Konten dari Pengguna

Pesan dari Konflik Sampit: Kesan dan Stereotip Adalah Bahan Bakar Konflik

Abdalwahab Mujtaba
Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir di STAI Al-Anwar Sarang Rembang
14 Mei 2024 8:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdalwahab Mujtaba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi konflik. (Sumber foto: Amir Arabshahi/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi konflik. (Sumber foto: Amir Arabshahi/Unsplash)
ADVERTISEMENT
Konflik yang biasa disebut dengan “konflik Sampit” ini bermula setelah datangnya orang-orang dari Madura melalui program transmigrasi. Sebagai warga pendatang, orang Madura ini sadar bahwa mereka harus bekerja keras agar dapat meraih kesejahteraan di tanah orang. Mereka harus menempuh semua jalur yang dapat diambil untuk mencapai tujuan tersebut. Itu artinya, mereka harus berbaur dan berinteraksi dengan warga lokal. Di sinilah masalah mulai muncul.
ADVERTISEMENT
Persinggungan antara dua etnis rawan menimbulkan pertikaian ketika tidak ada titik temu yang dapat menengahi keduanya. Begitu pula persinggungan antara etnis Dayak yang merupakan warga lokal dengan etnis Madura yang merupakan warga pendatang. Di satu sisi, orang Madura memiliki kebiasaan membawa senjata tajam berupa celurit ke mana-mana. Mereka tidak segan-segan menggunakan senjata tersebut untuk menyelesaikan suatu masalah. Bagi orang Madura, hal ini tentu tidak menjadi masalah karena sudah menjadi kebiasaan mereka. Di sisi yang lain, kebiasaan ini memunculkan kesan bagi orang Dayak bahwa orang Madura menyukai kekerasan. Kemudian, kesan tersebut diperkuat oleh rumor-rumor yang disebarkan terkait perilaku-perilaku kriminal yang dilakukan oleh orang Madura.
Kesan buruk ini berubah menjadi keyakinan yang kuat ketika ditemukan bukti bahwa ada orang Madura yang benar-benar melakukan tindak kejahatan terhadap warga lokal. Orang Dayak kemudian menganggap orang Madura sebagai ancaman yang bisa menyerang kapan saja. Oleh karena itu, mereka merasa perlu membela diri dari ancaman tersebut. Perasaan ini membuat mereka merasa sah dan berhak untuk melakukan tindakan apapun sebagai reaksi dari serangan di atas. Akhirnya, muncullah tindak kejahatan dari orang Dayak yang sasarannya adalah orang Madura.
ADVERTISEMENT
Tindak kejahatan balasan tersebut membuat pertikaian menjadi semakin runcing. Korban demi korban berjatuhan, sementara pemerintah masih menganggap kejahatan-kejahatan yang terjadi sebagai masalah antar personal, alih-alih antar etnis. Sehingga, tindakan yang diambil pun sebatas untuk menyelesaikan antara pelaku dan korban, bukannya mendamaikan dua kelompok besar. Padahal, dalam pandangan pihak yang bertikai, kejahatan-kejahatan tersebut sudah dianggap sebagai serangan (jika berasal dari pihak lawan) dan tindakan membela diri (jika berasal dari pihak sendiri).
Puncak sekaligus penyelesaian konflik terjadi pada tahun 2001. Konflik ini merenggut ratusan nyawa dari kedua belah pihak. Meskipun tidak mudah, pada akhirnya kesepakatan dapat tercapai setelah pemerintah turun tangan menengahi keduanya. Pembangunan monumen, pemulangan orang-orang Madura, dan penangkapan orang-orang yang terlibat adalah beberapa hal yang dilakukan untuk meredam konflik, walaupun tidak benar-benar menyelesaikannya. Ingatan-ingatan kelam tentang peristiwa tersebut masih tersimpan, kesan dan stereotip juga masih tertanam dalam pikiran.
ADVERTISEMENT
Dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa walaupun menyebabkan kerusakan yang besar dan membuat ratusan nyawa melayang, konflik Sampit sebenarnya didasarkan oleh hal yang sering disepelekan banyak orang, yaitu kesan dan stereotip yang disematkan pada seseorang atau suatu kelompok. Kesan dan stereotip ini muncul karena orang Dayak menganggap bahwa diri mereka dan orang Madura memiliki identitas yang berbeda. Orang Dayak menganggap orang Madura sebagai pihak yang berada di luar mereka. Oleh karena itu, ketika ada persinggungan antara keduanya, orang Dayak merasa bahwa mereka sedang berurusan dengan pihak yang lain. Sehingga, mereka merasa berhak melakukan apa pun untuk melindungi identitas mereka.
Konflik semacam ini dapat dicegah apabila kedua pihak diberi pemahaman bahwa mereka adalah pihak yang satu dan memiliki identitas yang satu, yaitu identitas nasional. Identitas nasional memunculkan perasaan bahwa kedua pihak tersebut sebenarnya hanyalah bagian kecil dari suatu komunitas yang lebih besar. Jadi, ketika ada permasalahan atau persinggungan antara keduanya, dapat dilakukan upaya-upaya untuk mencari jalan tengah. Dengan demikian, konflik yang memakan banyak korban ini tidak akan terjadi.
ADVERTISEMENT