Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menjadi Dewasa dan Proses Menyelesaikan Permasalahan
13 Februari 2023 21:41 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nadifa Salsabila Nizar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Orang dewasa tampaknya selalu bisa membereskan persoalan apa pun,” pikir Elizabeth, salah satu tokoh dalam buku “Sekali Lagi si Paling Badung” karangan Enid Blyton—saat orang-orang dewasa di sekelilingnya membantunya menyelesaikan masalah di sekolah.
ADVERTISEMENT
Dalam novel, semua bisa saja terjadi. Tokoh dewasa bisa dibuat sangat bijaksana dan selalu bisa membereskan semua masalah. Tapi, kali ini bukan soal novel ataupun karya fiksi lainnya.
Menjadi Dewasa
Dewasa. Mereka yang telah melewati masa transisi dari kehidupan remaja yang masih suka hura-hura menuju masa yang penuh huru-hara. Jika diukur dengan hitung-hitungan usia, dewasa adalah mereka yang berada di rentang 18-40 tahun.
Mereka yang menyudahi masa pertumbuhannya dan mengharuskan diri berbaur dengan manusia lainnya. Ya, mau tidak mau.
Masa dewasa menjadi waktu yang paling lama dalam fase kehidupan manusia. Sepanjang waktu itu, orang-orang dewasa ini bertanggung jawab penuh atas hidupnya. Ke-aku-annya beradu dengan realita. Tidak lagi sepenuhnya atas dasar orang tua. Garis dan rencana hidupnya sepaket dengan konsekuensi yang akan ia terima.
ADVERTISEMENT
Aku akui, menjadi dewasa itu berat. Ini aku rasakan saat aku masuk SMA. Aku sudah dibenturkan pada kenyataan yang tidak sesuai keinginan. Saat kuliah juga demikian. Aku dihadapkan pada pilihan yang membutuhkan keberanian.
Tidak habis pikir aku dibuatnya, ternyata aku pernah seberani itu. Lulus kuliah apa lagi. Ada rangkaian mimpi, cerita, alur yang telah aku rancang tetapi aku harus tunduk pada kenyataan. Berusaha menjaga prasangka dan mencari hikmah apa di baliknya.
Mungkin ada benarnya artikel yang pernah aku baca bahwa masa dewasa dikatakan sebagai masa yang sulit. Mereka harus menghadapi babak baru dan menyesuaikan diri dengan peran barunya. Kesiapan diri, merasa asing, membangun komitmen, dan manajemen emosi. Wajar bila kaget. Lumrah bila khawatir. Biasa bila takut.
ADVERTISEMENT
Dewasa dan Proses Penyelesaian Masalah
Hidup dan tumbuh dalam tubuh orang dewasa, menjadikan kita—sekali lagi, mau tidak mau—memandang suatu hal, suatu permasalahan dari kacamata orang dewasa pula. Cara menyelesaikannya juga tidak bisa disamakan saat kita masih anak-anak atau remaja.
Tidak bisa jika hanya diam saja. Tidak bisa jika harus dipaksa orang lain mengerti isi kepalanya. Dengan lamanya waktu yang dihabiskan dan banyaknya pengalaman yang didapatkan, seyogyanya menjadikan orang dewasa benar-benar dewasa. Menjadi bijaksana. Tidak harus sempurna. Aku tahu.
Tapi kadang orang dewasa saat dihadapkan oleh persoalan, justru memunculkan persoalan lain. Ingin masalahnya selesai, tapi selalu menghindar saat diajak duduk bersama. Saat ada masalah dengan orang lain, dibiarkannya orang tersebut berputar-putar dengan rasa bersalahnya tanpa ada komunikasi.
ADVERTISEMENT
Membiarkannya berlarut-larut sampai lawannya mengerti dengan sendirinya. Tolong, orang itu bukan rice cooker yang bisa nyeklek sendiri dan membuat nasi menjadi matang.
Waktu terus berjalan tapi jika dibiarkan, waktu tetap saja tak mampu menyelesaikan. Meminta saran dan jalan keluar tapi katanya tak adil dan merasa dirugikan. Ingin dipahami tetapi malah menutup diri. Diminta memilih tetapi justru membuat pilihan sendiri.
Giliran disuruh membuat keputusan, tidak dipikirkan ada banyak yang harus dikorbankan. Diajak ngobrol lagi, dibilang sudah hambar dan basi. Diminta bertemu, alasannya tak ada waktu. Membingungkan. Benar-benar membingungkan. Kalau begini, siapa yang sebenarnya menghambat dan merintangi.
Jika dilihat dari ciri-cirinya—tidakkah kita curiga—jangan-jangan orang dewasa itu adalah kita?