Konten dari Pengguna

Kebiasaan Disuruh-Suruh Malah Membuat Kita Malas? Simak Alasan Psikologisnya!

Naila Safrina
Undergraduate Psychology Student at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14 Desember 2024 12:19 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naila Safrina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu berpikir mengapa kita cenderung malas saat kebiasaan disuruh-suruh? Misalnya, kamu sudah berdiri di depan wastafel untuk mencuci piring, lalu tiba-tiba ibumu datang dan menyuruhmu melakukannya. Seketika muncul rasa malas, seolah apa yang ingin kamu lakukan berubah menjadi beban hanya karena perintah tersebut. Padahal, apa yang diminta bukanlah hal buruk. Namun, kenapa ya, kita malah semakin enggan melakukannya?
ADVERTISEMENT
Ternyata, fenomena ini dikenal sebagai psychological reactance atau psikologi reaktansi, sebuah reaksi psikologis ketika seseorang merasa kebebasannya dibatasi atau dikendalikan oleh orang lain. Yuk, kita bahas lebih dalam untuk memahami mengapa kita sering merasakannya!

Apa yang Sebenarnya Terjadi Saat Kita Kebiasaan Disuruh?

Setiap manusia pasti ingin merasa bebas dalam bertindak. Ketika kebebasan itu dibatasi, seperti saat kamu disuruh melakukan sesuatu yang sudah kamu rencanakan, muncul keinginan untuk memberontak. Misalnya, kamu sedang asyik bermain game, lalu ada yang memintamu untuk berhenti. Walaupun itu permintaan biasa, tiba-tiba kamu merasa ingin terus bermain. Nah, inilah yang disebut psychological reactance atau reaktansi psikologis. Fenomena ini pertama kali dijelaskan oleh Jack W. Brehm pada tahun 1966. Dalam teorinya, Brehm menjelaskan bahwa reaktansi psikologis adalah reaksi emosional yang muncul ketika seseorang merasa kebebasannya terancam atau dihilangkan.
ADVERTISEMENT
Brehm (1966) menjelaskan teori reaktansi dengan beberapa prinsip, seperti contoh di awal tadi, ketika kamu sudah berdiri di depan wastafel dan sudah berniat mencuci piring tetapi ibumu malah menyuruhmu mencuci piring sehingga membuatmu malas, ini menggambarkan prinsip pertama reaktansi: semakin penting suatu kebebasan bagi seseorang, semakin besar rasa tidak terimanya saat kebebasan itu terancam. Apalagi kalau kamu tidak punya pilihan untuk aktivitas lain setelahnya, atau malah dipaksa mengerjakan hal-hal lain tanpa kompromi. Rasa frustrasi pasti bertambah besar.
Menariknya, reaktansi juga bisa muncul dari hal yang dialami orang lain. Misalnya, kamu melihat temanmu disuruh-suruh dengan cara yang sama, tanpa menghargai waktu atau pilihannya. Reaktansimu ikut meningkat karena ancaman terhadap kebebasan itu terasa lebih nyata dan meluas. Inilah alasan kenapa kita sering merasa ingin “melawan” saat kebebasan kita, sekecil apa pun, diambil alih oleh orang lain.
ADVERTISEMENT

Apakah Psychological Reactance Adalah Hal yang Baik atau Justru Hal yang Buruk?

