Konten dari Pengguna

Eskalasi Baru di Tepi Barat mengancam Abu Mazen

Muntaqim Asbuch
Content Creators YouTube @BattutaID dan Tertarik tentang Geopolitik Timur Tengah dan Asia Tengah
28 Januari 2024 11:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muntaqim Asbuch tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Netanyahu memegang kendali, Abu Mazen dan Otoritas Palestina dalam genggaman. Biden memantau dan konflik di Tepi Barat mencapai puncaknya (Credit: Muntaqim Asbuch)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Netanyahu memegang kendali, Abu Mazen dan Otoritas Palestina dalam genggaman. Biden memantau dan konflik di Tepi Barat mencapai puncaknya (Credit: Muntaqim Asbuch)
ADVERTISEMENT
Dalam konteks yang semakin kompleks di Tepi Barat, sebuah naratif yang terus berkembang menunjukkan potensi eskalasi konflik yang mengkhawatirkan. Ekstremis Yahudi, yang diberi perlindungan oleh tentara Israel, beraksi di kota-kota Palestina, menciptakan ketegangan yang melibatkan berbagai pihak di wilayah tersebut. Di samping itu, pemerintah Palestina, yang mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat, menghadapi tantangan besar karena kurangnya popularitas di kalangan penduduknya. Situasi ini menciptakan atmosfer yang sangat tegang, dengan Tepi Barat yang hampir kehilangan kendali dan tampaknya siap meledak dalam ledakan konflik yang dapat menjadi front perang baru bagi Israel.
ADVERTISEMENT
Ketidakstabilan ini semakin diperparah oleh kebijakan rahasia yang dilakukan oleh partai agama ekstremis dalam koalisi pemerintah Israel. Mereka memanfaatkan peluang strategis setelah Operasi Al-Aqsa Flood dan meluncurkan agenda pemindahan sistematis di Tepi Barat yang diduduki. Eskalasi kekerasan oleh para pemukim setelah 7 Oktober menjadi pendorong utama, menambah tekanan politik pada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Pentingnya faktor keuangan juga menjadi sorotan dalam kisah ini. Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, yang dikenal sebagai tokoh radikal, mengalokasikan hampir $250 juta dari anggaran nasional untuk proyek-proyek pemukiman di Tepi Barat. Ini tidak hanya menciptakan kecaman dari Uni Eropa, yang mengkritik pembiayaan pemukiman ilegal, tetapi juga memicu perdebatan tentang dampak negatifnya terhadap keamanan di wilayah yang sudah tegang.
ADVERTISEMENT
Seiring ketegangan meningkat, Tepi Barat mungkin menjadi pemicu potensial bagi konflik besar berikutnya di Timur Tengah. Keputusan dan tindakan dari berbagai pihak, termasuk Israel, Palestina, dan pemain internasional, akan sangat memengaruhi arah perkembangan situasi ini, dan tantangan besar terletak dalam mencari solusi yang dapat meredakan ketegangan dan mencegah ledakan konflik yang lebih besar di masa depan.

Eskalasi Senyap di Tepi Barat

Sebagai respons terhadap ketegangan di Tepi Barat, Tel Aviv mengambil langkah-langkah yang drastis untuk memperketat kendalinya atas warga Palestina di wilayah tersebut. Salah satunya adalah dengan menghalangi pekerja Palestina agar tidak bisa bekerja di Israel. Selain itu, menteri keuangan Israel menolak untuk mentransfer dana kliring Palestina ke Otoritas Palestina (PA), yang seharusnya digunakan untuk membayar gaji pekerja di Gaza.
ADVERTISEMENT
Di sektor militer, Israel telah melancarkan kampanye intensif di Tepi Barat sejak tanggal 7 Oktober, yang menyebabkan ratusan kematian dan penangkapan lebih dari 6.000 warga Palestina. Tindakan kekerasan, pemindahan paksa warga sipil, dan serangan oleh pemukim bersenjata – semua ini meningkat secara dramatis di seluruh wilayah yang diduduki. Faktanya, eskalasi ini dapat disebabkan oleh transfer senjata yang dilakukan oleh Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, yang dikenal sebagai sosok ekstrem.
Ben Gvir, yang menjadi perwakilan dari agenda tersembunyi partai nasionalis dan agamawi dalam pemerintahan koalisi, memanfaatkan peristiwa Al-Aqsa Flood untuk melaksanakan agenda pemindahan. Sebanyak 25 komunitas Badui Palestina, termasuk 266 keluarga di perbukitan timur dekat Ramallah dan Lembah Yordania, menjadi sasaran pemindahan.
ADVERTISEMENT
Pada awal Januari, para pejabat Israel seperti Smotrich dan Ben Gvir secara terbuka mendorong pemindahan warga Gaza, menciptakan kontroversi baru dengan administrasi AS Joe Biden. Komentar mereka yang agresif memicu kritik tajam dari pihak Amerika, yang mengecam retorika "menghasut dan tidak bertanggung jawab" dari pihak Tel Aviv. Konflik dan tegangan di Tepi Barat semakin menjadi fokus perhatian internasional dengan ketegangan yang terus berlanjut antara pihak Israel dan Palestina.

