Konten dari Pengguna

Etnis Rohingya Juga Manusia Seperti Kita

Muhammad Zair Baitil Atiq
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
7 Januari 2024 17:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Zair Baitil Atiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengungsi Rohingya. Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengungsi Rohingya. Foto: Freepik
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini kita disuguhkan tontonan bagaimana masyarakat Indonesia berbondong-bondong menentang hadirnya pengungsi rohingya yang datang ke Indonesia baik melalui media sosial ataupun aksi demonstrasi yang dilakukan secara langsung oleh masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Pada puncaknya, upaya penolakan ini bermuara pada aksi pengusiran secara paksa bahkan tindakan persekusi kepada para pengungsi yang merupakan penyintas genosida dan sangat rentan terhadap kekerasan. Puncak kebencian ini juga didukung oleh framing berbagai media yang turut memprovokasi kehadiran etnis rohingya sebagai hama yang harus disingkirkan dan berimplikasi pada munculnya perasaan xenofobia di tengah masyarakat.
Dalam waktu yang bersamaan dukungan terhadap isu kemanusiaan lainnya bagaikan ombak yang tak kunjung surut. Banyak masyarakat Indonesia yang simpatik atas nama kemanusiaan dan secara habis-habisan mendukung baik melalui sosial media ataupun memberikan bantuan secara langsung dalam jumlah yang sangat besar.
Namun ketika berbicara tentang etnis rohingya, respon kita justru berkebalikan dan menunjukkan sikap antipati serta buta terhadap diskriminasi panjang dan pembantaian yang mereka alami selama berpuluh-puluh tahun.
ADVERTISEMENT
Lalu mengapa kita tidak bisa memiliki rasa simpatik yang sama terhadap isu kemanusiaan yang sebenarnya sama-sama sangat memprihatinkan dan menyengsarakan? Mungkin perlu kiranya sesekali kita melakukan refleksi diri dan bertanya pada hati kecil kita masing-masing “apakah saya benar-benar peduli terhadap kemanusiaan?”.

Perlu memahami apa yang terjadi dengan mereka

Ilustrasi Militer Myanmar. Foto: Unsplash/Filip Andrejevic
Etnis rohingya adalah salah satu dari sekian banyak etnis di dunia ini yang mengalami diskriminasi panjang yang tak kunjung berakhir hingga saat ini. Tinggal di provinsi Rakhine atau yang dahulu dikenal sebagai tanah arakan bahkan jauh sebelum Myanmar menjadi negara yang berdaulat, tidak membuat mereka aman dari perlakuan diskriminasi yang datang baik dari pemerintah maupun masyarakat setempat.
Pemerintah Myanmar tidak menganggap mereka sebagai etnis resmi dan tidak mengakui kewarganegaraan mereka sehingga pada saat ini etnis rohingya berstatus Stateless atau tanpa kewarganegaraan. Tidak cukup sampai disitu mereka juga dianggap sebagai teroris oleh pemerintah karena melakukan perlawanan atas diskriminasi yang mereka dapatkan selama bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
Pada puncaknya di tahun 2017, pemerintah secara terbuka melakukan pembantaian, pemerkosaan, bahkan pembakaran desa dan tempat tinggal mereka. Upaya ethnic cleansing ini menyebabkan setidak nya ribuan orang tewas hanya dalam waktu sebulan dan ratusan ribu lainnya terpaksa harus mengungsi dari tanahnya sendiri.
Saat ini para pengungsi tersebar di berbagai negara dan tinggal di kamp pengungsian. Berhijrah ke tempat lain dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, namun justru ancaman dan ketakutan masih menghantui hari-hari mereka selama di sana. Di tempat pengungsian terbesar mereka pada saat ini yakni Cox’s Bazar yang terletak di Bangladesh, Setiap hari para pengungsi merasakan ancaman yang datang dari geng kriminal dan afiliasi kelompok bersenjata yang memeras dan bahkan melakukan serangan fisik kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Kepolisian setempat mencatat sekitar 60 pengungsi sudah terbunuh sepanjang tahun 2023 akibat ulah kelompok kriminal ini. Keterbatasan gerak di kamp pengungsian juga membuat mereka tidak dapat bekerja dan mencari penghasilan sendiri sehingga sangat bergantung pada bantuan dari program pangan dunia yang jumlahnya tidak menentu dan bahkan beberapa kali jatah makanan mereka harus dibatasi. Berbagai ancaman tersebut membuat mereka memutuskan untuk pergi dan harus mengambil tawaran dari para penyelundup imigran karena status mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan sehingga tidak memungkinkan untuk pindah ke tempat lain dengan cara yang legal.
Penderitaan tidak berhenti sampai disana karena perjalanan laut yang harus dilewati sebenarnya sama mematikannya bagi mereka. Perahu yang buruk, makanan yang terbatas, sanitasi yang tidak layak, dan keterbatasan air bersih adalah ancaman nyata bagi mereka. UNHCR mencatat bahwa pada tahun 2022 lalu sekitar 348 orang dinyatakan tewas atau hilang dalam perjalanannya dalam mencari suaka untuk berlindung.
ADVERTISEMENT
Tak dapat terbayangkan bagaimana rasanya harus hidup dalam rasa takut dan bertaruh nyawa setiap harinya. Hidup terusir dan dibunuh dari tempat ke tempat bahkan ketika telah sampai di tempat yang mereka yakini aman dan dapat memberikan perlindungan namun justru turut memberikan perlakuan persekusi yang sama. Rasa depresi, frustasi, ketakutan, kehilangan orang yang disayang, dan hancurnya kehidupan setidaknya dapat kita lihat sebagai alasan yang cukup rasional dari sikap mereka yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Tentu tidak untuk membenarkan, tapi yang kita perlukan adalah lebih memahami apa yang sudah mereka lalui selama ini sehingga kita dapat merespon hal tersebut dengan lebih manusiawi.

