Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jangan (lanjut) Sekolah, Nanti Nikahnya Susah
12 Juni 2023 8:45 WIB
Tulisan dari Nadifa Salsabila Nizar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Nanti setelah S2 stop dulu, nikah dulu”
“CV taaruf yang kamu kirim yang mana? Yang S2 beserta prestasi-prestasinya? Kalau ada laki-laki yang pendidikannya di bawahmu, pakai biodata yang S1, prestasi-prestasi tidak usah dicantumkan. Biar nggak minder. Kalau laki-laki tersebut setara, pakai yang S2 gapapa. Biar merasa imbang.” Doh!
ADVERTISEMENT
Gini banget ya Allah cari jodoh bagi perempuan yang telah atau sedang menempuh pendidikan lanjut. Ditambah umur yang hampir mendekati kepala tiga. Haruskah menurunkan level dan nilai diri agar laki-laki mau mendekat?
Kekhawatiran seperti ini mengingatkanku pada tokoh Furuya Ayame, Ibunya Ichiyo Higuchi, dan Ichiyo Higuchi dalam Novel Catatan Ichiyo (A Note from Ichiyo). Furuya adalah Ibunya Ichiyo yang meragukan dan bahkan menghalangi Ichiyo untuk sekolah sastra.
Berawal dari Noriyoshi Higuchi, ayahnya Ichicyo, yang membacakan semua sajak kepada Natsuko (nama kecil Ichiyo), Furuya sudah mempertanyakan kenapa Noriyoshi capek-capek membacakan sajak pada seorang bayi,
“Mengapa kau membacakan semua sajak itu kepada Natsuko? Aku yakin ia bahwa tak mengerti apa yang kau katakan.” tanya Furuya kepada Suaminya.
ADVERTISEMENT
Semakin Ichiyo tumbuh besar, justru ia membuktikan kebenaran kata-kata Ayahnya, bahwa Ichiyo memiliki potensi dan bakat menjanjikan dalam bidang sajak dan sastra.
Ichiyo pun memiliki semangat dan keinginan kuat untuk menjadi seorang penulis,
“Jika aku besar nanti, aku ingin menjadi seorang penulis, seperti teman-teman Ayah.”
Kenikmatan dan kebahagiaan Ichiyo dan Ayahnya dalam bersastra, tidak disambut baik oleh Furuya. Benih-benih keraguan yang dulu disemai, semakin tumbuh subur. Furuya mengomel ketika Ichiyo memakai kacamata tebal bahkan sebelum ia bersekolah.
“Bagaimana ia bisa mendapatkan suami jika ia terlihat berpikir dan bertingkah laku seperti seorang cendekiawan tua yang bijak dengan kacamata di hidungnya dan setumpuk besar buku-buku berdebu sebagai teman setianya.”
Aku seperti melihat diriku dalam diri Ichiyo. Aku juga berkacamata bahkan sejak SD hingga sekarang aku sudah bekerja, kacamata hitam tebal berminus tujuh masih hinggap di hidungku.
ADVERTISEMENT
Ketidaksukaan Furuya terhadap obsesi putrinya terhadap belajar dan buku memuncak saat Sentaro, kakak Ichiyo, sakit TBC dan membutuhkan biaya perawatan yang besar.
“Menurutku dengan Sentaro berhenti sekolah dan biay perawatan yang menguras harta kita, rasanya konyol sekali jika Ichiyo dibiarkan melanjutkan sekolah. Apa yang akan orang katakan jika melihat putra kita berhenti sekolah sementara putri kita berhenti sekolah sementara putri kita tetap melanjutkan pendidikannya?”
Keluarnya Sentaro dari sekolah adalah kesempatan yang Furuya tunggu-tunggu untuk menghentikan pendidikan putrinya dan sesegera mungkin menyibukkannya dengan aktivitas kewanitaan seperti menjahit dan memasak.
Bagi Furuya, terlalu banyak belajar sangatlah tidak feminin dan akan lebih baik jika Ichiyo blajar menjahit, memasak, dan menjalani pernikahan yang bahagia seperti yang dilakukan gadis-gadis lainnya.
ADVERTISEMENT
“Apa manfaatnya segala pembelajaran dan pendidikan itu untuk putri kita? Tak dapatkah kau berpikir, Noriyoshi? Perannya dalam hidup ini adalah menjadi istri dan ibu yang baik, segala hal-hal intelektual yang kau tanamkan padanya akan membuat takut pria mana un untuk menjadi suaminya dan ia akan hidup melajang selamanya.”
Ichiyo harus berhenti sekolah . Tanpa banyak membuang waktu, Furuya segera mendaftarkan Ichiyo ke kelas menjahit, memasak, dan merangkai bunga.
Kondisi sosial saat itu juga memengaruhi Furuya dimana masyarakat didominasi oleh laki-laki dan mimpi-mimpi perempuan dengan mudahnya akan luluh lantak. Atas dasar kasih sayang, Furuya tidak ingin melihat Ichiyo bercita-cita terlalu tinggi dan menelan sendiri kekecewaan di akhirnya.
“Apa yang kau coba lakukan, Noriyoshi? Kita hidup di Jepang dan kau tahu posisi seorang wanita di sini, kan?”
ADVERTISEMENT
Apa yang dirasakan Furuya mungkin 11 12 dirasakan pula oleh sebagian ibu-ibu kita hari ini. Anaknya lulusan S2, dari universitas ternama, sudah bekerja, ditambah dengan capaian agamanya, beh gak bahaya ta?
Katanya, ikhtiar semampu dan sebatas sebagai manusia, sisanya serahkan sepenuhnya kepada Allah.
Iya tahu. Teori ini tuh udah aku lakuin. Aku nitip CV ke guru ngaji, minta tolong cariin rekomendasi laki-laki temennya guru ngaji, keluarga, bahkan aplikasi taaruf pun udah aku upayakan. Tapi, kalau Allah belum kasih, akunya bisa apa?
Sembari menunggu jodoh itu datang, apa iya dengan berdiam diri saja? Tentu tidak. Justru ini waktu untuk meningkatkan value diri, bukan malah sebaliknya.
Karena sesuatu itu ditunda karena Allah ingin beri yang lebih baik. Gitu kata quote ala-ala IG.
ADVERTISEMENT
Kembali ke Ichiyo, apakah ia lanjut belajar. Iya. Singkat cerita ia berhasil menjadi penulis terkenal, bukunya best seller, diundang kemana-mana, banyak muridnya, berubah statusnya, dan membaik pula kondisi ekonominya. Lalu, bagaimana kisah asmaranya?
Nah itu, belum sampai ia menikah dengan pujaan hatinya, ia meninggal di usia 24 tahun.
Duh, makin ketar-ketir ga tuh…