Misi Blinken di Ramallah

Menteri Luar Negeri Antony J. Blinken bertemu dengan Presiden Otoritas Palestina Abu Mazen dan Perdana Menteri Mohammad Shtayyeh di Ramallah pada 31 Januari 2023. (Foto: Departemen Luar Negeri / Ron Przysucha)
Kunjungan terkini Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken, ke Presiden Otoritas Palestina (PA) Abu Mazen Mahmoud Abbas tidak hanya berkutat pada pembahasan situasi pasca-perang di Gaza, seperti yang banyak diusulkan oleh Washington. Sebaliknya, fokus utama kunjungan ini adalah meredam potensi konflik di Tepi Barat.
ADVERTISEMENT
Tepi Barat saat ini menjadi wilayah yang sangat rentan, seakan menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja, seiring dengan kemungkinan kejadian apa pun, baik kecil maupun besar. Ancaman ini membawa risiko serius terhadap upaya Amerika Serikat yang tengah berusaha keras untuk menenangkan dan mengelola situasi eskalasi militer di perbatasan Lebanon.
Antony Blinken jelas memiliki misi penting, yaitu memberikan tekanan kepada Otoritas Palestina (PA), yang memiliki kendali di Tepi Barat, untuk mencegah dan meredam setiap potensi pemberontakan yang dapat membuka front perang ketiga melawan Tel Aviv. Pentingnya tindakan ini tergambar dari perhatian yang terus meningkat terhadap ketegangan di Tepi Barat, yang dapat menciptakan konsekuensi serius bagi stabilitas di kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Penting untuk dicatat bahwa, dalam konteks ini, otoritas keamanan dan militer Israel secara aktif meningkatkan peringatan kepada anggota kabinet, terutama kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Desakan ini tidak hanya bertujuan untuk menghindari potensi intifada ketiga, namun juga dihadapkan pada tantangan berat karena tentara Israel yang saat ini sangat teralihkan oleh konflik di Gaza dan Lebanon. Tidak hanya itu, dampak ekonomi yang signifikan dari blokade pengiriman di Yaman turut menjadi faktor yang memperumit dinamika krisis yang tengah berlangsung.
Dengan demikian, kunjungan Antony Blinken ke Palestina menggarisbawahi urgensi penanganan masalah di Tepi Barat, memperlihatkan bahwa stabilitas di wilayah tersebut memiliki implikasi mendalam bagi upaya AS dalam mengelola krisis regional dan mencegah eskalasi lebih lanjut yang dapat membahayakan perdamaian di Timur Tengah.
ADVERTISEMENT

