Konten dari Pengguna

Cerita Lengkap Perjalanan Bromo-Tengger-Semeru Bersama Kumparan dan 3M Post-It Indonesia

30 Agustus 2018 19:12 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadira Aliya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berjalanlah di muka bumi, temui orang yang berbeda denganmu dan ajak berbincang, pasang semua indra ketika menapaki suatu tempat, buka mata dan lihat lebih dari yang bisa dilihat mata, bangunkan telinga dan dengar suara yang tak terdengar, makanlah perlahan dan biarkan lidah mengecap rasa dengan sempurna, hirup aroma kebebasanmu, rentangkan tangan dan rasakan angin membelai tiap sel kulitmu.
ADVERTISEMENT
Perjalanan yang baik adalah perjalanan yang mengubah pandang ketika melihat sesuatu. Saya sudah amat sering melihat keindahan Bromo-Tengger-Semeru dari layar ponsel dan gambar digital lainnya di internet. Tapi sungguhlah, menjejakkan kaki langsung ke tanah Bromo, merasakan kedinginan dan tangan membeku bagai habis memegang es lalu beberapa jam kemudian temperatur naik dengan cepat sehingga mengharuskan jaket, sarung tangan, syal, dan kupluk dilepas dari badan, lalu melihat langsung kemegahan yang sungguh memenangi hati saya dan cinta untuk Indonesia, adalah pengalaman tersendiri yang tak bisa diganti dengan hanya melihat dari foto, berapa banyak pun kata yang bisa dihasilkan dari foto tersebut. A picture paints a thousand words, but a direct experience, you can't even count the words, I guess.
ADVERTISEMENT
Ini masih tentang perjalanan saya ke Malang bersama Syara (Nissa Sabyan KW Super!) sebagai hadiah dari kumparan dan 3M Post-It Indonesia atas kompetisi menulis beberapa bulan lalu. Salah satu destinasi kami adalah cantiknya hamparan gunung Bromo-Tengger-Semeru.
Pukul 00.00-03.00 (Perjalanan Batu-Bromo)
Kami memulai perjalanan tepat pada tengah malam, sebab kami tak langsung menginap di Bromo. Dari penginapan kami, Hotel Seulawah yang terletak di Batu, perlu perjalanan dengan mobil sekitar 2 jam untuk mencapai kaki gunung Bromo, tempat persinggahan sementara sebelum mendaki untuk mendapatkan momen matahari terbit. Perjalanan Batu-Bromo kami tempuh selama kurang lebih 2,5 jam. Saya tidak begitu memperhatikan medan perjalanan, sebab tertidur pulas sekali, tapi kata Syara, jalan yang kami tempuh medannya cukup ekstrim, menanjak bukit dan menukik tajam di setiap belokannya (iya, kalau sudah tidur, saya separah itu tidak bisa peka terhadap goncangannya).
ADVERTISEMENT
Sesampainya di persinggahan, hal pertama yang saya cermati ketika keluar dari Xenia Pak Pur adalah jutaan bintang di langit! Untuk saya yang sehari-hari berkawan dengan polusi kota, lampu, dan cahaya buatan, tentu ini adalah sebuah kemewahan tersendiri. Nyatanya, saya terus-menerus mendongakkan kepala dan curi-curi keluar tempat persinggahan untuk lagi-lagi menatap bintang. Melawan dingin yang terus-terusan merambati hingga tulang ikut-ikutan menggigil.
Tempat persinggahan kami sebetulnya sederhana saja, yakni rumah warga yang terdiri dari 3 tingkat. Di dalamnya, ada beberapa para calon pendaki yang menginap dari hari sebelumnya. Kita juga bisa menyewa jaket parasut hangat anti kedinginan di puncak saat menunggu matahari terbit. Oh ya, waktu itu saya yang sudah memakai lapisan baju 3 lapis dengan bahan tebal pun masih merasa perlu untuk menyewa jaket dan membeli sarung tangan. Untungnya kaus kaki sudah saya kenakan dari hotel, lengkap dengan sepatu yang biasa saya pakai untuk berlari.
ADVERTISEMENT
Kedinginan, saya dan Syara mencoba menghangatkan diri dengan teh hangat yang disediakan di persinggahan. Penting untuk menjaga temperatur tubuh tetap hangat sebelum mendaki.
Pukul 03.00-07.00 (Perjalanan Mengejar Matahari Terbit)
Dari tempat persinggahan, kami berganti alat transportasi, kini sebuah jeep yang kokoh menjadi andalan kami untuk lebih menanjak ke atas. Memasuki jeep, udara langsung terasa lebih hangat dibandingkan di luar ruangan. Biasanya, jeep diisi dengan empat orang di belakang. Namun beruntungnya kami karena Kumparan dan 3M Post-It kembali berhasil membuat kami merasa seperti berada dalam private tour, kami hanya berdua di belakang, bersama Pak Pur dan Mas Wicak sang driver jeep di depan. Lega dan nyaman!
