Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Literasi Itu Penting
16 Oktober 2024 12:22 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari A Mujahidin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam dunia yang semakin canggih dan cepat, literasi merupakan keterampilan penting yang harus dimiliki oleh setiap individu dalam proses pengembangan kapasitas dan kualifikasi keilmuannya. Masyarakat merupakan unsur penting didalam suatu negara dan merupakan ujung tombak dalam pembangunan suatu negara. salah satu tolak ukur kemajuan suatu negara adalah dapat dilihat dari sumber daya manusianya. Jika SDM nya bagus dalam bidang pendidikan, maka dapat dipastikan suatu negara tersebut juga maju.
ADVERTISEMENT
Penguatan budaya literasi sejak dini menjadi awal akar tradisi intelektualisme dengan ditopang oleh pembangunan sarana dan prasarana dari pemerintah semisal membangun Taman Baca Masyarakat dan Perpustakaaan.
KH Ahmad Dahlan seorang tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah sedari awal telah menunjukkan gerakan dakwah dan sosialnya di bidang literasi. Hal ini bisa kita lihat pada fokusya dalam dunia pendidikan seperti membangun sekolah-sekolah dan bidang di sosial seperti kesehatan dan kemasyarakatan. Penguatan literasi membaca menjadi awal terciptanya tokoh-tokoh, cendekiawan-cendekiawan dan aktivis-aktivis di lingkup Muhammadiyah hari ini. Hari ini kita bisa lihat tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti, Prof. Din Syamsuddin, Buya Syafi’I Maarif, Prof. Haedar Nashir dan masih banyak lagi. Mereka semua adalah cendekiawan-cendekiawan yang lahir dari muhammadiyah dengan tradisi literasinya yang kuat sedari awal.
ADVERTISEMENT
Makna awal literasi berkaitan dengan huruf atau ”littera” dalam bahasa Latin. Itulah mengapa ”litteratus”, sebagai cikal bakal istilah literasi, tidak hanya berarti terpelajar, tetapi juga yang mempunyai pengetahuan tentang huruf-huruf atau teks.
Jika literasi adalah tubuh, maka jantungnya adalah teks. Namun, jantung yang tidak berdetak tidak akan dapat menghidupkan tubuh. Untuk itu harus ada nyawa yang ditiupkan ke dalamnya agar dapat mendetakkan jantung. Adapun nyawa yang dapat mendetakkan jantung teks adalah membaca. Dengan kata lain, membaca berhubungan dengan kehidupan. Bukan hanya kehidupan literasi itu sendiri, melainkan juga kehidupan manusia dan peradabannya.
Membaca juga merupakan salah satu bentuk kecakapan hidup. Dengan membaca, seseorang dapat menambah pengetahuan dan memperluas wawasannya, belajar berimajinasi, bermimpi dan bercita-cita tinggi, bahkan mendorong untuk berkreasi sebagaimana yang dirasakan oleh sastrawan besar Amerika Latin, Gabriel Garcia Marquez. Sejak kecil, Marquez mencintai buku-buku, terutama buku baru yang dilihatnya serupa roti hangat dari oven. Terlahir dari keluarga miskin, Marquez hanya mampu membaca buku-buku yang dipinjamnya dari teman atau perpustakaan.
ADVERTISEMENT
Namun, ada yang berbeda ketika pada suatu hari seorang teman meminjamkan Metamorfosis karya Franz Kafka kepadanya. Tiba-tiba saja, kehidupan Marquez berubah dimulai sejak dia membaca baris pertama novel tersebut.
Tentu saja bukan berubah menjadi kecoa seperti protagonis Metamorfosis, Gregor Samsa, tetapi Marquez ingin bisa berubah menjadi penulisnya. Dia ingin meniru Franz Kafka. Marquez pun menulis cerpen tentang seorang birokrat yang berubah menjadi kecoa dan mengirimnya ke koran El Espectator. Selang beberapa bulan, cerpen tersebut dimuat. Sebuah keberuntungan yang tidak mungkin terjadi seandainya cerita itu dikirimnya kepada Salman Rushdie, bukan Eduardo Zalame, editor El Espectator, puluhan tahun kemudian.