Perang dingin Amerika dan Israel

Dalam menghadapi pemilihan presiden yang akan datang, Amerika Serikat (AS) berada dalam tekanan waktu yang sangat ketat. Meskipun berupaya mencari solusi sementara untuk ketidakstabilan regional yang dipicu oleh perang yang diinisiasi oleh Tel Aviv di Gaza, Washington semakin terjerat dalam situasi yang rumit di Asia Barat. Hal ini terutama disebabkan oleh serangan udara terbarunya di Yaman, yang semakin memperumit dinamika geopolitik di wilayah tersebut.
Tantangan yang sangat mengganggu bagi Gedung Putih adalah bahwa sekutu dekatnya, yaitu Israel, tampaknya kurang mempedulikan dilema yang dihadapi oleh Amerika. Perhatian Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, lebih terfokus pada masa depan politik pribadinya dan agenda radikal dari mitra koalisinya. Agenda ini tidak selaras dengan kepentingan keseluruhan AS, menciptakan ketegangan lebih lanjut dalam hubungan antara Washington dan Tel Aviv.
ADVERTISEMENT
Meskipun AS telah diingatkan berulang kali tentang ketidakstabilan yang merajalela di Tepi Barat, perdana menteri Israel menunjukkan ketidakberpihakan untuk memberikan tekanan pada sekutunya, terutama karena takut akan ancaman untuk meninggalkan pemerintahan koalisinya. Ketidaksepakatan dalam koalisi ini semakin menambah kompleksitas dalam upaya AS untuk menengahi konflik di wilayah tersebut.
AS merasa sulit untuk menghadapi eskalasi militer di Tepi Barat karena potensi dampak besar yang mungkin dimilikinya terhadap rencana pasca-perang untuk Gaza dan arena politik domestik AS. Otoritas Palestina (PA), yang saat ini mengalami ketidakpopularan di antara konstituennya sendiri, tetap menjadi komponen penting dari proyek-proyek AS di Asia Barat. Banyak dari proyek ini tumpang tindih dengan berbagai agenda regional yang kompleks.
Sejak awal konflik saat ini, AS berusaha untuk melibatkan PA dalam upaya rehabilitasi politik di Gaza. Upaya ini sejalan dengan beberapa negara Arab dan Barat lainnya, sebagai langkah awal menuju pembicaraan lebih lanjut mengenai solusi dua negara antara Israel dan Palestina. Namun, jalan menuju "perdamaian yang adil" menjadi elemen kunci dalam perbincangan antara Washington dan Riyadh, di mana Saudi Arabia menekankan perlunya langkah-langkah konkret dari pihak Israel menuju solusi dua negara sebelum mempertimbangkan normalisasi penuh hubungan dengan Tel Aviv.
ADVERTISEMENT
Meskipun opsi dua negara selalu menjadi pembicaraan sulit, khususnya dalam konteks normalisasi, serangan militer yang brutal oleh Israel di Gaza, dengan lebih dari 22.000 korban tewas, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, kini menjadi elemen pusat bagi pendekatan Saudi Arabia terhadap solusi konflik di wilayah tersebut.
Riyadh, dengan motivasinya sendiri yang mencakup faktor internal dan eksternal, tetap kukuh pada pendekatan dua negara. Dengan meningkatnya ketidakpuasan di AS terhadap penanganan krisis di Timur Tengah oleh pemerintahan Biden, Gedung Putih mendesak perlunya terobosan diplomatik di Asia Barat untuk meraih beberapa keuntungan politik dalam konteks pemilihan. Meskipun jajak pendapat terbaru menunjukkan tingkat ketidakpuasan sebesar 57 persen terhadap kebijakan Biden di Timur Tengah, situasi semakin rumit dengan serangan tidak terprovokasi di Yaman minggu lalu, yang dikhawatirkan akan memperparah ketidakpuasan pemilih AS.
ADVERTISEMENT

