan 3 kekuatan besar ini mentasbihkan kepemimpinannya di korea utara pada tahun 1948. Pada tahun 1955, untuk pertama kalinya ia mengenalkan sebuah ideologi baru yang bernama “Juche” yang menekankan pada kemandirian atau self-resilience.
Pada awalnya landasan ideologi Korea Utara berhaluan marxisme-leninisme namun karena perubahan besar-besaran yang dilakukan oleh Nikita Khrushchev di tubuh Uni Soviet melalui program destalinisasi pasca kematian Stalin 1953, beberapa negara memilih tidak mengikuti kebijakan tersebut dan menjalankan ideologinya sendiri termasuk Korea Utara.
Melalui ideologi ini, Kim Il Sung ingin menegaskan kepada dunia bahwa Korea Utara adalah bangsa yang mandiri dan dapat hidup tanpa adanya intervensi bangsa asing. Secara cepat korea utara bertransformasi menjadi hermit nation (negara atau masyarakat yang sengaja menutup diri dari dunia).
ADVERTISEMENT
Sebelum diresmikan pada 1982 sebagai ideologi negara, Juche digunakan sebagai instrumen untuk membentuk loyalitas dan dedikasi rakyat Korea kepada pemimpin negara. Hal ini bertujuan untuk mendewakan sosok Kim Il Sung dan mengokohkan landasan kekuasaan tunggal yang ia miliki.
Dalam implementasinya, berbagai propaganda dan indoktrinasi dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai medium. Misalnya melalui ruang pendidikan dimana anak-anak sedari kecil sudah dicekoki kisah sejarah heroik Kim Il-sung sebagai "Bapak Besar" yang telah membebaskan Korea dari penjajahan Jepang.
Mereka juga diwajibkan untuk menyanyikan lagu-lagu patriotik yang memuji Kim Il-sung dan keluarganya. Bahkan melalui soal-soal ujian matematika –seperti yang disebut oleh James Glyn Ford dan Soyoung Kwon dalam bukunya “North Korea on the Brink: Struggle for Survival”– berikut ini:
ADVERTISEMENT
Tidak cukup sampai disana, medium lain turut digunakan sebagai sarana indoktrinasi seperti komik, lagu, film, dan opera yang memiliki corak nasionalis dan kepahlawanan dengan tema anti-Amerika, anti-Jepang, anti-Korea selatan dan anti-Kapitalis. Hal ini menunjukkan bagaimana pemerintahan mempunyai kontrol penuh terhadap media dan instrumen yang ada.
Ilustrasi Monumen Ideologis Korea Utara. Foto: Unsplash/Steve Barker
Penggunaan ruang publik juga dilakukan seperti museum Fatherland Liberation War di Pyongyang menggambarkan sentralitas peran Kim Il Sung, Penetapan hari-hari besar untuk keluarga Kim, ataupun patung-patung dan gambar pemimpin agung tersebut yang dibangun di berbagai sudut kota. Hal ini membuat pengkultusan sosok Kim Il Sung semakin kuat di tengah masyarakat, terlebih narasi tersebut selalu direproduksi intergenerasi.
ADVERTISEMENT
Ketika seorang individu sudah dikultuskan, maka sebengis apapun kelakuan orang tersebut tidak akan pernah menghilangkan kecintaan para pengikutnya. Dapat kita lihat bagaimana masyarakat Korea Utara dengan lapang dada menerima keadaan miskin, kesengsaraan, dan kekejaman yang dilakukan oleh negara kepada mereka. Perwujudan dari konsistensi upaya pengkultusan diri ini dapat kita lihat dari kokohnya kekuasaan keluarga kim hingga saat ini.

