Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengadu Retorika Kandidat dalam Debat Perdana Capres 2024
16 Desember 2023 22:38 WIB
Tulisan dari Nada Alifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada Selasa (12/12), Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar debat capres perdana. Isu yang diangkat adalah pemerintahan, hukum, hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, peningkatan layanan publik hingga kerukunan warga.
ADVERTISEMENT
Panggung ini menjadi tempat kontestasi pemikiran para kandidat untuk menarik perhatian para pemilih potensial. Bicara soal menarik perhatian, retorika menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan. Debat malam itu menghadirkan Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo yang secara langsung menunjukkan kemampuan mereka beretorika.
Secara khusus, debat capres dapat dilihat melalui retorika persuasif dalam komunikasi performatif yang dicetuskan oleh Aristoteles. Terdapat tiga komponen utama dalam retorika persuasif Aristoteles, yaitu ethos, pathos, dan logos. Hal ini dapat menunjukkan bagaiamana para kandidat bergantung pada komponen tersebut dalam berdialektika.
Lalu, bagaimana ketiga kandidat menjual argumen dalam dialektika formal pertamanya? Apakah benar Anies menjadi sosok jagoan dalam debat perdana capres?
Dilihat dari aspek pertama, ethos, yang mencakup usaha ketiga kandidat dalam membangun citra atas karakter mereka di panggung. Perwujudan paling mudah dari ethos adalah melalui pakaian dan penampilan visual.
ADVERTISEMENT
Anies-Muhaimin terlihat mengenakan setelan jas lengkap dengan peci. Hal ini sesuai dengan gaya Anies yang sering dijumpai mengenakan peci dalam kesehariannya. Pada forum itu, Anies-Muhaimin menjadi paslon dengan penampilan paling formal. Strategi pemilihan pakaian ini dapat dimaknai sebagai sarana untuk menunjukkan rasa hormat terhadap formalitas forum. Terlebih presiden berjenis kelamin laki-laki di Indonesia umumnya tampil dengan setelan formal serupa sehingga pilihan pakaian tersebut menunjukkan kesiapan kandidat dalam mengemban jabatan tersebut.
Prabowo-Gibran hadir dengan mengenakan kemeja biru muda sesuai dengan warna khas koalisi Indonesia Maju. Jika dibandingkan dengan Prabowo di Pilpres 2019 lalu, terdapat perubahan dalam cara berpakaian dari setelan jas formal ke kemeja.
Lebih jauh dari itu, Prabowo seolah mengikuti gaya berpakaian lawan debatnya waktu itu, Jokowi, yang mengenakan kemeja putih. Hal ini seolah mengisyaratkan Prabowo akan melanjutkan cara kepemimpinan Jokowi sebagaimana cara berpakaiannya pada malam penting itu. Gibran, putra sulung Jokowi, terlihat menggulung lengan kemajanya sebatas siku seperti yang dilakukan bapaknya ketika tampil di hadapan publik 5 tahun lalu.
Senada dengan Prabowo, Ganjar-Mahfud mengenakan kemeja dan celana bahan. Kemeja putih tersebut terlihat mencolok dengan tulisan Sat-Set dan gambar nomor urut mereka.
ADVERTISEMENT
Cara berpakaian Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud yang berbeda dengan Anies-Muhaimin menunjukkan pesan tertentu. Salah satunya adalah usaha untuk mengurangi jarak kekuasaan antara kandidat dengan ruangan debat, termasuk lawannya.
Cara berpakian yang lebih santai dapat menunjukkan dua pesan, yaitu (1) kandidat ingin membangun dan mempertahankan kedekatan dengan audiensnya dan (2) kandidat memiliki status sosial yang lebih tinggi dibanding lawannya. Kehadiran Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud dengan pakaian kurang formal menunjukkan kandidat memiliki kuasa yang lebih tinggi sehingga lawannya, Anies-Muhaimin, harus tampil formal untuk berada di panggung yang sama. Hal ini serupa dengan cara Jokowi berpakaian dalam Debat Pilpres 2019 lalu.
Dalam aspek selanjutnya, logos, yang merujuk pada penyampaian isi pesan/ argumen secara logis, runtut, dan terstruktur. Argumen yang efektif tidak bisa hanya mengandalkan pemenuhan kebutuhan logis, tetapi juga proses penyampaiannya.