Masa Depan Abu Mazen

Presiden Joe Biden berpartisipasi dalam upacara kedatangan bersama Presiden Otoritas Palestina Abu Mazen, Jumat, 15 Juli 2022, di Istana Presiden Palestina di Bethlehem. (Foto Resmi Gedung Putih oleh Adam Schultz)
Situasi kompleks di Timur Tengah semakin rumit dengan adanya perbedaan pendekatan antara kebijakan militer Israel yang didukung oleh Amerika Serikat (AS) dengan pemerintahan yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu. Militer Israel memiliki rencana untuk mengurangi kehadiran pasukan cadangan dan menurunkan tingkat agresi di Gaza, sesuai dengan saran dari AS. Sementara itu, mereka juga tengah bersiap menghadapi potensi eskalasi dengan Lebanon.
Banyak aspek dari koordinasi antara militer Israel dan Pentagon yang masih belum diketahui, termasuk sejauh mana mereka bersedia menggagalkan strategi dan taktik yang diusung oleh pemerintah Israel. Namun, ada kekhawatiran bersama bahwa pemerintah Israel, khususnya yang beraliran sayap kanan, lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada pertimbangan strategis dalam mengelola konflik.
Upaya untuk menghindari konflik di Tepi Barat menjadi fokus utama, menjadi alasan utama kunjungan Antony Blinken dengan Abu Mazen Mahmoud Abbas dan diplomasi dengan pihak Saudi. Ancaman eskalasi di Tepi Barat juga digunakan sebagai alat tekan oleh AS untuk memaksa pemerintah Netanyahu mengembalikan dana kliring Palestina. Gedung Putih berusaha mengamankan dukungan dari Otoritas Palestina (PA), yang dianggap sebagai mitra yang lebih dapat diandalkan ke depannya. PA, meskipun lemah dan tidak efektif, dianggap sebagai alternatif yang lebih stabil dibandingkan dengan Hamas dan kelompok perlawanan lainnya di Gaza.
ADVERTISEMENT
Sejak awal Oktober, PA mencari perlindungan politik dengan mendekatkan diri pada posisi Mesir dan Yordania. Mereka memberikan peringatan keras kepada Israel dan sekutunya terkait pemindahan penduduk di Gaza dan Tepi Barat. Keterlibatan yang semakin meningkat antara Ramallah, Kairo, dan Amman sesuai dengan agenda AS.
Meski demikian, tidak bisa diabaikan bahwa PA saat ini tidak populer di antara penduduknya sendiri dan mendapat kecaman dari pendukung Gaza. PA terlibat dalam upaya yang kurang berhasil dalam mengelola konflik di berbagai front perang, sementara pemerintahan Israel tampaknya bersikeras tidak bergeming terhadap tekanan atau rayuan dari AS.
Washington, meskipun memiliki peran sentral dalam sejumlah inisiatif perdamaian di masa lalu, saat ini menghadapi kendala besar. Negara-negara Arab kaya raya pun enggan memberikan bantuan finansial kepada PA, bahkan ketika AS sendiri kesulitan menjaga stabilitas PA. Bahkan pemimpin Uni Emirat Arab, Mohammad bin Zayed, penandatangan Perjanjian Abraham dengan Israel, menolak membantu Netanyahu ketika PM Israel memohon dana untuk mendukung PA.
ADVERTISEMENT
Solusi-solusi sementara yang diajukan dalam mengatasi krisis ini tampaknya hanya memberikan efek sementara. Dengan pemukim agama yang semakin meluas di Tepi Barat, di bawah kepemimpinan pemerintahan Netanyahu, AS terpaksa berperan sebagai penjaga yang berusaha merawat setiap luka. Dalam situasi ini, kita mungkin hanya sejengkal dari potensi kegagalan seluruh upaya yang dilakukan.

Kesimpulan

Konflik di Tepi Barat menghadapi eskalasi yang membahayakan stabilitas regional. Ancaman pemindahan penduduk, tindakan kekerasan, dan ketegangan politik yang terus meningkat menempatkan wilayah ini pada ambang batas konflik besar. Upaya diplomatik Amerika Serikat, terutama melalui kunjungan Antony Blinken, mencoba meredam ketegangan dan mencegah pemberontakan yang dapat meledak menjadi konflik terbuka.
Sementara itu, hubungan antara AS dan Israel merenggang, dengan perbedaan pendekatan yang menciptakan ketidakpastian dalam menangani krisis di Tepi Barat. Pemerintahan Netanyahu, yang fokus pada agenda radikal dan kepentingan pribadi, tidak sepenuhnya memperhatikan dampak lebih luas terhadap stabilitas regional.
ADVERTISEMENT
Masa depan Otoritas Palestina (PA) terus dipertanyakan, dengan ketidakpopularan di antara penduduknya sendiri dan minimnya dukungan finansial dari negara-negara Arab. Ancaman pemindahan dan blokade finansial oleh Israel membuat PA terjebak dalam situasi sulit, sementara AS berusaha menjaga keseimbangan dalam menangani konflik yang semakin rumit di Timur Tengah.
Dengan demikian, upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk Israel, Palestina, dan pemain internasional, diperlukan untuk menghindari eskalasi lebih lanjut dan mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Kesulitan dan kompleksitas situasi di Tepi Barat menuntut pendekatan yang bijak dan kolaboratif untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dan membangun landasan perdamaian yang kokoh di wilayah tersebut.