Konten dari Pengguna

Korupsi, Gen Kerakusan yang Membuat Manusia Bertahan Hidup

Farih Fanani
Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga
17 April 2021 11:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farih Fanani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
Korupsi di Indonesia sudah sangat parah. Mulai dari korupsi proyek E-KTP hingga korupsi dana bantuan COVID-19. Semuanya meresahkan, menyebalkan, dan mendongkolkan.
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah salah satu negara yang pejabatnya gemar sekali berkorupsi. Data pada September 2020, ada 169 kasus korupsi sepanjang semester satu tahun 2020, dan kurang lebih menyebabkan kerugian negara sebesar 39,2 Triliun. Kalau tidak dikorupsi, kita bisa bangun 19 stadion semegah Old Trafford dengan uang tersebut.
Para koruptor bukanlah manusia miskin. Mereka adalah orang kaya. Tidak akan bangkrut kalau uang mereka tiap hari dipakai buat nongkrong dan beli kopi di kafe-kafe mahal. Tapi meskipun kaya, mereka tetap korupsi. Fakta itu membuat kita garuk-garuk kepala, mengapa manusia-manusia ini gemar sekali mengambil uang yang bukan haknya?
Manusia terwarisi gen korupsi dari nenek moyangnya, bisa jadi ini masalahnya. Gen yang saya maksud adalah gen rakus dan tamak yang diturunkan dari leluhur manusia ketika masih berstatus sebagai pemburu-pengumpul. Dalam sejarahnya, manusia (sapiens) adalah makhluk paling rakus yang ada di jagat raya.
ADVERTISEMENT
Begini ceritanya.
Manusia yang awalnya menduduki tingkat bawah dalam rantai makanan, karena kerakusannya, berhasil dengan cepat melejit ke atas dan menduduki puncak tertinggi rantai makanan. Bahkan karena ketamakan itu, manusia mulai menyadari akan pentingnya mendomestikasi dirinya sendiri. Mereka kemudian memutuskan untuk bercocok tanam. Sebuah terobosan untuk melangkah lebih maju.
Harari dalam bukunya "Sapiens" menyatakan bahwa manusia berprestasi menakjubkan sebagai spesies yang paling mengerikan dalam sejarah biologi. Mereka memakan segala buah-buahan, membunuh jutaan hewan, dan bahkan mengantarkan manusia-manusia lain ke jurang kepunahan.
Jauh sebelum manusia mendomestikasi diri, kita sebagai manusia (homo) sebetulnya memiliki saudara kandung. Saudara kandung yang dimaksud adalah spesies yang memiliki bentuk tubuh dan wajah yang hampir sama dengan kita. Ada banyak, tapi salah satu yang paling masyhur adalah Homo Neanderthal. Spesies manusia yang secara bentuk, tidak jauh berbeda dengan kita, homo sapiens. Tapi, neanderthal telah punah. Kepunahan mereka disebabkan ulah nenek moyang kita.
ADVERTISEMENT
Alasan sapiens mengantarkan neanderthal menuju kepunahan tentu adalah karena perebutan sumber makanan. Kita sedang membicarakan spesies yang brutal ketika lapar. Sapiens tidak akan mengizinkan spesies lain untuk menyaingi dominasi mereka dalam memuncaki rantai makanan. Sapiens bernaluri untuk menghabisi mereka demi sebuah kebebasan untuk mencari dan mengumpulkan makanan sebanyak mungkin.
Mustahil Sapiens memilih bertoleransi dan berbagi, kalau mereka memiliki pilihan untuk menghabisi lawannya. Saling cekal dan bunuh demi untuk mengenyangkan perut mereka sendiri. Ini mencerminkan bahwa rakusnya sapiens memang sudah enggak ketulungan. Persis seperti gambaran koruptor kekinian.
Selain menghabisi saudaranya, nenek moyang kita juga memporak-porandakan sebuah benua. Australia dan Amerika adalah contohnya. Mereka datang ke Australia ribuan tahun silam yang saat itu masih hutan belantara. Australia saat itu hanya dihuni oleh hewan-hewan besar seperti kanguru raksasa, diprotodon, singa marsupilia, dan lain sebagainya. Sapiens datang dan memusnahkan semuanya. Membakar hutannya, memburu hewannya, dan memakan sumber dayanya dengan tanpa perasaan bersalah.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama terjadi di Amerika. 2000 tahun setelah datangnya Sapiens, sebagian besar hewan-hewan di Amerika punah. Amerika Selatan kehilangan 50 dari 60 spesies-spesies yang telah lama mendiami benua tersebut. Hal ini juga terjadi di Amerika Utara. Sapiens adalah pemangsa segalanya yang sangat tamak dan beringas.
Namun, bagaimana jika manusia pemburu-pengumpul dahulu tidak rakus? Yang terjadi mungkin manusia tidak akan memenangkan pertarungan. Kerakusan mendorong manusia untuk melakukan suatu hal yang lebih. Rakus adalah modal besar bagi manusia dalam memulai babak baru untuk membangun peradaban.
Fakta di atas membukakan mata dan sanubari kita bahwa manusia memang lekat dengan kerakusan, ketamakan, dan korupsi. Sebagian manusia nampak masih menerapkan model bertahan hidup di sabana. Ketika manusia menemukan buah-buahan yang matang dan manis di hutan, mereka akan memakan semuanya dan membawa pulang sisanya, sebelum monyet-monyet datang dan mengambilnya.
ADVERTISEMENT
Cara bertahan hidup seperti inilah yang sampai sekarang masih sering dipraktikkan. Manusia paham bahwa memakan makanan dengan jumlah kalori yang banyak akan membahayakan mereka karena mengakibatkan obesitas. Namun, mereka tetap memakannya dengan tanpa alasan dan logika yang jalan. Benar-benar hanya karena mereka caruk.
Jika manusia benar-benar makhluk yang tidak bisa menanggalkan sifat rakusnya, maka sampai kapan pun wujud dari sifat rakus akan semakin banyak variasinya. Ratusan ribu tahun telah berlalu, dan sampai sekarang gen rakus itu masih ada.
Kasus korupsi yang terjadi belakangan ini mampu memberikan kita perspektif yang beragam. Korupsi semakin lama semakin menjamur. Ini sangat mengkhawatirkan. Koruptor adalah manusia yang masih mewarisi gen nenek moyang mereka sebagai pemburu-pengumpul.
ADVERTISEMENT
Semua orang berharap korupsi segera dituntaskan. Namun, melihat praktik bejat ekspor benur lobster hingga korupsi dana bantuan sosial belakangan ini, kita nampaknya perlu melihat fakta di atas bahwa manusia lekat akan kerakusan. Bukan bermaksud untuk memotong harapan dalam penuntasan korupsi, tapi lebih kepada persiapan hati untuk sekadar menerima takdir dan sedikit memaklumi.