Konten dari Pengguna

Timnas: Optimisme atau Pesimisme Jelang Piala Asia 2023

Muhammad Nabiel Hakim
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta
2 Desember 2023 19:06 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nabiel Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemain Timnas Indonesia saat melawan Brunei Darussalam pada pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (12/10/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pemain Timnas Indonesia saat melawan Brunei Darussalam pada pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (12/10/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Tak terasa, Piala Asia 2023 Qatar yang merupakan pagelaran akbar sepakbola seantero Asia tinggal menghitung bulan. Kompetisi yang diselenggarakan tiap empat tahun tersebut akan dimulai pada 12 Januari 2024. Adapun Timnas Indonesia yang diarsiteki oleh Shin Tae Yong tergabung dalam Grup D yang berisikan negara-negara kuat seperti Jepang, Irak, dan Vietnam.
ADVERTISEMENT
Pertandingan pertama Skuad Garuda akan melawan Irak pada 15 Januari 2024. Sementara pada 19 Januari 2024 Timnas akan menghadapi “musuh bebuyutan” Vietnam dan pada 24 Januari 2024 Timnas akan menantang raksasa Asia Jepang sebagai laga pamungkas penyisihan grup.
Piala Asia tingkat senior adalah sebuah momentum penting dan langka bagi pecinta sepakbola tanah air. Sebab, terakhir kali publik menyaksikan tim kebanggaannya berkiprah di level Asia adalah pada 16 tahun yang lalu, itupun ketika menjadi tuan rumah Piala Asia 2007 bersama Thailand, Malaysia dan Vietnam. Tak pelak, publik begitu menunggu-nunggu bagaimana strategi dan aksi dari para staf pelatih dan pemain dalam menghadapi negara-negara besar di pagelaran yang sangat prestisius.
Rasa penasaran publik akan penampilan timnas saat ini tentu tak lepas dari rentetan hasil positif selama laga resmi Fifa, seperti kemenangan 2-1 dan 3-2 vs Curacao, Kemenangan 2-1 vs Kuwait, kemenangan 3-1 melawan Burundi, kemenangan 2-0 vs Turkmenistan, hingga hanya kalah 0-2 dari Juara Dunia Argentina.
ADVERTISEMENT
Selain itu, reputasi Pelatih Kepala Timnas, Shin Tae Yong, yang memiliki segudang pengalaman di level Asia dan kedatangan sejumlah pemain lokal dan keturunan (halfblood) yang berkarier di luar negeri (abroad) seperti Marselino Ferdinand, Asnawi Mangkualam, Pratama Arhan, Sandy Walsh, Shayne Pattynama, Elkan Baggot, Jordi Amat, Ivar Jenner, hingga Rafael Struick turut mempengaruhi peningkatan rasa optimisme publik bahwa Timnas Indonesia kali ini adalah berbeda dan sangat meyakinkan untuk setidaknya dapat bersaing dan memberikan perlawanan.

Optimisme yang Terlalu Tinggi?

