Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memantau Politik Dinasti Dari Asumsi Primitif
24 November 2024 17:36 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari A Mujahidin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena politik dinasti memang menggurita di Indonesia. Baik dalam skala eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sekarang kita tengah dihadapkan dengan momentum Pilgub dan Pilkada, yg dimana kita melihat banyak sekali dari mereka yang masih memiliki ikatan keluarga di sistem pemerintahan dan ingin mewarisi ke anak dan kerabat nya.
ADVERTISEMENT
Dalam perpolitikan di Indonesia, politik dinasti memang menunjukkan stigma atau asumsi buruk bagi regenerasi kepemimpinan di daerah. Hal ini dapat menciptakan sistem yang feodal, bersifat oligarki dan membentuk hierarki kekuasaan berbasis struktur sosial tradisional. Dalam hal ini dapat berimplikasi pada, pertama integrasi vertikal ke kekuasaan menjadi sangat terbatas aksesnya, karena aksesnya sudah di setting oleh iblis oligarki tersebut. Kedua, dinasti politik juga kerap kali menjadi satpam setia menjaga sikap dan perilaku korup sebelumnya. Hal ini dalam artian, penguasa daerah yang korup bisa menyematkan atau menjadi payung penakar jejak kekuasaannya yang buruk sebelumnya lewat pengendalian orang-orang yang berkuasa setelah purna/lengser dari jabatannya.
Jika kita telisik sejak reformasi hingga sekarang, banyak sekali kepala daerah yang dipertukarkan dari, oleh dan untuk keluarganya tercipta. Melihat fenomena tersebut, UU Pilkada secara progresif dan solutif melakukan langkah preventif untuk mengatur soal larangan kepala daerah petahana mencalonkan dirinya lagi. Dalam hal ini diatur dengan regulasi bahwa keluarga petahana baru boleh mencalonkan diri setelah terhalang satu periode jabatan atau 5 tahun. Regulasi ini diatur supaya dapat menciptakan pilkada yang demokratis, adil, Jujur dan berkemajuan. Dengan adanya regulasi tersebut semoga dapat mengontrol praktik politik dinasti yang tidak sehat dan merusak esensi nilai demokrasi.
ADVERTISEMENT
Politik dinasti di Indonesia memang cukup masif dilihat dari berbagai daerah. Dalam hal ini yang mencolok misalnya Indah Dhamayanti Putri di daerah Bima dan Ratu Atut Chosiyah di Banten. Di Bima misalnya kita lihat Indah Damayanti Putri yang sebelumnya menjabat sebagai Bupati, kini telah melangkah naik menjadi wakil gubernur bersama Lalu Muhammad Iqbal, Anaknya Sekarang mencalonkan diri sebagai Calon Bupati Bima, Pamannya menjabat sebagai kadis Pertanian, adiknya ketua DPRD Bima, adik iparnya sebagai kepala BKD Bima, dan pamannya lagi sebagai Sekda Bima.
Politik dinasti di Indonesia sering merusak sistem demokrasi akibat hasrat dan nafsu kekuasaan keluarga yang tidak mengindahkan kapasitas dan kapabilitas orang yang didukung menjadi pemimpin. Kita lihat, banyak calon yang tidak siap secara fisik dan knowledge nya, tetapi karena dibekali oleh kemudahan, kekuatan jaringan lokal, pamor keluarga yang menjadi petahana dan segudang fasilitas yang telah disiapkan untuk memuluskan estafet kekuasaan nya, akhirnya keluarga petahana sukses menjadi nahkodanya. Dengan proses dan manajemen birokrasi yang Primitif inilah yang menjadi wajah buruk politik dinasti di Indonesia sehingga kata resistensi perlu kita gelorakan untuk membatasi taktik busuk iblis ini.
ADVERTISEMENT
Politik dinasti dalam perspektif konstitusionalitas.
Dari perspektif konstitusionalitas memang ada masalah saat keluarga petahana dilarang mencalonkan diri. Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan “setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan”. Sehingga bisa dipahami bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah/negara, asalkan memenuhi syarat dan standar yg telah di atur. Pelarangan seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kandidat memiliki nuansa diskriminatif, hal ini dianggap MK bertentangan dengan pasal 28 i ayat 1 UUD 1945. Isi pasal tersebut setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan/legitimasi terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
ADVERTISEMENT
Langkah pengendalian Politik Dinasti
Di Indonesia, politik dinasti secara prinsip sulit untuk di amputasi karena hasrat berpartisipasi dalam politik melekat pada tiap individu. Seorang anak atau kerabat kepala daerah yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai kepala daerah tentu tidak bisa dilarang untuk berjuang meraih hasrat kekuasaan politiknya. Kekeliruan yang menyebabkan kegundahan pilkada di banyak daerah sekarang ini lebih didasarkan pada banyaknya keluarga inti yang menjadi kandidat karbitan. Mereka jika ditelisik lebih jauh, tidak memiliki historisitas berjenjang sebagai politisi atau pengelolaan urusan publik, tapi tiba-tiba menjadi kandidat. Hal ini proses politik uang menjadi dominan eksistensinya untuk memenangkan keluarga inti yang diusung petahana. Hal ini dapat berimplikasi pada hilangnya esensi politik menjadi sangat transaksional dan menempatkan suara rakyat dalam skenario manipulatif yang terstruktur secara sistematik.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, mekanisme yang mendesak diperbaiki dalam regulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang kandidat di pilkada adalah pengetatan dan penguatan syarat² pencalonan yang mencakup kapasitas, kapabilitas dan rekam jejak dalam bidang politik. Hal ini untuk menghindari agar Jangan sampai hanya karena seseorang anak, ipar, paman, ataupun kerabat lainnya dari petahana bisa melenggang dengan mudah menjadi kandidat. KPU harus ada upaya untuk memperkuat sistem pengawasan, mempertegas sanksi pelanggaran dan mekanisme pemberian sanksi pada saat proses Pilkada berlangsung. Dalam hal ini Parpol pengusung kandidat juga wajib bertanggung jawab karena salah satu penyumbang suburnya politik dinasti adalah dari parpol yang tidak menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik dan benar. Selain itu, masyarakat juga harus pintar dan kritis melihat fenomena tersebut. Jangan sampai masyarakat hanya menjadi objek dan pelengkap penderita dari gurita politik dinasti di daerahnya.!!!
ADVERTISEMENT