Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cinta dan Konflik : Alasan di Balik Pertengkaran dengan Orang yang Kita Sayang
5 Desember 2024 14:49 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nabila Tsabita Maulida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
strPernahkah kamu merasa lebih mudah marah kepada orang-orang yang kamu sayangi dibandingkan orang lain? Misalnya, dengan pasangan, keluarga, atau sahabat. Fenomena ini terdengar aneh, bukan? Bagaimana mungkin orang yang paling kita cintai justru menjadi sasaran emosi negatif kita? Tapi jangan khawatir, ternyata hal ini cukup umum dan memiliki penjelasan ilmiahnya. Yuk, kita bahas lebih santai tapi tetap mendalam!
ADVERTISEMENT
Kenapa Orang Terdekat Sering Menjadi Sasaran?
Dalam hubungan dekat, ada rasa aman yang tercipta. Kita merasa bisa menunjukkan diri apa adanya, termasuk sisi buruk kita. Di luar hubungan ini, kita cenderung menjaga sikap karena takut menyinggung atau kehilangan hubungan tersebut. Dengan orang-orang yang kita percaya, kita tidak merasa perlu "berpura-pura." Sayangnya, hal ini menyebabkan mereka yang dekat dengan kita jadi orang yang sering terkena dampak emosi kita, seperti kemarahan.
Psikolog menyebutkan bahwa hubungan dekat merupakan " zona nyaman emosional." Jadi, meskipun kamu suka marah pada pasangan atau keluarga, itu bukan karena kamu tidak sayang, melainkan karena adanya rasa aman yang mendalam. Namun, ini bisa menjadi pedang bermata dua.
Ekspektasi Tinggi: Harapan yang Sulit Dipenuhi
ADVERTISEMENT
Kita cenderung punya ekspektasi lebih tinggi pada orang terdekat. Misalnya, kita berharap pasangan bisa mengerti perasaan kita tanpa perlu dijelaskan. Atau berharap keluarga tahu apa yang kita butuhkan tanpa harus diminta. Ketika ekspektasi ini tidak terpenuhi, rasa kecewa terkadang berubah menjadi kemarahan.
Sebagai contoh, kamu mungkin merasa kesal karena pasangan lupa hari penting, tapi sebenarnya kemarahan itu lebih karena kamu berharap dia mengingat tanpa diberitahu. Ekspektasi yang tidak diucapkan inilah yang sering jadi bahan bakar konflik.
Biologi Juga Ikut Bermain
Kemarahan sebenarnya adalah respon biologis. Ketika kita merasa terancam, otak kita, khususnya bagian amigdala, memicu respon "fight atau flight." Dalam hubungan dekat, ancaman ini biasanya bersifat emosional, seperti merasa diabaikan, diremehkan, atau tidak dipahami.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, dengan orang yang kita sayangi, kita cenderung memilih "fight" atau bisa dikatakan kita lebih memilih melawan orang yang kita sayang. Kenapa? Karena hubungan itu penting buat kita. Kita ingin masalahnya selesai, jadi kita memilih untuk menghadapinya. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, kemarahan ini justru bisa memperburuk situasi.
Komunikasi yang Membuat Salah Kaprah
Kadang, masalah kecil bisa menjadi besar hanya karena cara kita menyampaikannya yang kurang tepat. Ketika marah, kita cenderung berbicara tanpa berpikir panjang. Kata-kata yang diucapkan dalam kemarahan terkedang lebih melukai daripada menyelesaikan masalah.
Contohnya, ketika kamu merasa tidak didengarkan, kamu mungkin berkata, “Kamu nggak pernah peduli sama aku!” Padahal, yang sebenarnya kamu ingin katakan adalah, “Aku butuh perhatianmu.” Perbedaan kecil dalam cara menyampaikan, bisa berdampak besar pada bagaimana konflik itu berkembang.