Optimisme publik akan kejayaan Skuad Garuda kompak terjaga hingga pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2026 pada 16 dan 21 November lalu di Basra, Irak dan Manila, Filipina. Publik yang sebelumnya sangat optimis bahwa timnas bisa mencuri poin penuh dari 2 laga tandang tersebut seakan terperangah dan tidak percaya bahwa timnas yang dikomandoi oleh Shin Tae Yong dan diisi oleh banyak pemain halfblood dan abroad hanya mampu meraih 1 poin dengan torehan gol yang sangat minim, yaitu memasukkan 2 gol dan kemasukan 6 gol sehingga menyebabkan Indonesia terdampar di posisi dasar Klasemen Grup F Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia dengan defisit 4 gol, di bawah Filipina, Vietnam, dan Irak.
ADVERTISEMENT
Tak cukup dikecewakan oleh hasil akhir, publik juga dikejutkan oleh pola permainan Skuad Garuda dan pemilihan pemain atau line up dari Shin Tae Yong yang terkesan berbeda dibandingkan laga-laga sebelumnya. Bagaimana tidak, timnas yang selama ini dikenal dengan pola permainan atraktif dan memiliki fighting spirit tinggi, tetiba saja menjadi sebuah tim yang kehilangan “jati diri” dan terlihat membingungkan baik bagi kawan maupun lawan sehingga berujung pada tindakan blunder di daerah pertahanan sendiri yang membuahkan gol dan kemenangan bagi negara lain.
Hal tersebut terjadi kala timnas bersua Irak di Basra International Stadium, yang mana 4 dari 5 gol Irak ke gawang Nadeo adalah kesalahan dari para pemain belakang timnas dan bahkan 1 di antara 4 gol tersebut adalah gol bunuh diri. Sayangnya, kesalahan fatal yang tidak perlu itu terjadi kembali kala timnas bersua Filipina yang dimanfaatkan dengan baik oleh Patrick Reichelt sehingga timnas sempat tertinggal 1-0 di babak pertama, beruntung Saddil Ramdani di babak kedua pada menit ke-70 dapat menyamakan kedudukan.
ADVERTISEMENT
Dalam kedua laga tersebut, publik juga dibuat heran dengan keputusan Shin Tae Yong, baik dalam pemilihan line up maupun pergantian pemain. Misal ketika melawan Irak, Shin Tae Yong lebih mempercayakan lini depan kepada Dendy Sulistiawan dan Dimas Drajad ketimbang Rafael Struick dan Ramadhan Sananta, yang kemudian dalam jalannya pertandingan, kedua pemain tersebut akhirnya diganti dan terbukti setelah Rafael Struick masuk, permainan lini depan Indonesia menjadi lebih cair sehingga membuahkan 1 gol hasil kolaborasi antara Rafael Struick dan Shayne Pattynama.
Keputusan Shin Tae Yong lainnya yang unpredictable adalah saat pertandingan melawan Filipina yaitu dengan tidak memainkan Sandy Walsh selama 90 menit, tetapi lebih memilih Asnawi Mangkualam yang dalam pertandingan sebelumnya cenderung mengalami underperform sehingga beberapa kali melakukan miss passing atau controlling yang berakibat pada mudahnya lawan untuk merebut bola.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalam pertandingan melawan Filipina, Shin Tae Yong juga kerap memaksakan untuk memainkan Asnawi dan Sandy secara bersamaan dengan Asnawi di posisi Right Wing Forward (RWF) dan Sandy di Right Back (RB). Padahal, saat kedua pemain tersebut dimainkan, terlihat skema yang diinginkan kurang berjalan efektif sampai pada menit ke-30, Shin Tae Yong membuat keputusan yang lebih mengejutkan dengan memasukkan Witan Sulaiman untuk mengganti Sandy Walsh yang relatif sudah nyaman bermain di posisi aslinya.

