Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Jaminan Perlindungan Tanpa Pemasungan bagi Penyandang Disabilitas Mental
12 Desember 2023 19:01 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Mutmainah Nur Qoiri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kajian tentang Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) disebutkan secara implisit pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, undang-undang tersebut menghapus kekhususan kesehatan mental. Dalam berjalannya waktu, terjadi perubahan hingga disahkan Undang-Undang No. 30 tentang Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sampai pada muaranya, isu kesehatan jiwa dimunculkan kembali dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 termasuk memuat tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menangani ODMK dan ODGJ.
Pelayanan kesehatan jiwa bagi setiap orang dan jaminan hak ODGJ belum diwujudkan secara optimal. Hak-hak ODMK dan ODGJ terabaikan baik secara sosial maupun hukum. Dari sisi sosial, stigma buruk yang melekat dari masyarakat terhadap ODGJ menyebabkan keluarga menyembunyikan dan tidak terbuka.
Hal ini menyebabkan korban sulit mendapatkan akses pengobatan dan pemulihan. Pada sisi hukum, peraturan perundang-undangan pidana memberikan perlindungan bagi ODGJ pada Pasal 86 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap ODMK dan ODGJ atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi ODMK dan ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, Pasal a quo tidak memberikan strafmaat (penentuan ancaman lamanya pidana) yang jelas dan pasti. Tentu, dalam hal putusan ditentukan dengan penafsiran hukum dari penegak yudikatif.
Pemasungan masih banyak terjadi di lingkungan masyarakat. Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2022, terdapat 4.304 kasus pemasungan. Selain pemasungan, ODGJ juga menerima perlakuan pembiaran dan pembuangan.
Hal ini tidak bersesuaian dengan Pasal 2 UU a quo yang mengatur asas perikemanusiaan dengan mempertimbangkan harkat martabat manusia, juga pada UUD 1945 Pasal 28 G ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (1).
ODMK dan ODGJ berhak mendapat perawatan dan bantuan khusus sebagaimana dalam Pasal 42 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
ADVERTISEMENT
Secara fundamental, ODGJ menjadi tanggungjawab negara untuk mendapatkan pengobatan dan pemulihan sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan bagian kesebelas tentang Kesehatan Jiwa Pasal 74 hingga Pasal 85. Dalam Pasal 77 ayat (1) huruf e: “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Pelayanan Kesehatan Jiwa, baik di tingkat pertama maupun tingkat lanjut di seluruh wilayah Indonesia...”
Pasal 68 huruf b dan huruf c UU Keswa disebutkan “OMDK berhak mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau” serta “mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa sesuai dengan standar pelayanan kesehatan jiwa.” Begitu pula dengan ODGJ pada Pasal 70 huruf a dan huruf b.
Hak untuk mendapat rasa aman yang lainnya, dalam Pasal 70 huruf f ODGJ berhak “mendapatkan perlindungan terutama terhadap setiap bentuk penelantaran dan kekerasan, eksploitasi, serta diskriminasi.” ODGJ yang terlantar dan menggelandang, UU a quo memberikan pengaturan dalam Pasal 81 yakni “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan upaya rehabilitasi terhadap ODGJ terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.” Selanjutnya “ODGJ terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum yakni ODGJ yang: a. Tidak mampu; b. Tidak mempunyai keluarga, wali atau pengampu; dan/atau c. Tidak diketahui keluarganya.”
ADVERTISEMENT
Larangan pemasungan secara umum merujuk Pasal 333 KUHP: (1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun; (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun; (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun; (4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.
Sementara itu larangan menelantarkan bersesuaian dengan Pasal 304 KUHP: Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan, dan pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena perjanjian, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan dan atau denda sebanyak banyaknya Rp4.500.”
ADVERTISEMENT
Demikian negara memberikan jaminan keamanan, keselamatan serta perlindungan kepada penyandang disabilitas mental secara hukum dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.