Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hiruk Pikuk Perjalanan Negeri di Saat Pandemi
13 Juli 2021 13:53 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:04 WIB
Tulisan dari Muhdar Afandy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: (Muhdar, mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta. Anggota bidang Intelektual IMABA Jabodetabek)
ADVERTISEMENT
Kemakmuran, kesejahteraan, keadilan itu hal yang sangat di tunggu-tunggu oleh banyak orang dan itu juga yang digadang-gadangkan oleh para calon pemimpin yang akan bersaing ketika pemilu tiba. Tak sedikit dari para calon pemimpin yang menjanjikan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan semua itu hanya manuver dari diri seorang calon pemimpin, faktanya terkadang kinerjanya kebalikan dari itu semua.
Menilik dari kekuasaan rezim sekarang ini, Indonesia sedang gersang akan segala lidi; ekonomi, pangan, kesehatan dan lain sebagainya akibat pandemi yang semakin hari semakin memanjang tak kunjung padam. Prediksi-prediksi banyak orang hanya menggembirakan sesaat. Banyak dari para pakar dan pengamat memprediksikan kepulihan kehidupan dari COVID-19 semenjak baru-baru muncul di Indonesia, namun sampai saat ini masih silih berganti antara turunan dan tingkatan angka kasus orang yang terpapar COVID-19.
ADVERTISEMENT
Itu semua bukan hal yang esensial dari penulisan ini. Yang penulis tunjukkan pada penulisan ini memuat berbagai indikasi-indikasi penting yang penulis pandang salah hidup di sistem demokrasi. Di bawah kemalangan negara yang ditimpa musibah, banyak pejabat negeri yang bernaung di atas penderitaan rakyat, kalo penulis katakan "mengambil keleluasaan dalam kesulitan ummat".
Pandemi seakan-akan hanya berlaku terhadap tindakan-tindakan para rakyat yang tak berkuasa dan tak perkasa. Pejabat negeri boleh-boleh saja melakukan apa saja yang mereka kehendaki meskipun itu hal yang menguntungkan pribadi. Tak perduli apa yang akan terjadi, yang penting dirinya selamat dari hambatan situasi.
Tak disangka-sangka disaat gentingnya situasi, masih saja melaksanakan hal yang bisa dipindahkan di lain hari, memang situasi itu merupakan waktu yang potensial untuk menjadikan dirinya penguasa pribadi yang tidak tertandingi. Begitulah potret keadaan praktik negeri demokrasi saat ini. Pilkada memang hal yang sangat krusial bagi tatanan kenegaraan, namun para golongan kepentingan (interest group) tidak bisa mengindahkan situasi saat pandemi, di mana masyarakat dikasih wejangan berupa aturan untuk tidak melakukan hal-hal yang berpotensi peningkatan kasus yang terpapar COVID-19.
ADVERTISEMENT
Namun, semenjak pilkada tiba, para calon kandidat membuat kegaduhan di berbagai tempat, kampanye yang katanya tidak akan menimbulkan kerumunan karena terbatasnya orang-orang yang menghadiri, tapi semua itu sama halnya dengan pertunjukan tukang sulap yang keliru. Pertunjukannya begini, namun faktanya begitu.
Dan yang juga menjadi ketimpangan pada waktu Pilkada itu, banyak bangunan-bangunan politik yang bercirikan dinasti, di mana pada pilkada tersebut anak Presiden, anak wakil Presiden dan menantu Presiden juga ikut menjadi kontestan pilkada yang diselenggarakan waktu itu. Itulah yang dinamakan kolusi yang sudah dikubur dalam-dalam, namun hal itu masih saja gentayangan di rezim sekarang ini.
Lagi-lagi disaat dilanda musibah pandemi, para pejabat negeri masih saja menambah musibah lagi. Bansos (bantuan sosial) yang seharusnya dikasih secara rata kepada masyarakat malah dikorupsi di tengah-tengah melaratnya pangan di masyarakat. Pemerintah memberlakukan lock down yang seharusnya semua masyarakat ditanggung segala urusan kesehatan, makanan dan hal-hal pokok lainnya yang masyarakat butuhkan.
ADVERTISEMENT
Jangan salahkan masyarakat seutuhnya jika ada pelanggaran yang dilakukan, seharusnya masyarakat mendapatkan bantuan, namun bantuannya dimasukkan dalam saku pribadi (dikorupsi). Masyarakat berkeliaran di bawah arus kemelaratan dan situasi pandemi, menerobos kenyataan yang seharusnya mereka tidak lakukan hanya demi meringankan beban keluarga untuk menghindar dari kelaparan.
Disaat diberlakukan kebijakan pemerintah soal pandemi ( Lock down, PSBB, PPKM) jangan terlalu bengis untuk melakukan penindakan terhadap mereka yang sedang banting tulang untuk meraih secercah harapan memenuhi kebutuhan hidupnya. Seharusnya negara menjamin kebutuhannya.
Pelanggaran yang seharusnya dibuatnya jera terhadap tindakan kejahatan berat (tindak pidana korupsi), tapi yang berkuasa hanya melindungi motor pribadinya yang sama-sama mereka tunggangi untuk meraih puncak kekuasaan atas dasar legitimasi rakyat.
ADVERTISEMENT