Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tayangan Kontroversial di Era Digital: Antara Hiburan, Etika, dan Regulasi Hukum
13 Desember 2024 15:19 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Zikrillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital dan globalisasi media, tayangan bertema supranatural, seks, dan kriminal menjadi konsumsi sehari-hari bagi masyarakat. Popularitasnya sering kali dipicu oleh rasa penasaran, sensasi, hingga daya tarik emosional yang tinggi. Namun, tidak dapat disangkal bahwa konten seperti ini kerap kali melahirkan polemik, baik dari segi moral, etika, maupun kepatuhan terhadap regulasi hukum. Dalam konteks hukum media di Indonesia, diperlukan pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan tayangan semacam ini, guna memastikan bahwa kebebasan berekspresi tidak bertabrakan dengan kepentingan publik, terutama nilai-nilai moral dan agama yang dipegang masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tayangan Supranatural: Antara Hiburan, Mistisisme, dan Kritik Sosial
Tayangan supranatural, seperti program tentang penelusuran dunia gaib, cerita mistis, atau pengalaman paranormal, sangat diminati oleh audiens di Indonesia. Ini bukan hanya karena konteks budaya yang dekat dengan kepercayaan terhadap hal-hal mistis, tetapi juga karena kemampuan tayangan ini memicu rasa penasaran. Namun, dari perspektif hukum media, tayangan semacam ini memiliki potensi besar untuk menyesatkan atau merugikan audiens, terutama jika disajikan tanpa informasi yang akurat dan kritis.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa siaran harus mematuhi prinsip edukasi, hiburan, dan informasi yang sehat. Hal ini dikuatkan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). P3SPS mewajibkan penyelenggara siaran untuk tidak menyajikan tayangan supranatural yang mengandung unsur menyesatkan, seperti menyebarkan takhayul atau keyakinan yang bertentangan dengan nilai agama. Dalam banyak kasus, tayangan supranatural dianggap mengeksploitasi ketakutan masyarakat untuk keuntungan komersial, sehingga melanggar etika penyiaran.
ADVERTISEMENT
Media sebaiknya menyajikan tayangan supranatural dengan pendekatan yang lebih bertanggung jawab. Misalnya, memadukan unsur investigasi ilmiah atau menyertakan ahli dalam bidang psikologi dan antropologi budaya untuk memberikan konteks rasional. Dengan demikian, tayangan supranatural tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga alat edukasi yang membantu masyarakat memahami fenomena budaya yang kompleks.
Tayangan Seksual: Sensasi atau Edukasi?
Konten seksual dalam tayangan media sering kali menjadi perdebatan sengit di masyarakat. Di satu sisi, tema ini memiliki daya tarik tinggi karena sifatnya yang universal dan emosional. Namun, di sisi lain, konten seksual juga sangat rawan menimbulkan dampak negatif, seperti normalisasi perilaku tidak pantas, eksploitasi seksual, dan pelanggaran moralitas publik. Di Indonesia, regulasi terkait konten seksual diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan P3SPS. Tayangan dengan muatan seksual harus disesuaikan dengan waktu tayang (prime time), audiens target, serta konteks penyampaian. Adegan seksual eksplisit dilarang keras, sementara penggambaran hal-hal yang berpotensi menyinggung moralitas publik harus dilakukan secara hati-hati.
ADVERTISEMENT
Selain itu, setiap konten seksual yang diproduksi dan ditayangkan harus memiliki justifikasi yang kuat, seperti dalam konteks pendidikan kesehatan atau kampanye kesadaran tentang isu-isu penting seperti pelecehan seksual. Pelanggaran terhadap regulasi ini dapat berujung pada sanksi dari KPI, mulai dari teguran hingga penghentian siaran. Oleh karena itu, media harus cermat dalam merancang konten seksual agar tetap relevan, edukatif, dan tidak berpotensi melanggar hukum.
Tayangan Kriminal: Edukasi atau Eksploitasi?
Tayangan kriminal, termasuk dokumenter investigasi dan rekonstruksi kejahatan, sering kali menjadi magnet bagi penonton karena menghadirkan unsur ketegangan dan konflik yang nyata. Namun, tayangan seperti ini juga memunculkan dilema etis dan hukum. Salah satu tantangan terbesar adalah menjaga keseimbangan antara kebutuhan audiens akan informasi dan potensi eksploitasi korban atau glorifikasi pelaku kejahatan.
ADVERTISEMENT
Dalam hukum media Indonesia, tayangan kriminal harus mematuhi prinsip jurnalistik seperti akurasi, keseimbangan, dan sensitivitas. P3SPS mengatur bahwa siaran harus melindungi hak-hak korban dan keluarganya, serta tidak menampilkan adegan yang dapat memicu imitasi kejahatan. Selain itu, tayangan kriminal tidak boleh menghadirkan spekulasi atau dugaan yang belum terverifikasi, karena hal ini dapat menyesatkan publik dan merusak reputasi pihak-pihak yang terlibat. Media yang bertanggung jawab dapat memanfaatkan tayangan kriminal untuk tujuan edukasi, seperti meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya tertentu atau memberikan informasi tentang cara melindungi diri. Namun, hal ini harus dilakukan dengan pendekatan yang etis dan berorientasi pada solusi.
Tayangan supranatural, seks, dan kriminal merupakan bagian dari dinamika media modern yang kompleks. Di satu sisi, tema-tema ini memiliki potensi untuk memberikan hiburan dan edukasi, tetapi di sisi lain, mereka juga membawa risiko etis dan hukum yang signifikan. Untuk itu, media di Indonesia harus berkomitmen untuk menjaga etika dan mematuhi regulasi yang berlaku. Dengan pendekatan yang tepat, tayangan seperti ini tidak hanya menghibur tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas.
ADVERTISEMENT