ADVERTISEMENT
Ketergantungan Emosional
Orang terdekat sering menjadi tempat kita menggantungkan kebahagiaan emosional. Ketika keseimbangan ini terganggu, misalnya saat kita merasa diabaikan, reaksi kita cenderung lebih kuat. Kita mungkin tidak menyadari bahwa kemarahan itu bukan karena hal kecil yang terjadi, tetapi karena rasa takut kehilangan atau rasa tidak cukup dihargai.
Bagaimana Cara Mengelola Konflik dengan Orang Tersayang?
Meskipun konflik adalah hal yang wajar, cara kita dalam mengelolanya sangat penting untuk menjaga hubungan agar tetap sehat. Berikut beberapa tips sederhana yang bisa kamu lakukan :
1. Ungkapkan Harapanmu
Tidak ada yang bisa membaca pikiranmu, bahkan orang-orang terdekat sekalipun. Oleh karena itu, penting untuk menyampaikan apa yang kamu inginkan atau butuhkan secara langsung dan jelas. Komunikasi terbuka seperti ini bukan hanya mencegah kesalahpahaman, tetapi juga memperkuat rasa saling percaya dalam hubungan. Ketika kebutuhan dan harapan dikomunikasikan dengan baik, kedua belah pihak memiliki kesempatan untuk saling memahami dan menemukan solusi bersama.
ADVERTISEMENT
2. Jaga Intonasi dalam Bicara
Ketika emosi kita memuncak, tarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara. Intonasi bicara yang tenang bisa membuat situasi menjadi lebih baik dan menghindari adanya konflik yang berkelanjutan.
3. Berempati
Cobalah kamu ketika melihat situasi, lihat juga dari sudut pandang orang lain. Ini tidak berarti kamu selalu harus setuju, tapi setidaknya kamu bisa memahami alasan di balik tindakan mereka.
4. Luangkan Waktu untuk Mendinginkan Diri
Ketika konflik mulai memanas, mengambil jeda adalah langkah bijak yang sering diabaikan. Meninggalkan situasi sejenak bukan berarti menghindari masalah, tetapi memberi ruang bagi emosi untuk mereda. Pergilah ke tempat yang tenang, tarik napas dalam-dalam, dan gunakan waktu ini untuk memikirkan masalah secara objektif. Dengan kepala yang lebih dingin, kita bisa kembali ke percakapan dengan perspektif yang lebih jernih dan empati yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
5. Jangan Lupa Memperbaiki Hubungan Setelah Bertengkar
Setelah konflik selesai, luangkan waktu untuk memperbaiki hubungan. Entah itu dengan meminta maaf, memeluk, atau sekadar ngobrol santai, langkah kecil ini menunjukkan bahwa kamu peduli.
Marah kepada orang yang kita sayangi adalah bagian dari hubungan manusia yang alami. Hubungan yang penuh cinta juga berarti ada kepercayaan yang cukup untuk mengekspresikan emosi secara jujur. Namun, penting untuk diingat bahwa bagaimana kita mengelola konflik ini menentukan apakah hubungan tersebut akan semakin kuat atau justru rapuh.
Pada akhirnya, pertengkaran dalam hubungan dekat adalah kesempatan untuk belajar dan tumbuh bersama. Jadi, lain kali saat kamu merasa emosi memuncak, ingatlah bahwa cinta dan konflik adalah dua sisi dari koin yang sama, keduanya bisa membawa hubungan ke tingkat yang lebih dalam, asalkan dihadapi dengan cara yang bijak.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Volman, I., Toni, I., Verhagen, L., & Roelofs, K. (2011). Endogenous testosterone modulates prefrontal–amygdala connectivity during social emotional behavior. Cerebral Cortex, 21(10), 2282–2290.
Etkin, A., Büchel, C., & Gross, J. J. (2015). The neural bases of emotion regulation. Nature Reviews Neuroscience, 16(11), 693–700.
Davidson, R. J., & Irwin, W. (1999). The functional neuroanatomy of emotion and affective style. Trends in Cognitive Sciences, 3(1), 11–21.