Kebalikan dari Marquez, ketidakberuntungan justru menimpa seorang penulis pemula yang ingin pula meniru Kafka dengan menulis cerpen tentang Ny K yang mendapati dirinya berubah menjadi mesin cuci. Penulis itu mengirimkan cerpennya kepada Salman Rushdie. Karya itu langsung mendapat cap konyol sebagai peniru.
ADVERTISEMENT
Pengalaman membaca yang mampu menggerakkan hati seperti itu juga dialami Gao Xingjian, novelis penerima hadiah Nobel Sastra asal China. Setelah membaca memoar Ilya Ehrenburg yang berlatar kota Paris, Xingjian muda menyimpan harapan untuk bisa mengunjungi kota tersebut pada suatu hari nanti dan mulai belajar bahasa Perancis. Hal serupa dirasakan oleh Presiden ketiga Amerika Serikat Thomas Jefferson saat terpilih sebagai Menteri Luar Negeri Amerika untuk Perancis. Dia mempelajari bahasa Perancis dengan cara membaca buku Don Quixote karya Miguel de Cervantes dalam versi bahasa Perancis. ”Karena)membaca mengubah mimpi menjadi hidup, dan hidup menjadi mimpi,” ungkap Mario Vargas Llosa saat memberi pujian untuk membaca dalam sebuah esainya (2010).
Mimpi yang membuat Jorge Luis Borges membayangkan wujud surga sebagai perpustakaan ketika kebutaan yang menyerang kedua matanya membuatnya tidak bisa lagi membaca. Mimpi yang membuat bangsawan tua, Alonso Quixano, menjalani hari-hari penuh semangat layaknya seorang kesatria muda perkasa bernama Don Quixote de La Mancha; mengatasi krisis paruh bayanya dengan impian masa muda.
ADVERTISEMENT
Menurut Roland Barthes, dalam Kesenangan Teks (2019), cara agar membaca terasa menyenangkan adalah dengan memahami cara kerja kesenangan, yaitu bahwa ia membutuhkan kehilangan. Untuk itu, seseorang terlebih dahulu harus mengubah caranya memandang teks. Lihatlah sebuah teks, entah esai, puisi, cerpen, novel, buku motivasi, atau buku pelajaran, bukan sebagai alat pemaksa atau membuang-buang waktu, melainkan sebagai tempat di mana kita bisa menemukan sesuatu yang hilang.
Kehilangan yang pernah ada, sudah, dan akan terjadi pada diri seseorang. Entah berupa keceriaan masa kanak-kanak, getaran cinta pertama, kesedihan masa lalu, kesadaran tentang makna hidup, atau impian dan cita-cita yang tidak dan belum kesampaian. Bahkan, hingga ilmu-ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan, bakal disesali jika sampai kehilangan kesempatan untuk mempelajarinya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, isilah lubang gelap kehilangan itu dengan membaca. Temukan kata-kata yang memancar kuat. Temukan kalimat-kalimat yang menggetarkan jiwa. Atau, temukan paragraf-paragraf yang bisa mengajak kita bertualang, berpikir tentang masa depan, hingga memahami misteri jodoh dan asmara.
Di titik ini, teks bukan lagi sekadar teks, melainkan lebih semacam peta menuju ke tempat penyimpanan sesuatu yang sangat penting bagi manusia. Sebuah harta karun yang berasal dari jalinan kisah-kisah tak berkesudahan para penulis. Umberto Eco menyebutnya background books.
Maka dapat dikatakan bahwa dengan membaca, kita akan mampu menjadi versi terbaik dari diri kita. Sebaliknya, kendati kita tetap dapat bertahan hidup walaupun malas membaca, ini sama saja berarti kita membiarkan versi terbaik dari diri kita mati konyol dalam kemalasan yang bodoh serupa apa yang dilakukan oleh rombongan remaja yang memasuki hutan sembarangan dalam film horor, setelah mengabaikan papan bertuliskan ”Bahaya!” yang terpasang di dekat jalan masuk.