Narasi Pesimisme dan Penilaian yang Bijaksana

Hasil negatif 2 laga tandang tersebut tak pelak membuat sebagian masyarakat Indonesia mempertanyakan kualitas Timnas Indonesia sebenarnya. Bahkan beberapa pihak juga sudah mulai menyuarakan tekanan kepada pelatih untuk segera berbenah atau pergi meninggalkan kursi kepelatihan Skuad Garuda. Lebih lanjut, beberapa pecinta sepakbola tanah air juga pesimis akan kiprah timnas di Piala Asia 2023 nanti dan bahkan beberapa pihak sampai mempertanyakan urgensi perekrutan pemain keturunan dalam Skuad Garuda.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikarenakan dalam 2 laga tandang tersebut para pemain keturunan, khususnya di sektor pertahanan, sedang dalam kondisi underperform yang salah satu di antara mereka sampai membuat blunder dan gol bunuh diri, sehingga muncul sebuah narasi bahwa “percuma” naturalisasi bila kualitas pemain tersebut tidak ada bedanya dengan pemain lokal.
Narasi-narasi kekecewaan beraroma pesimisme tersebut sejatinya amat wajar, terutama bagi kita semua yang memberikan harapan kepada Shin Tae Yong untuk dapat membawa Garuda terbang lebih tinggi. Akan tetapi, hal pertama yang sepatutnya disadari oleh para pecinta timnas adalah tidak adil untuk menghakimi performa sebuah tim hanya karena 2 laga awal di sebuah rangkaian laga yang sejatinya masih cukup panjang.
Mengapa demikian? Karena perlu diingat bahwa Indonesia masih menyimpan 3 laga kandang dan 1 tandang, yang seluruhnya masih berpotensi untuk dimenangkan.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, 2 laga awal Kualifikasi Piala Dunia era Shin Tae Yong sejatinya masih lebih baik secara perolehan poin jika dibandingkan dengan apa yang kita alami pada Desember 2019 lalu saat Timnas Indonesia dalam 2 laga awal kandangnya justru mendapatkan 0 poin dan dipermalukan oleh rival kawasan yaitu Malaysia dan Thailand dengan skor 2-3 dan 0-3.
Kedua, penting bagi seluruh pecinta timnas untuk memahami bahwa melakoni laga tandang tidaklah semudah yang kita bayangkan. Hal ini utamanya terkait kondisi fisik atau kebugaran pemain dan adaptasi kondisi lingkungan seperti cuaca hingga kualitas lapangan.
Ketiga, penting untuk seluruh pecinta timnas agar tidak gegabah dalam mengambil tindakan, terlebih sampai pada tahap meminta diadakannya pergantian pelatih. Hal ini amat penting karena bagaimanapun pergantian pelatih di tengah kompetisi justru akan menimbulkan masalah baru, terutama terkait dengan adaptasi dan chemistry dalam tim.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam beberapa kasus, pelatih sebuah Tim Nasional butuh waktu efektif setidaknya selama 5 tahun untuk menghasilkan permainan yang baik atau trofi pertamanya, sebagaimana yang dialami oleh Joachim Low di Jerman dan Didier Deschamp di Prancis yang keduanya butuh waktu lebih dari 4 tahun untuk meraih gelar juara dunia. Tentu tekanan pergantian pelatih yang dialamatkan kepada Shin Tae Yong rasanya kurang adil, mengingat Shin Tae Yong baru efektif menangani timnas sekitar 2 tahun sejak bulan Mei 2021 dan itupun diliputi berbagai drama dan tragedi sepakbola Indonesia.
Keempat, evaluasi secara menyeluruh tetap harus dilakukan oleh jajaran Staf Kepelatihan Timnas Indonesia. Karena meskipun target dari PSSI lebih mengutamakan Piala Asia, namun tetap dalam laga Kualifikasi Piala Dunia ada pertaruhan harga diri sekaligus menentukan perangkingan Fifa karena bobot poin yang cukup besar.
ADVERTISEMENT
Dalam artian, kritik yang tajam tapi substantif tetap harus dialamatkan kepada Shin Tae Yong, terutama kritik yang menekankan terkait objektifitas dalam menentukan line up dan menepikan sejenak pemain-pemain yang underperform sekalipun pemain tersebut ia yang mengorbitkan, serta lebih memaksimalkan pemain keturunan yang ada.
Terakhir, pihak federasi juga tidak boleh luput dari perhatian pecinta sepakbola tanah air. Artinya, perbaikan kualitas liga domestik, pengguliran turnamen Piala Indonesia secara rutin, kompetisi yang konsisten dan berjenjang, hingga pembinaan yang berkelanjutan juga harus selalu diupayakan. PSSI dalam konteks ini sudah mengambil langkah tepat dengan mempercayai Shin Tae Yong hingga Juni 2024 atau pasca selesainya seluruh kompetisi Piala Asia, baik Senior atau U-23.
Sekalipun nanti ternyata progres yang ditargetkan tidak tercapai, evaluasi yang dilakukan juga harus berjalan secara objektif. Jangan sampai evaluasi yang dilakukan cenderung mengikuti keinginan kelompok tertentu yang berpotensi memecah-belah pecinta timnas menjadi "lokal vs keturunan" atau sejenisnya, sehingga menciptakan polarisasi di kubu Tim Nasional kebanggaan kita semua dan mengubur rasa optimisme terhadap kejayaan Skuad Garuda di masa depan.
ADVERTISEMENT