Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Apakah Kurikulum Merdeka Cocok Dengan Budaya Indonesia?
15 Desember 2024 12:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Azka Rifai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2022, pemerintah mulai melakukan sosialisasi kurikulum baru, yakni yang dikenal sebegai “Kurikulum Merdeka ”. Kurikulum Merdeka ini dilatarbelakangi oleh hasil asesmen Programme for International Student Assessment (PISA) yang menunjukkan bahwa 70% siswa berusia 15 tahun di Indonesia masih belum memenuhi standar kriteria minimum untuk keterampilan membaca dan matematika dasar. Selain itu, suksesnya Kurikulum Darurat dapat secara efektif memitigasi ketertinggalan pembelajaran (learning loss) yang dialami pada masa pandemi. Oleh karena itu, pemerintah menilai perlu adanya peruabahan visi strategik dan strategi kurikulum secara komprehensif. Hal ini lah yang mendorong lahirnya Kurikulum Merdeka yang dipelopori oleh Nadiem Makarim, mantan Mentri Pendidikan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perbedaan dengan Kurikulum Pendahulu
Dari sistem kurikulum sebelumnya, Kurikulum Merderka memang memiliki banyak perbedaan yang signifikan. Pertama, kurikulum ini merubah struktur capaian pembelajaran yang kaku menjadi lebih fleksibel. Hal ini mendorong para guru untuk menyusun skema pembelajaran untuk menyesuaikan kebutuhan para peserta didiknya. Kedua, prinsip pendidikan ini lebih mendorong pada kolaborasi daripada kompetisi antar peserta didik, seperti melalui pembelajaran berbasis proyek dan diskusi. Selain itu, guru dan pendidik diberikan kebebasan akses terhadap platform digital seperti ponsel dan software edukasi.
Terinsipirasi dari Finlandia
Terdengar familiar? Betul! Kurikulum pendidikan ini terinspirasi dari framework kurikulum yang diterapkan di Finlandia. Mengapa Finlandia? Finlandia dianggap sebegai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Superioritas pendidikan Findlandia terletak pada equity pedagogy atau pendekatan edukasi dengan membangun lingkungan yang mendukung dan menjangkau semua peserta didik sehingga sistem kurikulum dapat memenuhi kebutuhan kelas yang beragam. Alhasil, para peserta didik dapat menyesuaikan kecepatan dan metode mereka sendiri untuk mencapai target pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Hambatan yang Dihadapi Kurikulum Merdeka
Belakangan ini, banyak isu yang beredar tentang pelajar yang masih kesulitan dalam melakukan kalkulasi sederhada, seperti pertambahan, perkalian, dan pembagian. Padahal, pada tahapan tersebut, mereka seharusnya sudah mempelajari konsep lanjutan, seperti pythagoras dan aljabar. Selain itu, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menemukan bahwa terdapat penurunan angka siswa yang diterima oleh PTN melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Hal ini memantik pertanyaan di kalangan publik, “Apakah kurikulum merdeka ini gagal?”
Secara teori, Kurikulum Merdeka memang terdengar menawarkan hal yang tidak diberikan oleh kurikulum pendahulunya, yakni kebebasan dan otonomi. Namun, kualitas itulah yang menjadi sebab gagalnya program ini. Pada kenyataannya, penerapan kurikulum ini memerlukan kualitas pendidik yang bagus untuk menjadi fasilitator kurikulum ini. Tapi, pada kenyataannya, guru kesulitan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran Kurikulum Merdeka (Nurcahyono dan Putra, 2022 ). Kemudian, sekolah-sekolah di Indonesia masih memiliki tingkat interpendensi yang sangat tinggi sehingga sulit bagi mereka untuk menyusun perencanaan dan skema pembelajaran (Sitompul et al., 2021 ). Equity pedagogy juga sulit tercapai karena kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi dikalangan peserta didik.
