Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Peran Perempuan Dalam Kesetaraan Politik Di Indonesia
22 Mei 2024 10:46 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Bachtiar Habibie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kultur patriarki mengajarkan pada kita, bahwa menjadi perempuan adalah hal yang berat. Terlahir sebagai perempuan berarti harus siap menerima banyak penderitaan. Kentalnya budaya patriarki di Indonesia membentuk konstruksi sosial budaya yang sering menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua setelah kaum laki-laki. Hierarki gender ini dilatarbelakangi oleh pendidikan rata-rata perempuan Indonesia yang masih rendah serta sifat dominansi kaum laki-laki atas kehidupan internal dan kehidupan eksternal perempuan.
Perempuan juga sering mengalami perlakuan diskriminatif yang terjadi pada seluruh aspek kehidupannya. Kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan perempuan, ditengarai menjadi sebab. Representasi politik perempuan yang tidak proporsional berujung pada tataran kebijakan yang bias gender. Hal ini tercermin melalui wacana perluasan RKUHP pasal 483 ayat (1) huruf (e) atau lebih dikenal pasal zina.
ADVERTISEMENT
Perluasan pasal ini memicu banyak perdebatan karena substansi yang dinilai multitafsir serta memberatkan pihak perempuan. Maka dari itu, usaha menjauhkan perempuan dari lingkaran ketidakadilan gender dengan menambah porsi politik perempuan dinilai sebagai jalan solutif. Hal ini dapat terwujud melalui peningkatan sumber daya berkompeten dan dukungan akomodasi politik bagi perempuan.
Kultur patriarki mengajarkan pada kita, bahwa menjadi perempuan adalah hal yang sungguh berat. Terlahir sebagai perempuan berarti harus siap menerima banyak penderitaan. Suara perempuan tidak boleh terlalu nyaring, harus pandai-pandai menyimpan resah dan harus dalam setiap keheningan. Perempuan harus berhati-hati dalam mengambil sikap. Jika tidak, akan terasingkan oleh relasi kuasa kepentingan kaum laki-laki.
Dalam konstruksi sosial budaya perempuan sering dianggap sebagai warga kelas dua setelah laki-laki. Diskursus ini membentuk otoritas penuh laki-laki atas perempuan yang kemudian berujung pada hirearki gender. Sifat lemah lembut dan haus akan perlindungan yang selalu identik dengan perempuan, sering dijadikan alasan terciptanya ideologi patriarki dalam masyarakat. Hal ini yang kemudian menjadi penghambat bagi perempuan untuk mencari serta mengembangkan potensi dalam dirinya. Hal demikian bukan semata-mata mengenai kedudukan. Di Indonesia sendiri, awetnya budaya patriarki ini terjadi karena latar belakang pendidikan, kebanyakan perempuan yang masih rendah serta sifat dominansi kaum pria atas kehidupan internal dan kehidupan eksternal perempuan. Perpaduan antara kedua itu melahirkan sebuah situasi tak terkendali: bencana kemanusiaan kaum hawa.
ADVERTISEMENT
Kasus KDRT, pelecehan seksual, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan merupakan beberapa kasus kekerasan yang sering dialami oleh perempuan. Penindasan ini menjadikan perempuan hampir tidak memiliki kemerdekaan atas tubuhnya sendiri. Tidak cukup sampai disitu, perempuan juga banyak mengalami perlakuan diskriminatif. Diskriminasi gender ini masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan dan semua sektor pembangunan di seluruh negeri.
Tidak dapat dipungkiri, banyaknya perempuan yang sudah mengambil peran dalam berbagai aktifitas sosial maupun ekonomi bangsa, tidak lantas mendekatkan mereka dari citra kesetaraan. Kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan perempuan, ditengarai menjadi sebab. Representasi perempuan dalam ranah politik yang tidak proporsional akan berujung pada tataran kebijakan yang bias gender. Perempuan belum mendapat keleluasaan dalam hal membuat keputusan, beberapa di antara mereka masih sangat sulit untuk mendapat jabatan penting di pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Angka keterwakilan perempuan pada pemilu tahun 2018 yang menurun dari tahun sebelumnya, dirasa cukup memberi jawaban atas lemahnya partisipasi politik perempuan. Kemudian hal yang serupa terjadi pada partisipan perempuan pilkada gelombang pertama tahun ini yang mengalami penurunan sekitar 0,3 persen dari pilkada tahun 2015 lalu. Dibanding rata-rata dunia, jumlah perempuan di pemerintahan Indonesia masih jauh angka dibawahnya. Bahkan untuk tingkat ASEAN, Indonesia hanya menempati urutan keenam.