Jeep beranjak dari tempat persinggahan dengan tersendat. Rupanya, saat itu kami datang di waktu turis sedang ramai-ramainya mengunjungi Bromo. Jelas, sebab ada momen 17 Agustus yang biasanya dimanfaatkan orang untuk menunjukkan kecintaan pada negeri. Naik gunung selalu berhasil jadi salah satu caranya. Dan ya, macet tidak hanya ada di kota-kota besar. Jeep di belantara Bromo juga bisa kena macet, apalagi jalan yang kami lalui amat sempit. Walau sudah diaspal dengan baik, namun menurut saya sendiri ini masih menjadi tantangan agar lebih banyak turis yang datang mengunjungi berbagai tempat di Indonesia. Pariwisata kita kaya, sayangnya akses menuju tempat berbagai area wisata masih banyak yang tidak ramah turis.
ADVERTISEMENT
Keluar dari jeep, indra penciuman saya langsung sensitif bekerja. Bau knalpot dimana-mana. Lalu disusul dengan pendengaran saya yang terganggu. Selain jeep, ternyata ada puluhan ojeg yang menawarkan pengunjung yang terlalu letih untuk mendaki. Bising di telinga dan menusuk di hidung. Namun ketika semua hal di sekeliling kita serasa tak bersahabat, maka itulah waktunya melihat ke sisi lain. Mata saya kemudian kembali mengarah ke atap langit, kembali menemukan tumpahan bintang yang semakin banyak jumlahnya. Semua kekacauan di tanah Bromo tak penting lagi.
Untuk sampai di tempat pengamatan, kami melewati saung-saung yang sigap menjajakan teh, kopi, pop mie hangat, yang juga ada toilet dan mushala di dalamnya. Sebaiknya, sebelum melakukan pendakian lebih lanjut ke tempat melihat sunrise, shalat Subuhlah terlebih dahulu di saung ini, atau ambil wudhu dan bawa sajadah untuk shalat di perjalanan mendaki jika belum masuk waktu Subuh. Ada tiga lokasi pengamatan matahari terbit, kami memilih Bukit Love yang berada di tengah-tengah, sambil ditunjukkan Pak Pur tempat terbaik melihat terbitnya sang surya. Beruntung Pak Pur ikut dengan saya dan Syara, sebab jika tidak, mungkin kami sudah seperti dua anak menyasar yang tak tahu arah tujuan. Kemudian, dari Bukit Love, kami saksikan perlahan-lahan hamparan Bromo-Tengger-Semeru yang awalnya tak terlihat, perlahan demi perlahan dibasuh sinar matahari sampai begitu indah menekjubkan.
Setelah matahari agak naik, barulah kami memulai sesi foto dengan bermodalkan kamera pada telepon genggam. Tentu saja keindahan Bromo menjadi latar belakang yang begitu megah dan tak ingin kami lewatkan.
Buat saya yang paling tidak hanya main ke gunung setahun sekali, pengalaman mengejar sunrise di Bromo ini sungguh-sungguh sebuah hal yang menyenangkan! Yang lebih menarik lagi, jika ditelusuri, ternyata Bromo sendiri berasal dari kata "Brahma", sebuah kasta tertinggi dalam agama Hindu (hayoo siapa yang masih ingat dengan pelajaran sejarah di SD?). Memang setelah selesai mendaki dan pulang ke Batu, sepanjang perjalanan kami menemukan banyak sekali batu arca yang disarungi dengan kain berwarna-warni. Kata Pak Pur, memang kebanyakan penduduk di Bromo adalah penganut Hindu, yang mengharap kedamaian hidup dengan bersikap baik kepada alam sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Oh ya, jika dilihat-lihat lagi, sebetulnya gunung yang terlihat dari Bromo ada 4 gugus. Gunung terdepan yang berbentuk kerucut indah adalah Gunung Batok. Gunung Bromo sendiri adalah gunung yang berada di belakang gunung Batok sebelah kiri, dengan kawah yang menganga. Sementara gunung yang berada di sebelah kanan Bromo bernama Widodari. Pak Pur bercerita, bahwa dahulu sebetulnya Bromo dan Widodari adalah sebuah kesatuan seperti gunung Batok, namun karena terus-menerus meletus, kini tersisalah kawah-kawah yang tingginya setara dengan gunung Batok. Sementara itu, Gunung paling tinggi segitiga yang terlihat di belakang adalah Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa.
Buat saya, keindahan Indonesia seperti ini yang perlu lebih banyak dipromosikan dan didukung oleh rakyatnya sendiri. Suatu saat, saya mesti kesini lagi!
ADVERTISEMENT