Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tidak Ada Dusta pada Sarapan Pagi, Makan Siang, dan Makan Malam
9 Oktober 2023 10:47 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nadifa Salsabila Nizar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Biasanya, setiap ada tanggal merah hari besar nasional, aku akan mengusahakan untuk pulang ke rumah. Kalaupun tidak ada tanggal merah, aku akan sengaja membuatnya merah alias ambil cuti. Kali ini cukup lama aku tidak pulang. Kereta malam yang selalu mengantarkanku pulang, mungkin sedang mencari-cari apakah ada aku di antara penumpang yang masuk ke dalam “perutnya”.
ADVERTISEMENT
Stasiun tujuan yang nampak tak pernah sepi meski dini hari, sepertinya sedang menunggu perempuan yang turun dari kereta dan bergegas menuju pintu keluar sambil menarik koper merah di tangan kirinya. Ada laki-laki yang hampir separuh rambutnya tertutupi uban, menaruh harap bisa menjemput putrinya yang baru balik dari perantauan.
Putri hasil “rakitannya” yang tahan akan beban berat di pundaknya. Tak lupa, wanita berjaket yang tak tahan dinginnya malam, menunggu di kursi depan, samping setir. Melihat dari kejauhan interaksi antara laki-laki yang dinikahinya dengan perempuan yang menjadikan laki-lakinya tersebut sebagai cinta pertamanya.
Malam semakin larut. Tidak ada perbincangan panjang. Aku hanya ingin tidur. Jawaban-jawaban atas pertanyaan esok hari sudah aku siapkan. Aman.
ADVERTISEMENT
Saat sarapan, sesekali ada obrolan kecil di atas meja. Di antara suara sendok dan piring yang saling beradu. Lagi-lagi, aku sudah bersiap akan kemungkinan-kemungkinan wawancara dadakan dengan pertanyaan yang sudah aku hafal. Bagaimana pekerjaanku dan bagaimana kisah asmaraku. Seperti murid yang mendapati soal ujian dan dia sudah tau jawabannya. Gampang. Aku jawab dengan jawaban yang sama pula. Pekerjaanku menyenangkan dan kisah asmaraku belum ada pergerakan.
Mereka hanya tertawa kecil. Antara menertawakan jawabanku yang begitu-begitu saja atau mereka menginginkan jawaban lain. Jawaban yang membuat kekhawatiran mereka sedikit sirna. Aku cukup tenang karena meski mereka kini hanya berdua di rumah, ada kesibukan yang dilakukan. Meski hal tersebut tidak akan membuat mereka lupa akan pertanyaan yang belum bisa aku jawab. Kapan aku menikah. Kalau sudah begini, aku lebih banyak diam. Mereka juga diam. Jadi, kita sama-sama diam.
ADVERTISEMENT
Aku sedang tidak berusaha menyenangkan mereka dengan jawaban-jawaban manis, seperti sedang dekat dengan siapa atau ada pria yang sedang aku suka. Aku tidak ingin menimbun dusta. Aku juga tidak mencoba membuka variasi jawaban. Apakah laki-laki itu satu tempat pekerjaan denganku atau sudah lama kah kami mengenal.
Aku sayang dengan mereka. Aku tidak ingin mereka cemas dan merasa kesepian. Tapi, jawaban yang hanya memuaskan harapan hanya bertahan sepekan.
Jika di pertemuan selanjutnya pertanyaan itu muncul kembali dan aku belum bisa memberikan jawaban yang sebenarnya, maka jawaban aku akan tetap sama. Entah pada sarapan pagi, makan siang, atau makan malam.
*Tulisan ini sedikit banyak terinspirasi dari cerpen yang berjudul Sarapan Pagi Penuh Dusta yang ditulis oleh Puthut EA dalam buku kumcernya yang berjudul sama, Sarapan Pagi Penuh Dusta. Maka, saya ingin menuliskan kembali yang sudah terinternalisasi dalam diri. Jika tokoh Aku digambarkan ‘penuh dusta’, maka saya adalah kebalikannya.*
ADVERTISEMENT