Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Orang Tua yang Gelisah ketika Anak Perempuannya Tak Kunjung Menikah
30 Januari 2023 21:50 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nadifa Salsabila Nizar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir Agustus nanti usiaku genap 27 tahun. Usia perempuan yang bagi sebagian orang dianggap telat jika belum menikah . Bahkan, termasuk oleh orang tuaku sendiri.
ADVERTISEMENT
Berulang kali mereka mengenalkan aku dengan anak teman mereka, temannya teman anak mereka, kenalannya saudara, dan yang lain-lainnya. Berulang kali pula mereka melontarkan pertanyaan penuh makna. Ditambah dengan aku sudah yang bekerja, pertanyaannya kian beragam.
“Gimana, udah ada belum?” tanya orang tuaku. “Masa di tempat kerja ngga ada satu yang nyantol?” lanjutnya.
Hal ini sering kali sampai mereka bingung yang seperti apa yang sebenarnya aku cari. Ditanya seperti itu, aku justru makin bingung memikirkan jawaban juga bingung dengan diriku sendiri.
Apakah aku terlalu pemilih? Hmm... gimana ya, pernikahan itu perjalanan panjang. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan orang yang tepat. Dan, sebenarnya aku tidak menyengaja menunda menikah. Memang belum ada yang cocok saja.
ADVERTISEMENT
Aku juga tidak takut dengan pernikahan. Tidak pula punya luka pengasuhan yang membuatku makin takut. Aku baik-baik saja. Sungguh!
Aku paham dan bisa merasakan bagaimana resah, gelisah, khawatir, bahkan takutnya Abi dan Mama—sebutanku untuk Bapak dan Ibu—sebagai orang tua ketika anak perempuan sulungnya ini tak kunjung menikah. Mereka mendesakku dengan berbagai pertanyaan di atas, mungkin saja karena mereka juga didesak oleh pertanyaan-pertanyaan orang lain. Ada beban psikologis yang mereka rasakan.
“Gimana, Mbak, anaknya udah nikah belum?” tanya tetangga kepada Mama suatu ketika. “Umur anaknya sekarang berapa to, Pak?” tanya tetangga lain kepada Abi di lain kesempatan.
Pertanyaan itu menumpuk dan akhirnya tumpah. Kalau bukan ke aku, ke siapa? Nggak mungkin dong ditanyakan ke adikku yang masih kelas 2 SMP.
ADVERTISEMENT
Mama dulu menikah ketika masih kuliah semester 5, sekitar umur 22 tahun. Jarak usia Abi dan Mama lima tahun. Jadi Abi menikah di usia sekitar 27 tahun. Pantas saja mereka gelisah. Aku memakluminya. Aku tidak mau marah atau merasa kesal dengan mereka. Buat apa? Nanti jodohku malah tambah jauh karena berani ke mereka.
Melihat Abi dan Mama gelisah, aku pun pernah jadi ikut-ikutan gelisah. Teori-teori bahwa good things take time, nggak apa-apa sedikit lebih lama, yang penting dapat yang tepat, samar-samar memudar. Apa iya, aku benar-benar terlambat? Apa iya tidak ada yang mau mendekat?
“Abi dan Mama tidak perlu gelisah dan khawatir yang berlebih. Anak perempuanmu ini tidak diam-diam saja. Terlihatnya saja diam-diam padahal diam-diam anakmu juga berusaha. Hanya anakmu ini tidak cukup punya keberanian untuk bercerita. Jadi, Abi dan Mama tenang saja. Bantu aku dengan doa.”
ADVERTISEMENT
Ingin sekali aku bilang ke mereka seperti itu. Dan, benar saja. Pola kegelisahan yang dialami Abi dan Mama hampir sama dengan kegelisahan mereka saat aku tak kunjung lulus S2. "Hanya" lebih empat bulan dari normal kelulusan dua tahun, Abi dan Mama terus saja menanyaiku. Tapi ada satu waktu di mana aku terenyak dan benar-benar memahami apa yang ada di pikiran mereka.
“Gimana masih belum ada pengumuman?” tanya Abi. Waktu itu saya sedang menunggu artikel yang harus diunggah di Jurnal Internasional sebagai syarat utama ujian akhir.
“Belum,” jawabku dengan amat singkat.
“Maksudnya, kalau belum, doa Abi biar lebih dikencengin lagi,” timpal Abi dengan lembut. Mungkin abi juga bisa merasakan ketidaknyamananku jika ditanya demikian.
ADVERTISEMENT
Deg! Aku tidak menyangka. Sungguh! Aku kira Abi bertanya untuk mendesakku. Ternyata tidak. Dan bisa jadi, kegelisahan Abi dan Mama yang berwujud pertanyaan-pertanyaan akan pernikahan tadi adalah sebuah konfirmasi, bagaimana agar doa-doa mereka terakselerasi. Di tengah gelisah yang menggelayuti, doa mereka mengetuk pintu langit bertubi-tubi.