ADVERTISEMENT
Membaca adalah mempertajam dialektika dan logika
Dialektika adalah metode berpikir yang menekankan pada proses dialog dan kontradiksi untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam dan komprehensif tentang suatu isu atau fenomena. Konsep dialektika berakar pada filsafat Yunani kuno, terutama dalam karya-karya Socrates. Socrates menggunakan metode tanya jawab yang dikenal sebagai dialektika untuk mengeksplorasi ide-ide dan menggali kebenaran melalui dialog. Dalam dialektika, sebuah tesis (gagasan awal) dihadapkan dengan antitesis (gagasan yang berlawanan), dan dari interaksi ini muncul sintesis (gagasan baru yang menggabungkan elemen-elemen dari kedua pandangan sebelumnya). Contoh dari dialektika adalah perkembangan pemikiran politik, di mana ide-ide konservatif dan progresif saling berinteraksi dan menghasilkan kebijakan yang lebih moderat dan inklusif.
Logika, di sisi lain, adalah ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip penalaran yang valid. Logika formal mengatur cara kita menyusun argumen sehingga kesimpulan yang diambil dapat diterima berdasarkan premis-premis yang diberikan. Logika melibatkan aturan-aturan ketat yang memastikan konsistensi dan validitas dari argumen yang dibuat. Contoh dari logika adalah silogisme dalam argumen deduktif, seperti "Semua manusia adalah fana; Socrates adalah manusia; maka, Socrates adalah fana." Dalam konteks ini, logika membantu memastikan bahwa kesimpulan yang diambil adalah hasil dari premis-premis yang benar.
Perbedaan utama antara dialektika dan logika terletak pada pendekatan mereka terhadap konflik dan perubahan. Dialektika menerima dan bahkan memanfaatkan konflik sebagai sumber inovasi dan perkembangan, sedangkan logika lebih fokus pada konsistensi dan validitas tanpa mempertimbangkan perubahan yang mungkin terjadi. Dialektika melihat dunia sebagai sesuatu yang dinamis dan terus berubah, sedangkan logika cenderung melihat dunia dalam kerangka statis di mana premis dan kesimpulan harus selalu konsisten.
ADVERTISEMENT
Ketika kita dihadapkan pada masalah yang kompleks dan dinamis, berpikir secara dialektis bisa sangat berguna. Misalnya, dalam bidang politik atau sosial, di mana banyak faktor yang saling bertentangan dan berubah, dialektika memungkinkan kita untuk melihat konflik sebagai bagian dari proses alami menuju perubahan dan perkembangan. Dengan memahami dan mengintegrasikan pandangan yang berbeda, kita bisa menemukan solusi yang lebih komprehensif dan adaptif.
Sebaliknya, ketika kita dihadapkan pada masalah yang memerlukan kepastian dan ketepatan, berpikir secara logis lebih diutamakan. Misalnya, dalam bidang matematika, ilmu pengetahuan, atau pemrograman komputer, di mana argumen dan solusi harus konsisten dan bebas dari kontradiksi, logika adalah alat yang sangat diperlukan. Dengan menggunakan prinsip-prinsip logika, kita dapat memastikan bahwa kesimpulan yang diambil benar-benar valid dan dapat diandalkan.
ADVERTISEMENT
Secara umum, kemampuan untuk berpikir baik secara dialektis maupun logis adalah keterampilan yang berharga. Dialektika membantu kita untuk tetap fleksibel dan terbuka terhadap perubahan, sementara logika memberikan kita alat untuk berpikir dengan jelas dan terstruktur. Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus mampu mengenali kapan waktu yang tepat untuk menggunakan masing-masing pendekatan ini. Dengan demikian, kita dapat menghadapi berbagai situasi dengan cara yang paling efektif dan produktif. "literasi itu penting, karena kebodohan rajin memakan korban" (Raim la ode)
#iqro