Minimnya sumber daya dengan latar belakang politik, kurangnya regulasi yang tegas terhadap partisipasi politik perempuan, faktor kepercayaan, faktor elektabilitas, dan kekuatan modal merupakan beberapa faktor yang melatarbelakangi bencana demokrasi ini. Kekuatan modal perempuan mendapati porsi sorotan terbesar. Perbedaan upah di dunia kerja membuat kebanyakan perempuan memiliki kekuatan modal cenderung lebih kecil dibanding laki-laki, yang lantas membuat golongan elite partai enggan membuka ruang luas bagi keterlibatan perempuan.
ADVERTISEMENT
Kurangnya partisipasi perempuan di panggung legislatif merupakan bentuk diskriminasi politik yang akan membawa dampak buruk bagi produktivitas serta daya saing perempuan Indonesia di tingkat nasional maupun global. Dukungan moral yang minim serta adanya batasan-batasan terkait norma sosial dalam masyarakat merupakan hambatan bagi perempuan muda Indonesia untuk berinovasi dan berkontribusi bagi negaranya. Perilaku ini dikhawatirkan membawa perempuan Indonesia kembali berorientasi pada dapur, kasur, sumur. Kemunduran pola piker semacam ini jelas memperburuk citra perempuan Indonesia di mata dunia.
Keterwakilan perempuan yang minim juga membawa masalah baru, yakni pengambilan keputusan terkait hak-hak perempuan yang cenderung sepihak dan tidak menuntut keadilan bagi seluruh gender. Kehadiran perempuan dalam pemerintahan dapat memberikan otoritas bagi perempuan untuk menentukan kebijakan yang tepat guna terpenuhinya pencapaian hak-hak mereka. Mereka akan membawa makna penting untuk memberikan pemahaman serta menyatukan persepsi demokrasi yang adil dan sehat. Pengalaman dan kepentingan laki-laki yang berbeda dengan perempuan, dinilai membawa keputusan yang tidak pro terhadap seluruh kepentingan perempuan.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu terakhir, muncul wacana perluasan RKUHP pasal 483 ayat (1) huruf (e), yang mengatur tentang pidana asusila atau lebih dikenal pasal zina. Perluasan pasal ini berpotensi mempidanakan perempuan sebagai korban tindak pemerkosaan. Disebutkan pada Pasal 494 ayat (1) bahwa: ”Apabila ada yang mengalami hubungan antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya status perkawinan yang sah akan dikenai tuntutan hukuman 5 tahun penjara”. Pada ayat (2) disebutkan juga bahwa, “Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud ayat satu tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri,atau pihak ketiga yang tercemar”.
Frasa “perkawinan yang sah” dinilai multitafsir. Perkawinan yang sah berarti perkawinan yang disahkan oleh agama kedua mempelai dan dicatatkan oleh negara yang dibuktikan oleh adanya kelengkapan dokumen seperti akta nikah. Maka apabila mengacu pada perluasan pasal tersebut, pernikahan sirri dan poligami dapat terkena tuntutan karena administrasi kependudukannya tidak tercatat oleh KUA. Golongan keluarga menengah ke bawah juga akan merasakan akibat dari perluasan pasal ini, sebab kebanyakan dari mereka tidak memiliki akta nikah. Belum lagi para masyarakat adat yang harus mendaftarkan agama mereka ke KUA hanya untuk memperoleh pengakuan absah dari akta nikah.
ADVERTISEMENT
Untuk kasus pemerkosaan dan kawin paksa, perluasan pasal ini tidak hanya menjerat pelaku, tetapi juga korban. Mengingat alat bukti yang masih kurang jelas bersetubuh diartikan sebagai penetrasi alat kelamin, bagaimana cara membuktikannya serta banyaknya ancaman kekerasan yang dialami perempuan, baik secara verbal maupun fisik. Pihak perempuan sendiri jelas terdiam terkait masalah itu dan akan sulit sekali bagi instansi kepolisian terkait untuk menguak hal tersebut.
Peningkatan jumlah pernikahan yang semata-mata hanya untuk zina, juga akan semakin marak jika wancana ini benar terealisasi. Menikah dilihat sebagai satu-satunya jalan untuk berzina dan kemudian mengabaikan kebutuhan pasca nikah yang harus ditanggung. Bukan tanpa alasan jika meroketnya kasus pernikahan dini, angka perceraian, KDRT, atau bahkan aborsi akan terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, usaha menjauhkan perempuan dari lingkaran ketidakadilan gender dengan menambah porsi politik perempuan dinilai sebagai jalan keluar. Hal ini dapat terwujud melalui peningkatan sumber daya berkompeten serta dukungan akomodasi politik bagi perempuan.
