Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kedudukan Hukum Islam Terhadap Ketertiban Sosial
15 Juli 2024 11:40 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Bachtiar Habibie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat sekarang, kita sering melihat adanya ketidakserasian antara kehendak normatif hukum Islam dengan realitas sosial. Hal ini biasanya terjadi pada bagian masyarakat yang rata-rata kurang atau bahkan tidak menyadari perlunya penegakan hukum Islam dalam rangka menata kehidupan yang saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Dalam hal, ini hukum Islam sebagai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat, perlu diberdayakan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya kepatuhan pada aturan yang dijunjung bersama.
ADVERTISEMENT
Toleransi sosial pada kelompok-kelompok tertentu, yang sebenarnya menyimpang perlu diantisipasi sejak dini, agar tidak memberi kesan adanya sikap acuh dari para ulama, tokoh masyarakat atau aparat. Sebab jika penyimpangan yang dianggap kecil itu terus terjadi, maka pada akhirnya akan menjadi besar dan cederung menganggap norma hukum (Islam) tidak memiliki keterkaitan dengan urusan mereka (munculnya sikap individualis). Sementara itu, sikap individualis cenderung mengabaikan kepentingan (ketertiban) sosial.
Filosofi dasar hukum Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat, kemaslahatan di sini harus dimaknai secara luas, termasuk di dalamnya terciptanya ketertiban, keteraturan, dan keharmonisan sosial. Penegakan hukum Islam tidak lain, bertujuan untuk memediasi kesenjangan dan konflik-konflik sosial agar tidak mengarah kepada hal-hal yang bersifat anarkis (membawa mudharat). Di sinilah pentingnya kesadaran umat Islam untuk mengamalkan syariat agama.
ADVERTISEMENT
Hukum Islam seharusnya sejalan dengan perundang-undangan yang dibuat oleh negara. Dalam proses legislasi suatu konsep perundang-undangan tetap berpedoman dengan norma-norma hukum Islam, agar ketertiban sosial yang menjadi sasaran akhir dari perundang-undangan itu dapat terwujud sekaligus mengakomodir nilai-nilai religius yang dianut masyarakat. Artinya ketertiban sosial yang diciptakan melalui perundang-undangan merupakan ketertiban sosial yang tidak melanggar norma hukum Islam.
Namun demikian, menurut Achmad Ali, antara hukum di satu pihak dengan ketertiban di pihak lain, tidak selamanya cocok atau selaras. Kadang-kadang antara hukum dengan ketertiban terjadi pertentangan, seperti apa yang pernah ditulis oleh Jerome H. Skolnick (dalam bukunya Justice Without Trial) bahwa hukum tidak hanya merupakan sarana untuk mencari ketertiban, melainkan menjadi lawan dari ketertiban itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Benturan antara hukum dan ketertiban terutama terlihat pada tugas polisi yang mendua. Di satu pihak polisi bertugas untuk memelihara ketertiban, di pihak lain polisi pun bertugas untuk menegakkan hukum. Dengan kata lain, tugas pihak kepolisisan bukan sekedar menjaga legal order, melainkan juga ketertiban dan ketenteraman warga masyarakat. Tugas ganda ini kadang-kadang menyulitkan polisi memilih alternatif jika harus menghadapi seorang residivis yang kejam dan tidak sudi menyerah. Pada hakikatnya polisi adalah petugas yang diberi wewenang untuk menjalankan kekerasan demi tugasnya. Jadi tidak mengherankan sesekali polisi terpaksa melakukan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya. Di sini kadang-kadang hukum berburu dengan ketertiban.
Pernyataan Achmad Ali di atas tentunya dalam konteks ketertiban sosial dan hukum positif, yang ketika itu hukum positif menggariskan aturan yang berbeda atau belum relevan dengan kondisi atau kasus yang sedang terjadi. Dengan kata lain, memang harus diakui bahwa adakalanya idealisme hukum berbeda dengan fakta sosial, dalam hal inilah dikatakan bahwa terjadi benturan antara hukum dan ketertiban.
