Konten dari Pengguna

Literasi Digital dalam Mengatasi Ancaman Disinformasi di Indonesia

Nadwa Dwi Nurcahyo
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Konst. Jurnalistik(S1) UIN Sunan Gunung Djati Bandung
29 September 2024 13:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadwa Dwi Nurcahyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Disinformasi di Masyarakat (source : https://www.pexels.com/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Disinformasi di Masyarakat (source : https://www.pexels.com/)
ADVERTISEMENT
Dengan rendahnya literasi digital di Indonesia, masyarakat semakin mudah terpapar disinformasi yang disebarkan melalui berbagai platform media sosial. Contoh kasus hoaks seperti babi ngepet dan kebohongan tokoh publik, seperti Ratna Sarumpaet, telah menjadi bukti nyata betapa cepatnya disinformasi menyebar, hingga banyak orang yang masih mempercayainya.
ADVERTISEMENT
Menurut data dari Kominfo, hingga Mei 2023, sudah teridentifikasi 11.642 konten hoaks di Indonesia. Jumlah ini bukan angka kecil, bahkan bisa dibilang mencerminkan betapa luasnya jangkauan disinformasi. Tapi, apa yang sebenarnya membuat disinformasi begitu mudah diterima? Salah satu jawabannya adalah rendahnya tingkat literasi digital di Indonesia.

Rendahnya Literasi Digital di Indonesia

Jika kita lihat dari data literasi digital Indonesia, skornya masih terbilang rendah. Pada tahun 2022, Indonesia hanya mencapai skor 3,54 dari skala 5, naik sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya. Namun, dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam atau Malaysia yang mencapai skor rata-rata 70%, Indonesia masih tertinggal jauh dengan hanya 62%. Bahkan, jika dibandingkan dengan Korea Selatan yang mencapai 97%, kesenjangan ini terlihat semakin lebar.
ADVERTISEMENT
Seperti yang disampaikan oleh Ekonom Senior INDEF, Aviliani, “Masyarakat Indonesia baru mencapai tingkat literasi digital 62%. Rata-rata di ASEAN sudah 70%. Jadi, memang literasi digital kita masih rendah.” Angka ini memperlihatkan betapa besar tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah, masyarakat, dan semua pihak dalam meningkatkan literasi digital.
Literasi digital bukan hanya soal kemampuan mengoperasikan perangkat teknologi, melainkan juga mencakup kemampuan berpikir kritis dalam memilah informasi. Dengan rendahnya tingkat literasi digital, masyarakat cenderung lebih mudah terjebak dalam arus informasi yang tidak diverifikasi kebenarannya.

Kasus Disinformasi yang Pernah Viral

Salah satu contoh kasus disinformasi yang pernah viral adalah babi ngepet di Depok pada tahun 2021. Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa hoaks yang terdengar tidak masuk akal sekalipun bisa dipercaya oleh masyarakat luas. Hoaks ini bahkan didukung oleh "bukti" seperti pembelian babi secara online dan klaim bahwa babi tersebut mengecil setelah ditangkap. Namun, kebohongan ini akhirnya terungkap, dan penyebarnya terancam hukuman penjara.
ADVERTISEMENT
Lalu ada kasus hoaks Ratna Sarumpaet yang viral pada tahun 2018. Foto memar yang diklaim akibat penganiayaan ternyata hanya hasil operasi plastik. Namun, sebelum kebenaran terungkap, hoaks ini sudah terlanjur menyebar luas di media sosial dan memengaruhi opini publik, bahkan beberapa tokoh politik ikut terpancing. Kasus-kasus ini adalah gambaran nyata betapa bahayanya disinformasi.

Upaya Melawan Disinformasi

Dalam menghadapi maraknya hoaks, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan literasi digital masyarakat. Program Siber Kreasi, yang bekerja sama dengan 60 komunitas, telah menjadi salah satu langkah konkret pemerintah dalam mengedukasi masyarakat soal literasi digital. Program ini berfokus pada pelatihan, penyebaran informasi, dan penegakan hukum terkait penyebaran disinformasi.
Selain itu, masyarakat juga bisa memanfaatkan berbagai tools untuk melawan hoaks. Salah satunya adalah aplikasi Hoax Buster Tools (HBT) yang dikembangkan oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Aplikasi ini membantu pengguna untuk memverifikasi kebenaran sebuah informasi. Kehadiran alat seperti ini sangat penting di era digital, di mana arus informasi berjalan begitu cepat dan mudah menimbulkan misinformasi.
ADVERTISEMENT

Upaya Peningkatan Literasi Digital di Tanah Air

Di masa depan, meningkatkan literasi digital harus menjadi prioritas utama. Literasi digital bukan hanya tentang menghindari hoaks, tapi juga tentang bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi untuk hal-hal yang lebih produktif dan positif. Menurut Devri Suherdi dalam bukunya Peran Literasi Digital di Masa Pandemik (2021), literasi digital bukan hanya pengetahuan, tapi juga kecakapan dalam menggunakan teknologi untuk menciptakan interaksi yang positif.
Selain pemerintah dan komunitas, peran individu juga sangat penting. Kita harus lebih kritis dalam menyaring informasi, belajar untuk memverifikasi berita sebelum mempercayai atau menyebarkannya. Semakin tinggi tingkat literasi digital kita, semakin kecil pula peluang disinformasi untuk meracuni pikiran masyarakat.