ADVERTISEMENT
Faktor Kultural
Terlepas dari hambatan struktural dan fungsional, apakah kurikulum pendidikan yang berasal dari dunia barat ini cocok dengan akar kultural masyarakat Indonesia? Hal ini dapat kita ukur dengan model dimensi kultural yang dikembangkan oleh Gerard Hendrik Hofstede atau yang dikenal sebagai hofstede cultural dimensions. Berdasarkan model ini, karakterisik budaya indonesia memiliki karakteristik:
a) High Power Distance
Dalam budaya indonesia, kesenjangan atau jarak kekuasaan antara atasan dengan bawahan sangat tinggi. Hal ini mendorong otonomi bersifat lebih tersentral atau terpusat dan rendahnya independensi.
b) Moderate Masculinity
Semakin maskulin suatu budaya, maka semakin tinggi pula tingkat kompetitif diantara anggota masyarakat. Adapun budaya indonesia bersifat cukup kompetitif daripada kolaboratif.
c) High Colectivism
Masyarakat indonesia cenderung peduli terhadap kepentingan bersaman daripada hanya mementingkan diri sendiri. Hal ini tercermin pada budaya gotong royong di Indonesia.
ADVERTISEMENT
d) Low Uncertainty Avoidance
Masyarakat indonesia memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap hal baru yang belum pasti. Artinya, masyarakat indonesia memiliki kecemasan yang rendah terhadap risiko ketidakpastian dan cenderung tidak melakukan apa-apa untuk mencegahnya.
e) Long term oriented
Budaya indonesia memberikan nilai lebih dalam merencanakan sesuatu untuk jangka panjang daripada sekedar gratifikasi secara instant.
f) Highly restrained
Terakhir, budaya masyarakat indonesia cenderung restrained atau memandang hidup secara sinis dan menekan gratifikasi kebutuhan melalui norma sosial yang ketat. Artinya, masyarakat indonesia membatasi pemberian kebutuhan dan keinginan secara ketat (Artina et al., 2020 ).
Dari penjelasan di atas, terdapat kontradiksi antara prinsip dan nilai dari Kurikulum Merdeka dengan karakteristik kebudayaan masyarakat Indonesia. Misalnya, Kurikulum Merdeka menuntut prinsip independensi, kolaborasi, dan kebebasan. Namun, pada kenyataannya, budaya indonesia cenderung bersifat sentral, mementingkan kompetisi, dan membatasi pada kebebasan sesuai dengan aturan yang ketat. Gagalnya cultural fit Kurikulum Merdeka tersebut dapat menjadi salah satu penyebab kurang efektifnya program kurikulum ini.
ADVERTISEMENT
Sudut pandang antropologi tersebut menjelaskan penyebab gagalnya Kurikulum Merdeka dari faktor kultural. Ini juga menjelaskan motivasi belajar siswa indonesia yang menganggap pendidikan formal sebagai beban karena mereka terpaksa menempuhnya untuk bertahan hidup dan paksaan dari lingkungan sekitar. Padahal, Kurikulum Merdeka menuntut peserta didik untuk belajar secara mandiri.
Lalu Bagaimana Cara Mengubahnya?
Tentu, karakteristik budaya ini dapat diubah, tetapi prosesnya akan membutuhkan waktu yang lama. Perlu beberapa dekade bagi benua barat untuk bertransisi dari budaya maskulin ke feminin. Artinya, lagi-lagi, pemerintah perlu mengubah sudut pandang masyarakat Indonesia untuk menyesuaikan diri dengan adopsi Kurikulum Merdeka ini yang akan memakan biaya yang besar dan waktu yang sangat lama.
Kesimpulan
Pemerintah harus mengkaji lebih komprehensif lagi dalam membuat suatu kebijakan, salah satunya adalah Kurikulum Merdeka. Sebelum mengimplementasikan kurikulum ini, pemerintah harus memahami secara rinci kebutuhan, permasalahan, dan karakteristik sumber daya manusia Indonesia. Misalnya, dari segi budaya, Kurikulum Merdeka yang mengambil karakteristik kultur barat ternyata memiliki kontradiksi dengan kultur Indonesia. Ketidakcocokan budaya tersebut tentunya menjadi hambatan dalam mencapai target pendidikan nasional.
ADVERTISEMENT