ADVERTISEMENT
Sehubungan dengan cara kekerasan demi memelihara ketertiban, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa, memang benar bahwa dalam suatu negara hukum, supermasi hukum harus dipertahankan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti tidak boleh ada kekerasan sedikitpun. Selama hal itu dilakukan oleh negara, maka kekerasan dapat dilakukan dengan tujuan tetap untuk mencapai perdamaian. Cara yang luwes seringkali dianggap sebagai "lawan" kekerasan; keduanya dapat dilakukan secara bersamaan sesuai keadaan yang dihadapi.
Jika persoalan ini dilihat dengan perspektif hukum Islam, terutama jika mengacu pada dasar pokoknya, yakni Al-Qur'an dan Hadis, maka benturan antara hukum Islam dan ketertiban sosial tidak akan terjadi, sebab dalil-dalil nash bersifat interpretable, sehingga dapat diselaraskan dengan situasi dan kondisi, tentunya selama tidak keluar dari esensi tujuan nash, yakni terciptanya kemaslahatan (ketertiban) bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bertolak dari perpspektif ini, optimisme ulama lebih tinggi dalam memandang orientasi fungsi hukum Islam untuk menata masyarakat yang tertib. Sementara itu sebagian ahli hukum Barat kelihatannya pesimis terhadap kemampuan hukum positif untuk mengatur ketertiban masyarakat.
Sebagai contoh dari pernyataan di atas, Proudhon (dikutif oleh Dennis Lioyd), memandang sebagai suatu kemustahilan jika semata-mata hukum yang ingin diandalkan untuk mengatur masyarakat. Dalam kenyataannya, selain hukum masyarakat juga membutuhkan pengaturan lain dari segi ketertiban. Dalam kaitan ini pengaturan lain yang relevan adalah hukum Islam dan tradisi atau kebudayaan masyarakat yang mendukung terciptanya ketertiban. Namun demikian definisi ketertiban sosial dipandang berbeda. oleh ketiga pengaturan tersebut. Hukum Islam memandang ketertiban sosial berdasarkan nilai-nilai normatif dan filosofisnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Demikian halnya hukum positif dan tradisi memiliki pandangan tersendiri. Dalam sejarahnya, hukum Islam senantiasa menekankan betapa pentingnya menciptakan dan mempertahankan kondisi masyarakat yang tertib, damai, saling memberi perlindungan, dan tolong-menolong. Masyarakat yang lemah atau tertindas perlu dibebaskan dari kondisinya itu secara bersama-sama sebagai wujud adanya tanggung jawab sosial.
Legislasi hukum Islam pun tidak terlepas dari upaya menciptakan keselamatan bagi semua umat, suku dan bangsa yang hidup dalam suatu komunitas, di mana hukum Islam diberlakukan tanpa memandang perbedaan mereka. Hukum Islam akan memberi perlindungan atas orang-orang yang baik dan benar, sebaliknya hukum Islam akan menegakkan aturan terhadap orang-orang yang merusak keselamatan sosial. Keselamatan dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai terciptanya ketertiban sosial.
ADVERTISEMENT
Faktor-faktor yang mengganggu ketertiban sosial sebenarnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengevaluasi perlunya pengembangan hukum Islam agar lebih fungsional dalam menata dan memberikan perlindungan terhadap keselamatan (ketertiban) umum. Perilaku menyimpang segelintir orang yang mengganggu ketertiban sosial jika berbentuk fenomena baru, maka hukum Islam ditantang untuk mengadakan solusi antisipatifnya. Dalam hal inilah ijtihad memainkan peranan penting.
Uraian di atas menunjukkan bahwa hukum Islam tidak dapat diabaikan dalam menatata ketertiban masyarakat, sebab hukum Islam merupakan norma yang diakui telah berperan dalam realitas sosial dan mendapat perhatian besar dari kalangan pakar hukum, bukan saja dari pakar hukum Islam sendiri, tetapi juga dari pakar hukum positif. Hukum Islam akan mampu menciptakan ketertiban sosial, apabila norma-norma hukumnya diaplikasikan dan diselaraskan dengan tuntutan kondisi sosial, sekalipun dalam komunitas itu terdapat berbagai macam agama, suku, dan aliran yang berbeda.
ADVERTISEMENT