Xenofobia, framing media, dan kebencian yang berlebihan

Ilustrasi Persekusi Terhadap Etnis Rohingya. Foto: Freepik
Hal yang paling mengerikan dari aksi penolakan ini adalah kebencian yang dilakukan secara berlebihan terhadap etnis rohingya. Banyak orang-orang yang hanya ikut-ikutan saja karena terprovokasi oleh framing media tanpa memahami isu pengungsi rohingya secara utuh. Dapat kita lihat bagaimana masyarakat melakukan generalisasi terhadap kesalahan-kesalahan beberapa oknum pengungsi dan menarik kesimpulan tunggal bahwa mereka semua adalah orang jahat, hama, dan beban yang harus segera disingkirkan.
ADVERTISEMENT
Dominasi pikiran seperti ini sangat buruk karena membuat kita buta terhadap kemanusiaan dan menumbuhkan perasaan xenofobia di kalangan masyarakat. Xenofobia adalah ketidaksukaan atau rasa takut secara berlebihan kepada orang asing baik dalam hal fisik, budaya, agama, etnis, dan lainnya. Rasa ketidaksukaan secara berlebihan ini membuat kita sangat sensitif terhadap kesalahan yang mereka lakukan bahkan terkadang kita melihat kesalahan kecil sebagai sesuatu yang fatal dan tidak dapat ditoleransi.
Padahal jika kita bandingkan dengan negara lainnya, proporsi pengungsi rohingya di Indonesia adalah yang paling sedikit namun kenapa seakan kebencian kita yang paling besar terhadap mereka. Media yang melihat rasa ketidaksukaan tersebut sebagai headline berita yang seksi untuk menarik atensi masyarakat pun turut mengambil kesempatan dengan mengamplifikasi ujaran kebencian terhadap etnis rohingya kepada masyarakat luas. Hal ini tentu berimplikasi pada rasa benci dan takut terhadap mereka menjadi semakin kuat bukan hanya bagi masyarakat Indonesia namun juga bagi masyarakat Internasional yang termakan oleh framing tersebut.
ADVERTISEMENT
Para pengungsi yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan dipenuhi hak-hak dasarnya sebagai seorang manusia justru semakin termarjinalkan di dunia saat ini. Alih-alih menjalankan kewajiban sebagai manusia untuk menyelamatkan mereka dari diskriminasi panjang yang sudah menghancurkan hidup mereka, justru tanpa sadar kitalah yang turut melanggengkan diskriminasi tersebut terhadap mereka.

Menjadi manusia yang adil dalam melihat isu kemanusiaan

Ilustrasi Pengungsi Rohingya. Foto: Freepik
Zoon politicon atau manusia adalah makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Terkadang kita mengalami fase yang sulit dan memerlukan bantuan manusia lainnya, namun terkadang kitalah yang dibutuhkan orang lain untuk membantu mereka melewati fase tersebut.
Terlepas dari apakah orang tersebut akan merespon bantuan yang kita berikan dengan cara yang kita harapkan atau tidak, akan tetapi membantu sesama manusia adalah nilai universal yang harus kita pegang dan saya rasa ini juga merupakan nilai mendasar yang diajarkan setiap agama yang kita yakini sebagai pedoman hidup.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan konsep bantu-membantu ini, namun akan menjadi mengerikan ketika ada prasyarat yang harus terpenuhi sebelum melakukan sebuah kebaikan. Semisal kebaikan yang kita lakukan hanya berdasar pada seberapa besar kebaikan yang orang lain lakukan atau hanya karena kedekatan hubungan yang dimiliki karena sejatinya kebaikan seharusnya tidak terbatas dan dibatasi.
Hal serupa mungkin dapat kita lihat dari bagaimana bantuan dan dukungan kita terhadap isu kemanusiaan lainnya terlihat lebih tulus dan besar yang mungkin disebabkan karena adanya yurisprudensi masa lalu di mana negara tersebut telah berjasa dalam mengakui kemerdekaan Indonesia sehingga kita punya tanggung jawab moral untuk membalas budi ataupun mungkin karena kedekatan hubungan masyarakat di antara kedua negara yang sudah terjalin sejak lama.
ADVERTISEMENT
Namun jika memang kedua faktor tersebut bukanlah alasan utama yang membuat dukungan kita lebih besar terhadap mereka, melainkan murni karena atas dasar kemanusiaan, ajaran agama untuk peduli kepada sesama, ataupun amanat konstitusi untuk menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan maka saya rasa kriteria tersebut seharusnya juga masuk pada isu pengungsi rohingya pada saat ini.
Mungkin bagi sebagian orang hal ini terdengar terlalu humanis dan utopis di tengah tatanan dunia yang tidak seideal itu. Tapi bisakah kita setidaknya menjadi sedikit lebih adil dalam melihat isu kemanusiaan yang ada didunia ini dan tidak hanya lantang terhadap isu tertentu saja?
Saya menangis dan mengutuk keras segala bentuk kejahatan terhadap manusia, pembantaian, diskriminasi, dan upaya perampasan hak-hak manusia untuk dapat hidup secara damai tanpa terkecuali. Setiap manusia layak untuk diperjuangkan dan memperjuangkan haknya sama seperti manusia lainnya karena sejatinya mereka tidak pernah memilih untuk dilahirkan dalam keadaan seperti saat ini.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pertanyaan mendasar kembali kita munculkan dalam hati kecil kita “apakah kita benar-benar peduli terhadap kemanusiaan?”.