Semua menyadari bahwa pendidikan adalah salah satu pilar penting dalam membangun karakter bangsa. Pendidikan tidak hanya memberikan kita ilmu pengetahuan atau memuaskan dahaga intelektual kita saja. Namun, pendidikan mampu mendidik nalar serta cara berpikir, bertutur kata, dan bersikap. Perempuan yang mengedepankan pendidikan akan berpikir kritis terhadap masalah-masalah disekitarnya.
Dalam bidang politik, perempuan yang berpendidikan berarti mampu membentuk serta menubuhkan orientasi-orientasi politik baik secara individu maupun organisasi. Mereka akan menjawab berbagai persoalan bangsa terkait keadilan dan kesetaraan gender, menggantikan peran-peran publik yang mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang sesuai kemampuan yang mereka miliki.
Figur ini hadir pada sosok Sri Mulyani. Dari jabatan sebagai Menteri Keuangan di era Presiden Yudhoyono, sampai Direktur Pelaksanaan Bank Dunia, hingga dinobatkan sebagai Menkeu terbaik di dunia. Penghargaan global yang diperolehnya itu tidak lain merupakan hasil kerja kolektif pemerintah di bawah pimpinan Jokowi, khusunya bidang ekonomi. Beberapa reformasi kebijakan juga telah dibuat dan membuahkan hasil. Salah satunya melalui kebijakan fiskal dan moneter yang dijalankan selama ini dengan harapan ekonomi Indonesia tahan terhadap guncangan perekonomian dunia. Tidak hanya Sri Mulyani, tokoh lain seperti Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) atau Khofifah Indar Parawansa (Mantan Menteri Sosial), merupakan bukti akan adanya peningkatan peran perempuan berwawasan sebagai bagian dari pembangunan nasional di bidang politik.
ADVERTISEMENT
Dukungan akomodasi politik bagi perempuan yang masih minim, juga merupakan faktor dari kurangnya representasi perempuan di pemerintahan. Partai politik diharapkan memberikan ruang dan peluang bagi kader politik perempuan untuk dapat duduk di kursi jabatan yang stategis dalam proses membuat kebijakan. Meskipun pemerintah telah mengakomodasi wacana dan tuntutan keterwakilan politik perempuan (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum), namun faktanya sering berbicara lain. Representasi politik perempuan masih fluktuatif. Kepentingan pribadi dan pola pikir konservatif yang masih dirawat sebagian kaum elit partai menyebabkan perempuan jauh dari demokrasi ramah gender.
Konstruksi sosial budaya yang sering memarjinalkan peran perempuan sebatas fungsi domestiknya saja, membuat golongan elit partai menjadikannya sebatas alat legitimasi kekuasaan. Berbagai upaya sebenarnya sudah direncanakan oleh para aktivis dan penggiat hak asasi perempuan. Salah satunya dengan memperjuangkan kuota 30 persen keterwakilan politik sebagai jumlah minimal dalam paket Undang-Undang politik dari hulu ke hilir. Namun hal ini selalu berbuah tidak manis. Angka keterwakilan tiap tahun belum mencapai angka 30 persen, bahkan mengalami penurunan dari tahun lalu. Atas dasar itu, upaya tersebut perlu senantiasa digencarkan sebagai program bersama, sehingga nantinya isu diskriminasi politik perempuan tidak cepat berlalu ditelan oleh isu lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun perlu kita ketahui bersama, mewujudkan kesetaraan gender, khususnya di bidang politik, akan sangat memakan waktu serta perjuangan yang gigih. Selama stereotip budaya masih mendarah daging terhadap jenis kelamin (dimana laki-laki ditampilkan dominan, agresif, dan otoritatif) masih kental, upaya ekstra merekonstruksi isu representasi politik perempuan dirasa akan sia-sia. Dan selama itu pula, perilaku subordinatif, marjinal, dan patriaki akan terus melingkupi kehidupan perempuan.
Maka dari itu, perlu ada koordinasi yang baik dari seluruh elemen. Organisasi kemasyarakatan, pemangku kepentingan, dan pemerintah melalui instansi terkait diharapkan mampu memberikan pendidikan dan pelatihan politik yang lebih terencana bagi perempuan. Jika hal ini terus digencarkan, bukan tidak mungkin relief sejarah kelam penindasan perempuan di Indonesia perlahan akan hanyut bersama air mata dan semangat kesetaraan.
ADVERTISEMENT