Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mas Bechi, Dahlan Iskan, dan Sebutan Sufi
15 Juli 2022 11:14 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Gigih Imanadi Darma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya merasa geli setelah bolak-balik membaca salah satu tulisan Pak Dahlan Iskan yang dimuat di media miliknya sendiri, DI's Way. Dalam tulisan yang diberi judul 'Mas Bechi', Pak Dahlan mengomentari kasus yang sedang ramai.
ADVERTISEMENT
Semoga saja saya tidak salah paham dan rasanya memang tidak. Mas Bechi yang dimaksud adalah pria berusia 41 tahun bernama asli Mochammad Subchi Azal Tsani, putra dari seorang tokoh agama terkenal yakni Kiai Muchtar Muthi, pemilik Pondok Pesantren Majma'al Bahroin Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, Jawa Tengah.
Simaklah baik-baik apa yang ditulis Dahlan Iskan yang menjadi puncak kegelian saya.
Kalau Anda melihat wajah Mas Bechi, saya jamin Anda berani mendebat keterangan eks Menteri BUMN yang juga pernah menjabat Dirut PLN itu, tapi ini bukan soal gelap dan terang apalagi good looking. Ini soal yang tidak sepele, Mas Bechi yang disebut Sufi itu adalah pelaku kekerasan seksual terhadap puluhan santriwati.
Dan menurut Dahlan yang juga merupakan mantan Wartawan dan pemilik surat kabar besar itu, kasus tersebut kemungkinan besar adalah konflik keluarga. Fitnah. Penjelasannya panjang. Sebaiknya Anda cari sendiri akses informasi mengenai tetek bengek tersebut. Tapi yang jelas, membaca tulisan Dahlan Iskan itu selain 'geli', juga membuat saya jadi berkerut dahi.
ADVERTISEMENT
Sejak kapan ada Sufi garis nasab? Sufi yang mengoleksi mobil mewah? Sufi yang mencabuli banyak perempuan polos tak berdosa? Astaga, Pak Dahlan.
Pendapat Pak Dahlan jelas bagi saya keliru. Demi kesehatan jiwanya, mari kita anggap saja hal itu tak lebih dari pendapat khilaf.
Menilik Pengertian Sufi
Untuk bahan humor boleh-boleh sajalah. Tapi kalau dengan serius ada yang menyebut seseorang Sufi maka harus dicegah, kalau sudah telanjur cepat-cepat harus dikoreksi. Sebab tidak elok serta-merta menyematkan kata Sufi pada seseorang.
Sufi bukanlah kata murahan yang bisa diobral. Ia bukan gelar yang di dapat dari pendidikan formal. Apalagi honoris causa. Sufi honoris causa yang benar saja. Jadi, apa dan siapakah sebenarnya Sufi itu? Marilah kita tilik dengan logika-logika sederhana dari pengertian Sufi yang paling umum.
ADVERTISEMENT
Sufi adalah ia yang meniti jalan (Suluk) bernama Tasawuf. Sebuah disiplin ilmu tentang penyucian jiwa. Dan yang mengajari seorang Salik alias murid disebut Mursyid. Seorang guru adiluhung.
Dengan kata lain, Sufi adalah ia yang menaiki anak tangga spritual yang tinggi, panjang, dan berliku. Sufi adalah ia yang sangat dekat dan bermesraan dengan Tuhan.
Jalan yang harus dilalui itu ada empat tahap, sebuah tingkatan spiritual: Syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Itulah Tasawuf. Empat kata kunci itu harus sempurna di lalui seseorang hingga layak disebut Sufi.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani punya analogi yang bagus untuk menjelaskan keempat hal tersebut. Syariat itu pohon, tarekat itu rantingnya, makrifat itu daun-daunnya, hakikat adalah buahnya. Al-Qur'an menghimpun semua nan isyarat, baik lewat tafsir ataupun juga takwil.
ADVERTISEMENT
Untuk lebih mudah dimengerti, kita bisa menerapkan penjelasan lewat penjelasan. Hal di atas berkaitan dengan pendapat Imam al-Ghazali dalam Kitab Ayyuhal Walad, bahwa ilmu Tasawuf memiliki dua pilar penting, yaitu istiqamah menjalin hubungan dengan Allah dan harmonis menjalin hubungan dengan makhluk-Nya. Habluminallah dan habluminannas.
Pertanyaannya, bisakah seseorang disebut Sufi sementara ia melakukan tindakan senonoh yang mempertunjukkan tingkatan nafsu hewaninya yang keji. Mas Bechi begitu tega dengan perempuan.
Akalnya lari entah ke mana dan perbuatannya membawa trauma besar yang berkepanjangan dan mungkin harus ditanggung seumur hidup oleh para penyintas.
Mas Bechi Mencoreng Nama Baik Pesantren
Tidak bisa kita sangsikan bahwa selama ini pesantren menjadi angin sejuk di tengah gerah umat soal pendidikan agama. Kalimat barusan terdengar seperti bunga yang mekar.
ADVERTISEMENT
Tapi menjadi layu, patah terkulai, dan bahkan busuk seketika apa lagi kalau bukan ulah satu-dua oknum. Mas Bechi turut berdosa besar mencoreng nama baik pesantren lewat modus operandi murahan dan menjijikan.
Perbuatan orang-orang seperti Mas Bechi sungguh menyesakkan dada, pondok pesantren, ruang yang kita kira paling aman ternyata telah ditempeli oleh parasit. Orang-orang yang kita lihat fasih bicara soal agama malah bertindak ekstra munafik.
Kalau sudah begini, apa yang mesti kita perbuat? Siapa yang harus membereskannya?
Tak lama setelah kasus ini mencuat, sekalipun didasarkan logika viral, langkah yang diambil Kementerian Agama dalam menutup izin operasional pondok pesantren Shiddiqiyyah tetap saya beri kredit khusus, tapi penilaian saya berubah jadi minus ketika secara kilat penutupan izin itu dibatalkan. Semoga ada tinjauan ulang mengenai ini.
ADVERTISEMENT
Sungguh ironi. Kegiatan pondok pesantren Shiddiqiyyah tetap berjalan sebagaimana biasa. Mas Bechi memang kini dibalik jeruji besi, tapi yang tak terpikirkan mungkin saja ada Mas Bechi lainnya yang bisa mengendap-endap atau bahkan berkeliaran bebas di dalam pondok pesantren. Hanya bersalin rupa.
Tuhan, jauhkanlah kami dari Sufi 'jadi-jadian'.