Konten dari Pengguna

Siti, UKT, dan Student Loan

Muhammad Muchlas Rowi
Dosen, penulis, serta pegiat Literasi Media yang aktif di berbagai organisasi. Saat ini menjabat sebagai Komisaris Independen di PT Jamkrindo
27 Mei 2024 13:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Muchlas Rowi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kuliah di luar negeri. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kuliah di luar negeri. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Setelah hampir dua minggu bolak-balik ke kedutaan dan rumah sakit untuk mengurus perjalanan ke Negara Paman Sam, saya buka hape lalu baca berita.
ADVERTISEMENT
Salah seorang pejabat Kemendikbudristek ramai diberitakan membuat pernyataan kontroversial. Dia menyebut pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier alias bersifat mewah.
De Javu, Kemendikbudristek akhirnya kena batunya. Sudah hampir satu tahun terakhir saya memang sering bersuara nyaring soal kebijakan pendidikan di perguruan tinggi.
Banyak kebijakan yang merugikan masyarakat. Mulai dari kebijakan PTNBH, PSDKU, hingga kenaikan UKT. Gak heran kalau biaya kuliah di perguruan tinggi di Indonesia semakin mahal.

Mimpi Tak Terbeli

Ini bukan omon-omon. Karena imbasnya sudah nyata, banyak mahasiswa mengalami cerita yang sangat pilu. Seperti dialami seorang mahasiswi Unri, yang terpaksa harus mundur dari kuliahnya gara-gara UKT yang mahal.
Namanya Siti Aisyah. Dia merupakan lulusan dari SMA Negeri 1 Pandalian IV Kota, Kabupaten Rokan Hulu [Rohul], Riau.
ADVERTISEMENT
Siti merupakan langganan juara kelas selama duduk di bangku sekolah tingkat atas. Wajar, jika gadis ini kemudian dinyatakan lulus jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Siti mestinya senang, karena impiannya masuk PTN akhirnya jadi kenyataan. Sayang, ia harus mengubur mimpinya. Karena ternyata, Siti harus membayar UKT golongan 4 sebesar Rp3,5 juta per semester. Padahal, Siti berasal dari keluarga tidak mampu.
Siti sebetulnya tidak sendiri. Ada banyak Siti-siti lain yang juga mengalami nasib serupa. Bahkan, ada yang nasibnya lebih pilu.
Seperti dialami Ari [bukan nama sebenarnya]. Mahasiswi yang juga berasal dari Sumatera ini nasibnya hampir sama. Bedanya, Ari memutuskan untuk tetap kuliah karena sempat dibantu oleh beasiswa.
Namun, di semester kedua beasiswa tersebut putus. Jadilah Ari membiayai kuliahnya sendiri. Ari memutuskan untuk kuliah sambil bekerja. Hingga semester dua, strateginya ini berjalan mulus. Ari bisa kuliah sambil kerja. Tapi tak lama setelah itu, Ari mulai kelimpungan dan terpaksa menjadi debitur platform pinjaman online alias PINJOL. Cerita Ari selanjutnya sudah bisa ditebak, dia terlilit utang.
ADVERTISEMENT
Kisah tragis Siti, Ari maupun mahasiswa-mahasiswa miskin lain mestinya tidak terjadi. Jika kita punya skema lain untuk menolong para orangtua maupun mahasiswa yang kesulitan membayar UKT.

Student Loan

Salah satu skema yang bisa menjadi alternatif untuk membantu orangtua/mahasiswa adalah student loan. Pinjaman pendidikan ini bisa menjadi solusi yang lebih aman dan terstruktur.
Student loan adalah pinjaman yang diberikan kepada mahasiswa untuk membiayai pendidikan mereka. Pinjaman ini biasanya memiliki bunga rendah dan waktu pengembalian yang fleksibel.
Beda dengan pinjol, student loan dirancang khusus untuk kebutuhan pendidikan dan memiliki regulasi yang ketat untuk melindungi peminjam.
Kenapa kita perlu studen loan? Karena mahasiswa memerlukan dukungan pemerintah untuk dapat mengakses pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Ini sesuati dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa…”, dan Pasal 32 ayat [1] UUD 1945 bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Pendidikan dengan begitu merupakan poin penting yang harus diperhatikan dan diberikan dukungan secara penuh.
Sayangnya, peluang pemanfaatan program student loan masih terganjal aturan Pasal 76 UU Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pendidikan Tinggi. Beleid ini melarang adanya pinjaman dana dengan bunga.
Padahal, di negara-negara lain student loan ini sudah berjalan dan banyak membantu warganya mengakses pendidikan tinggi.
Di Inggris misalnya, student loan dijalankan oleh Student Loan Company. Plafon yang diberikan mulai dari £9250 per tahun (full time) hingga £11.100 untuk akselerasi.
Skemanya, berupa ICL [Income Contingent Loan]. Dimana pembayaran dilakukan berdasarkan pendapatan si peminjam setelah lulus kuliah. Dan tenornya bisa beragam, mulai dari 30 hingga 40 tahun.
ADVERTISEMENT
Menariknya, student loan di Inggris lebih fleksibel dan berbunga ringan. Selain ada potongan, juga bisa terjadi pemutihan jika pinjaman melewati masa tenor.
Karena lebih liberal, student loan di Amerika lebih berorientasi profit. Namanya Federal Student Aid.
Program ini didisain menggunakan skema TBRL [Time Based Repayment Loant]. Yaitu mahasiswa diharuskan membayar jumlah pinjaman sekaligus dengan bunganya dalam dalam jangka waktu yang sudah ditetapkan.
Kerja atau tidak, mahasiswa atau orangtua diwajibkan membayar pinjaman tersebut setelah kelulusan tiba. Bunganya cukup lumayan, mencapai 5,5 persen.
Baik model ICL maupun TBRL sebetulnya bisa diterapkan. Tinggal disesuaikan dengan krakteristik peminjamnya. Yang pasti proses bisnisnya sebisa mungkin dapat menggunakan ekosistem pembiayaan yang sudah eksisting. Bank-bank yang selama ini banyak berkecimpung dengan UMKM dan masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah menjadi prioritas penyalur program pinjaman pendidikan.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk penjaminnya, bisa dimulai oleh PT Jamkrindo. Perusahaan penjaminan terbesar dan memiliki peran strategis untuk menjembatani UMKM feasible memperoleh akes pembiayaan.
Meski begitu, seluruh private sector yang memenuhi kriteria tentu dapat berpartisipasi dalam program ini. Dengan hadirnya program student loan, diharapkan mahasiswa tidak lagi harus menghadapi beban finansial yang berat atau terjebak dalam lingkaran utang pinjol.
Program ini tidak hanya membantu mahasiswa menyelesaikan pendidikan mereka dengan tenang, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia.