Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
RUU KUHP: Pemerintah Antikritik dan Ancaman Kebebasan Pers
30 Mei 2018 21:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Nadila E R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP), Arsul Sani, mengatakan wartawan harus berhati-hati dengan pasal penghinaan hakim .
ADVERTISEMENT
Pasal tersebut bisa saja diterjemahkan bahwa siapa pun termasuk media dapat dilaporkan karena beritanya yang dianggap menghina pengadilan dan berkomentar terhadap proses pengadilan.
Pasal penghinaan terhadap hakim dimuat di pasal 329 huruf (d) yang berbunyi: Mempublikasikan atau memperbolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Hal itu bisa diartikan, bila seseorang menyebarkan informasi kepada khalayak luas, dan informasi tersebut menganggu jalannya persidangan, maka orang tersebut akan dipidana.
Menyebarkan informasi adalah tugas seorang wartawan. Namun sangat janggal bila pasal tersebut disasarkan kepada wartawan, kesannya seperti mengkriminalisasi jurnalis.
Bagaimana jadinya kalau wartawan tidak bebas menyebarkan informasi dari dalam persidangan. Pastinya semua informasi dan berita tentang hukum akan menjadi cacat.
ADVERTISEMENT
Apakah mungkin nantinya kebebasan pers akan dikekang seperti masa orde baru?
Ditambah dalam RUU KUHP pasal 263 yang menyebutkan bahwa seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana penjara paling lama lima tahun.
'Penghinaan' dari RUU KUHP pasal 263 tidak jelas maksud dan konteksnya, apakah penghinaan yang dilaporkan oleh presiden atau segala jenis penghinaan--tentunya termasuk kritik yang merugikan presiden?
Bayangkan bila presiden melakukan kesalahan, lalu rakyat membuat tulisan untuk mengkritiknya, jangan sampai besoknya dia hilang dari bumi. Begitu pula dengan wartawan, bila ada yang janggal, lalu presiden jadi antikritik.
Berkaca ke masa orde baru, banyak media yang dibredel karena mengkritik pemerintah. Pers dalam masa orde baru seakan-akan kehilangan jati dirinya.
ADVERTISEMENT
Padahal saat awal masa kepemimpinan Soeharto, pemerintah telah menjanjikan kebebasan pers. Namun kenyataannya, pers tetap dibelenggu dan juga dikekang oleh penguasa pada saat itu.
Buktinya Majalah Tempo divonis mati oleh Soeharto karena mengkritik Habibie, anak emasnya. Selain Tempo, juga Majalah Editor dan Detik ikut dibredel dan dilarang terbit karena memberitakan hal yang sama.
Jauh sebelum RUU KUHP ini menjadi polemik, pada masa orde lama atau pemerintahan Soekarno, pers juga dikekang oleh pemerintah yang antikritik.
Pemerintah saat itu berusaha mengontrol pers, membuat pers menjadi jinak dan penurut. Pers juga diminta untuk membuat surat izin terbit, dan salah satu syaratnya agar mendapatkan izin adalah loyal kepada pemerintahan Soekarno.
ADVERTISEMENT
Tentu bila dibayangkan, sungguh berat menjadi wartawan pada masa-masa itu. Bila dirunut kembali, sangat banyak cerita tentang pers yang dibredel bahkan wartawannya diasingkan oleh pemerintah.
Mungkin bila dipikirkan sekarang, kesannya sangat berlebihan kalau kedua RUU KUHP tersebut bisa menyebabkan masa seperti orde lama dan baru. Namun siapa yang tahu kedepannya akan seperti apa?
Kalaupun, nantinya RUU KUHP tersebut disahkan, pasal-pasalnya jelas dan tidak "karet." Untuk siapa, untuk apa, untuk situasi apa, dijelaskan dengan gamblang.
Pers tentunya tidak akan pernah kehilangan taring. Sekeras apapun pemerintah berusaha meredamnya, sekeras itu pula pers akan melawannya.
Ditambah kini pembaca sudah mulai cerdas, mereka pun bukan hanya sekadar membaca, tapi juga seorang 'jurnalis'. Sebab siapapun kini bisa menyebarkan informasi lewat media ke khalayak luas, sama seperti pengertian jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Saya tetap optimistis, pemerintah dan DPR akan membuat undang-undang yang adil. Tidak ada yang dirugikan. Tidak ada yang merasa dianaktirikan.
Mudah-mudahan para Yang Terhormat di sana, bisa membuat RUU KUHP dengan kepala dingin dan konteksnya tidak semu. Sebab, bila ini telah disahkan, akan ada banyak hal yang berubah.