ADVERTISEMENT
Anies dapat dikatakan sebagai penguasa panggung debat malam itu dengan kepiawaiannya dalam menyusun kata-kata. Penjelasanya jelas, taktis, dan kritis. Anies juga menggunakan signposting (pemberian tanda untuk mengawali dan mengakhiri argumen) dengan efisien. Hal ini dapat mempermudah audiens dalam memahami argumen, serta memberi efek berupa mampu menarik atensi audiens dari awal hingga akhir. Meskipun narasi yang disampaikan banyak menggunakan teori, narasi tersebut menunjukkan orisinalitas dengan posisinya yang jelas sebagai antitesis dari pemerintahan Jokowi.
Disisi lain, Prabowo berulangkali membahas kinerja Jokowi yang cenderung menutupi nilai orisinalitas dalam agenda yang dibawanya. Sikapnya yang menyanjung Jokowi menjadikan ia sering diserang argumen oleh kandidat lain. Menghadapi situasi tersebut, ia cenderung defensif dan enggan untuk membahas terlalu dalam.
ADVERTISEMENT
Ganjar awalnya terlihat bingung dalam memposisikan diri sehingga beberapa kali menyampaikan narasi yang tidak menjadi focus of interest. Namun, ia berhasil menguasai suasana dengan tenang ketika memasuki bahasan mengenai Kartu Tani. Narasinya cenderung melanjutkan program Jokowi, termasuk IKN, sambil tetap melakukan perbaikan yang diperlukan. Dalam narasinya, ia tampak belum menentukan positioning yg jelas antara antitesis dari Jokowi seperti Anies, atau sintesa dari Jokowi seperti Prabowo.
Selain data, ketiga kandidat membicarakan kinerja di masa lalu untuk menguatkan argumen mereka. Tidak ada yang lebih menggambarkan hal ini kecuali komentar berikut, “Ganjar bercerita kinerja saat menjadi Gubernur Jateng, Anies bercerita kinerja saat menjadi Gubernur Jakarta, dan Prabowo bercerita kinerja Jokowi.”
Prabowo yang seringkali mengungkit kinjera Jokowi dalam argumennya seolah menutupi kinerjanya dalam pemerintahan di masa lampau. Hal ini juga menyiratkan bagaimana Prabowo memiliki beban ‘terimakasih’ kepada Jokowi.
ADVERTISEMENT
Aspek terakhir, pathos, yang merujuk pada usaha individu untuk berinteraksi dengan sisi emosional audiens. Bentuk implementasi umumnya berupa rekasi kandidat terhadap argumen lawan atau topik yang diangkat.
Terjadi perdebatan panas antara Anies dan Prabowo dengan posisi mereka yang saling berlawanan. Anies menggunakan kesempatan itu untuk unjuk kebolehan kemampuan berdebatnya dengan tenang. Dengan narasi yang berteori dan cenderung menyerang, ia menggunakan seluruh waktu untuk berbicara.
Prabowo, dengan posisinya sebagai sintesa Jokowi, mendapat serangan argument yang bertubi-tubi. Menanggapi hal tersebut, ia tampak beberapa kali terpancing emosi, termasuk menunjukkan bahasa tubuh atas ketidaksenangannya mengenai pertanyaan dan respon dari kandidiat lain. Meski begitu, ia terlihat sesekali meneruska citra gemoi dengan menggerak tubuhnya di atas panggung.
ADVERTISEMENT
Ganjar, yang tidak terlibat dalam perdebatan panas, lebih santai dan sesekali melucu. meski dalam meyampaikan narasi ia banyak membuang waktu yg tersisa. Dia cenderung menyentuh publik dengan cerita pertemuannya dengan rakyat di lapangan. Seperti gaya khas politikus PDIP, ia tidak banyak berteori dan berfokus pada eksekusi.
Jika dilihat dari retorika persuasif, Anies memang lebih unggul terutama dengan kelihaiannya dalam berargumen. Keahlian tersebut memberi efek yang kuat dalam menarik atensi audiens yang menyaksikan debat. Prabowo, sebagai kandidat yg cenderung defensif, menunjukkan perubahan jika dibandingkan dengan 2 debat capres sebelumnya. Citra gemoi yang dimilikinya seolah digunakan unuk menutupi hal tersebut. Sementara itu, Ganjar cenderung tidak menonjol dalam debat perdananya.
Meskipun begituu, pengaruh yang diberikan oleh debat capres-cawapres memang tidak terlalu siginifikan dalam menaikkan elektabilitas kandidat, tetapi forum publik ini tetap menarik untuk dicermati. Debat menjadi sarana yang tepat untuk melihat karakter, kredibilitas, dan wawasan para kandidat presiden 2024.
ADVERTISEMENT
(Nada Alifa Sarjito/Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNS)