Konten dari Pengguna

Netizen Indonesia dan Perdebatan

Muhammad Iqbal Habiburrohim
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
6 Oktober 2021 12:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Iqbal Habiburrohim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warganet Indonesia gemar berdebat di media sosial. Sumber : pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Warganet Indonesia gemar berdebat di media sosial. Sumber : pexels.com
ADVERTISEMENT
Membicarakan tentang perdebatan di media sosial, netizen Indonesia bisa dibilang memang selalu siap siaga memposisikan jari-jemari mereka di atas keyboard. Tak jarang, banyak dari netizen yang rela meluangkan waktu mereka hanya untuk melanjutkan perdebatan tanpa ujung tersebut.
ADVERTISEMENT
Alih-alih bisa mencari jalan tengah, perdebatan malah bisa berujung ke saling mencaci diluar konteks. Saya tidak bilang semua perdebatan di media sosial itu tidak sehat karena dari banyak perdebatan yang terjadi tentunya masih ada yang sehat. Selain itu, saya juga mengamati bahwa topik perdebatan yang muncul selalu berulang dan tetap saja selalu ramai menimbulkan perbincangan.
Saya sendiri ikut menerka-nerka, mengapa topik perdebatan di Indonesia selalu berulang. Pasalnya, tak satu atau dua topik saja yang berulang sejak dulu, melainkan sudah banyak topik lain yang menjadi langganan muncul ke permukaan sosial media setiap tahunnya.

Terlalu terpaku terhadap hitam – putih

Mayoritas perdebatan yang sering dibicarakan seringkali hanya terpaku pada konsep hitam dan putih. Misalnya, ada satu topik perdebatan yang sedang mencuat, maka argumen yang muncul selalu diantara hitam dan putih saja. Kalau tidak A ya B, seperti tidak ada penyelesaian lain yang bisa menjadi jalan tengah. Kalau pun ada argumen yang abu-abu pun tak lantas membuat argumen tersebut naik ke permukaan.
Hidup tak sekadar hitam dan putih. Sumber : pexels.com
Sebagai contoh permasalahan yang muncul adalah perdebatan mengenai pentingnya nilai IPK di perkuliahan. Dua pendapat utama yang naik ke permukaan adalah IPK itu penting atau IPK itu tidak penting. Padahal, ada juga pendapat yang menurut saya cukup bijak dalam menengahi perdebatan tersebut, tetapi sepertinya tak bisa meredam dan mengimbangi kedua pendapat terbesar itu.
ADVERTISEMENT
Padahal, ada penyelesaian yang mungkin lebih bijak seperti pendapat bahwa IPK itu penting, tetapi ada faktor lain penunjang yang membuat orang bisa sukses. Atau pun orang yang berpendapat bahwa IPK itu nggak penting, asalkan kita punya rencana yang lebih matang ke depannya dan tidak menjadikan IPK sebagai alasan malas belajar saja. Akan tetapi, entah mengapa jawaban yang digarisbawahi tetap antara penting dan tidak penting saja.

Tidak ingin repot mencari kesimpulan

Semisal perdebatan sudah terlalu chaos hingga melibatkan para pakar dan ahli untuk ikut membuka suara, biasanya mereka akan memaparkan semuanya dari latar belakang, penjelasan masalah, jawaban dari permasalahan, bahkan sampai rujukan ilmiah atau sumber yang kredibel pun dicantumkan agar kita semua bisa mencermati secara seksama dan mengambil kesimpulan dari penjelasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, kebanyakan dari kita masih enggan membaca semua penjelasan yang sudah sangat terstruktur seperti itu. Kemudian, akan muncul sebuah pertanyaan yang menagih ahli tersebut untuk segera menyimpulkannya.
“Intinya BOLEH atau TIDAK?”
Padahal, para ahli membuat penjelasan seperti itu karena memang jawabannya tidak bisa semudah benar atau salah, boleh atau tidak, halal atau haram, dan semacamnya. Kita sebagai orang yang sebenarnya sudah dimanjakan dengan penjelasan yang begitu lengkap dan hanya tinggal menyimpulkan sendiri pun masih mau mencari jawaban yang lebih mudah tanpa mau membaca penjelasannya terlebih dahulu.

Memang suka mencari masalah

Sebenarnya alasan yang satu ini terlalu judgemental dan saya sendiri pun sebenarnya tidak rela mengatakan bahwa warga dari negara yang saya cintai ini berdebat hanya karena memang suka cari masalah saja. Akan tetapi, studi dari Microsoft beberapa waktu lalu mengatakan bahwa warganet Indonesia adalah pengguna sosial media paling tidak sopan se-Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Studi tersebut cukup membuktikan bagaimana keadaan warganet Indonesia dalam hal bersosial media. Kemudian, bukannya melakukan evaluasi dan mawas diri, netizen Indonesia malah menyerang akun Instagram Microsoft sebagai pihak yang mengeluarkan studi tersebut.
Warganet hobi menyerang akun media sosial orang lain. Sumber : pexels.com
Terakhir, disini saya juga bukan orang yang sudah hebat dan sesempurna itu dalam bersosial media, tapi tidak ada salahnya saya mengajak kepada para warganet untuk bersama-sama menciptakan lingkungan sosial media yang lebih sehat.