Menyingkirkan Lawan dan Menyiapkan Pewaris

Ilustrasi pemuda-pemudi Korea Utara. Foto: Unsplash/Micha Brandli
Maka untuk mempertahankan kekuasaan mu selamanya, jadikan lah dirimu satu-satunya opsi yang ada. Hal ini dapat dicapai melalui kebijakan yang represif atau melakukan teror terhadap gerakan-gerakan oposisi. Teror ini berwujud hukuman mati bagi mereka yang melakukan perlawanan sekaligus sebagai cara yang efektif untuk menumpas para oposan dan sebagai bentuk intimidasi bagi lawan politik untuk tidak macam-macam.
ADVERTISEMENT
Pasca perang Korea 1953, pemerintahan Korea Utara secara serius mulai menghapuskan fraksi anti-Kim secara massal dan memperkokoh landasan sistem penguasa tunggal. Saat oposisi sudah berhasil ditundukkan langkah dalam membangun sebuah dinasti menjadi lebih mudah namun Kim Il Sung harus menyiapkan pewaris terbaik untuk kekuasaanya. Pewaris utama pada saat itu adalah Kim Jong Il terutama setelah ia berhasil memimpin proyek pembuatan film propaganda disaat umurnya masih sangat muda.
Ilustrasi monumen di Korea Utara. Foto: Unsplash/Micha Brandli
Akan tetapi, pertanyaan besarnya adalah “bagaimanakah cara menggantikan seorang dewa yang sudah disembah oleh banyak orang?”. Kemasyhuran Kim Il Sung tampaknya menjadi hantu bagi sang anak karena memang pada saat itu ia terlalu berfokus pada bagaimana memperkuat pengkultusan diri ayahnya namun tidak dengan dirinya.
ADVERTISEMENT
Maka beberapa upaya pun dilakukan seperti mereproduksi doktrin untuk membangun kepercayaan masyarakat kepada kim jong il sebagai sosok yang hebat sama seperti ayahnya dan suksesi kekuasaan yang dibantu langsung oleh sang ayah dengan membukakan jalan politik untuk putra sulungnya tersebut.
Hal ini dapat dilihat bagaimana pasca Kim Jong Il lulus dari universitas, ia langsung ditempatkan di Departemen Organisasi Partai Pekerja Sosial. Posisinya lalu semakin naik ketika terpilih menjadi Ketua Umum Kementerian Propaganda dan selanjutnya pada 1974 Kim Jong Il dilantik sebagai anggota Badan Politik Komite Sentral (politburo) yang mana dalam sidang tersebut juga ditetapkan bahwa Kim Jong Il adalah pewaris dari sang ayah.
Tentu jabatan politis ini tidak terlepas dari pengaruh ayahnya yang mutlak dalam politik di korea utara. Pijakan yang diberikan oleh ayahnya juga menjadi momen dimana ia dapat menunjukkan kepiawaian, ambisi, dan taringnya sebagai seorang pemimpin sehingga dapat membangun kredibilitas pada masyarakat. Pola-pola suksesi seperti ini terus berlanjut hingga ke generasi selanjutnya dan berhasil melanggengkan kekuasaan politik keluarga Kim.
ADVERTISEMENT

Diperlukan Senjata Untuk Bertahan

Sampailah kita di pertanyaan pamungkas “setelah mendapatkan kekuasaan lalu bagaimana cara mempertahankan kekuasaan itu selamanya?”. Dalam sejarah kediktatoran dunia, para diktator selalu rentan akan musuh dari luar yang dapat mengancam kekuasaan. Kerap kali musuh melakukan intervensi dengan memainkan berbagai narasi buruk tentang rezim suatu negara agar dapat menggulingkan kediktatoran seorang pemimpin.
Dapat kita lihat bagaimana misalnya kepemimpinan Saddam Husein yang ditumbangkan oleh intervensi Amerika Serikat setelah 24 tahun berkuasa atas tuduhan penggunaan senjata pemusnah massal atau Muammar Gaddafi yang diturunkan dari tahtanya setelah 42 tahun berkuasa karena adanya intervensi NATO yang menganggap dirinya telah melakukan pelanggaran HAM Berat terhadap masyarakat. Namun kasus serupa tidak berlaku bagi keluarga kim yang berhasil memproduksi secara masif senjata paling dikhawatirkan di abad ini yaitu “Nuklir”.
Ilustrasi Ledakan Nuklir. Foto: PNGWING
Pengembangan senjata mematikan ini sudah dimulai sejak zaman kepemimpinan Kim Il Sung yang pada saat itu memiliki hubungan mesra dengan Uni Soviet. Kerja sama dijalin dalam hal pembangunan pusat penelitian nuklir, pembuatan reaktor nuklir, hingga pembangunan berbagai fasilitas penunjang lainnya.
ADVERTISEMENT
Pengembangan senjata nuklir secara masif ini menimbulkan kekhawatiran bagi Amerika Serikat dan Korea Selatan sehingga terjalinlah berbagai kesepakatan denuklirisasi dan pengawasan ketat terhadap produksi senjata nuklir Korea Utara. Namun bukanlah seorang diktator sejati jika tunduk oleh kekuatan lainnya, kesepakatan tidak pernah benar-benar terjadi dan pengembangan nuklir secara besar-besaran terus dilakukan di tengah kecaman banyak negara.
Sejak kematian Kim Il Sung, orientasi kebijakan korea utara semakin berpusat pada pengembangan militer, hingga saat ini di bawah kepemimpinan Kim Jong Un, korea utara telah bertransformasi menjadi negara yang sangat mengancam dan dipertimbangkan.
Seperti apa yang dijelaskan oleh Machiavelli dalam bukunya yang berjudul "Sang Penguasa" bahwa:
Strategi Nuklir ini tidak hanya sekedar berhasil menciptakan keadaan aman bagi Korea Utara, namun juga berhasil menjaga segala bentuk intervensi bangsa asing terhadap rezim yang berkuasa sehingga singgasana keluarga Kim belum dapat tersentuh hingga saat ini.
ADVERTISEMENT