Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Di Balik Tren Flexing: Ketika Gaya Hidup Jadi Ajang Pencitraan
26 November 2024 16:52 WIB
·
waktu baca 1 menitTulisan dari Fatma Nabila Zuhra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada era sekarang yang semuanya serba digital, pamer kehidupan melalui media sosial telah menjadi tren dan suatu hal yang lumrah ditemui. Seperti postingan yang memamerkan barang mewah, perjalanan, hingga gaya hidup sering kali muncul. Fenomena ini dikenal dengan istilah flexing, yang mana merupakan suatu tindakan memamerkan kekayaan, sesuatu yang dianggap prestisius, ataupun prestasi di hadapan publik.
ADVERTISEMENT
Media sosial seperti Instagram, X, Facebook, Tiktok, dan lain sebagainya telah menjadi salah satu tempat bagi orang-orang untuk memamerkan gaya hidupnya. Melalui platform digital tersebut, banyak orang merasa perlu mendapatkan pengakuan dari orang lain melalui likes, komentar, dan jumlah pengikut. Flexing menjadi cara untuk mendapatkan validasi tersebut. Unggahan yang sering menampilkan barang-barang bermerek, liburan eksklusif, atau prestasi besar, mencerminkan budaya konsumsi dan pencitraan diri yang semakin berkembang di era digital.
Flexing di media sosial adalah hasil dari perkembangan teknologi dan budaya modern yang menempatkan materi dan pencitraan sebagai pusat perhatian. Meskipun bagi sebagian orang flexing dapat menjadi cara untuk memotivasi diri atau menunjukkan hasil kerja keras, tren ini juga memunculkan dampak negatif, seperti tekanan sosial, materialisme berlebihan, dan kerentanan terhadap kritik atau cibiran.
ADVERTISEMENT
Tindakan flexing yang berlebihan juga dapat menciptakan kesenjangan sosial. Mengapa demikian? Karena ketika seseorang memamerkan kekayaan atau gaya hidup yang mewah, hal ini dapat memperdalam jurang pemisah antara kelompok masyarakat yang mampu dan yang kurang mampu.
Dampak flexing di media sosial dapat dirasakan baik oleh pelaku maupun audiensnya. Bagi pelaku, kebiasaan memamerkan kekayaan atau gaya hidup mewah seringkali memicu tekanan untuk terus mempertahankan citra tersebut, yang tidak jarang berujung pada perilaku konsumtif, utang, atau pencitraan palsu. Di sisi lain, audiens yang terus-menerus terpapar unggahan flexing dapat merasa minder, iri, atau tidak puas dengan kehidupan mereka sendiri, yang dapat berujung pada stres atau kecemasan. Selain itu, flexing juga memperkuat budaya materialisme, di mana nilai seseorang diukur berdasarkan kepemilikan materi, dan mengurangi fokus pada hal-hal yang lebih esensial, seperti integritas, empati, atau kontribusi sosial.
ADVERTISEMENT
Fenomena flexing di media sosial mencerminkan perubahan pola interaksi sosial di era digital, di mana validasi dan pengakuan sering kali menjadi tujuan utama unggahan. Meski dapat memotivasi sebagian orang untuk mencapai tujuan tertentu, flexing juga membawa dampak negatif, seperti tekanan psikologis, peningkatan materialisme, dan budaya pencitraan yang berlebihan. Dalam menyikapinya, penting untuk mengingat bahwa apa yang ditampilkan di media sosial sering kali tidak sepenuhnya mencerminkan realitas. Dengan fokus pada pengembangan diri, menghargai pencapaian pribadi, dan membangun hubungan sosial yang autentik, kita dapat menghindari jebakan flexing sekaligus menciptakan pengalaman bermedia sosial yang lebih sehat dan bermakna.