Tahukah kamu? Perasaan "nggak mau diatur" atau reaktansi psikologis sebenarnya nggak selalu buruk, lho! Kadang, ini justru jadi mekanisme alami untuk melindungi kebebasan kita. Misalnya, kalau kamu punya prinsip hidup yang kuat, reaktansi bisa membantu kamu tetap teguh meskipun ada tekanan dari luar. Sama halnya dengan rutinitas harian. Ketika ada yang mengganggu jadwal yang sudah kamu atur rapi, reaktansi muncul sebagai tanda bahwa kebebasanmu harus dihargai.
Tapi, reaktansi juga punya sisi gelapnya. Contohnya, dalam kampanye kesehatan, masih banyak yang merespons dengan sinis. Misalnya, "Ini hidup gue, gue yang sakit, kenapa lo yang repot?" atau saat dilarang merokok, mereka bilang, "Mau ngerokok atau nggak, ujung-ujungnya tetap mati." Padahal, kebiasaan buruk seperti itu nggak cuma merugikan diri sendiri, tapi juga orang lain di sekitar. Perlawanan ini muncul karena mereka merasa kebebasannya diancam, jadi bukannya berubah, mereka malah makin menolak.
ADVERTISEMENT
Di dunia politik, reaktansi juga bikin runyam. Ketika seseorang merasa kebebasan berpikirnya ditekan, mereka cenderung mempercayai dan menyebarkan berita yang sesuai dengan pandangan mereka, walaupun belum tentu benar. Akibatnya akan banyak terjadi misinformasi atau hoax.
Jadi, meskipun reaktansi itu wajar, penting banget untuk mengendalikannya. Kalau diarahkan dengan baik, ini bisa membantu kita bertahan pada hal-hal yang penting. Tapi kalau dibiarkan, bisa jadi bumerang yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Bagaimana Cara Menghindarinya?

Tentu, reaksi negatif dari fenomena ini bisa merugikan banyak pihak. Namun, tahukah kamu bahwa ada cara untuk mengurangi atau menghindarinya? Berikut kita bahas!

1. Memberikan Pilihan

Memberikan kebebasan memilih cara dan waktu menyelesaikan tugas dapat meningkatkan antusiasme dan keterlibatan karena ketika keputusan berasal dari diri sendiri, rasa minat dan keterlibatan akan meningkat. Sebaliknya, aturan yang terlalu ketat bisa menurunkan minat (Zuckerman, Porac, Lathin, Smith & Deci, 1978).
ADVERTISEMENT

2. Menggunakan Bahasa yang Benar

Miller dkk. (2007) menyebutkan bahwa kata-kata seperti "Anda harus melakukan ini" cenderung memicu reaktansi karena terdengar seperti ancaman kebebasan. Menggunakan bahasa yang lebih fleksibel, seperti "Pilihan ada di tangan Anda," dapat mengurangi rasa terancam dan meningkatkan kenyamanan (Shen, 2014).

3. Melihat Situasi dari Perspektif Orang Lain

Membayangkan situasi dari sudut pandang orang lain dapat membantu memahami alasan di balik pembatasan, sehingga rasa perlawanan berkurang (Steindl & Jonas, 2012). Contohnya ketika ibumu menyuruhmu untuk mencuci piring saat itu juga padahal kamu sudah berdiri di depan wastafel dan kamu malah semakin enggan untuk melakukannya, kamu bisa ubah pandanganmu dengan berpikir bahwa ibumu tidak tahu kalau saat itu kamu ingin mencuci piring dan ibumu memintamu mencuci piring agar pekerjaannya selesai dengan cepat.
ADVERTISEMENT

4. Negosiasikan Waktu atau Cara Pelaksanaan

Jika kamu merasa reaktansi muncul karena timing atau cara yang dipaksa, diskusikan dengan orang yang meminta. Sampaikan bahwa kamu lebih nyaman melakukannya dengan cara atau waktu yang sesuai untukmu, tanpa menolak tugas tersebut sepenuhnya.

5. Latih Kemandirian Keputusan

Agar tidak terlalu terpengaruh oleh rasa "terpaksa," biasakan membuat keputusan sendiri lebih awal. Misalnya, jika kamu tahu akan ada tugas tertentu, lakukan sebelum diminta, sehingga perasaan "disuruh-suruh" bisa dihindari.

Kesimpulan

Reaktansi psikologis, alias rasa "nggak mau diatur," adalah reaksi alami yang muncul saat kebebasan kita terasa direnggut. Tapi, siapa sangka? Meski bikin malas, reaktansi ini sebenarnya punya sisi positif! Kalau dikelola dengan baik, ini bisa membantu kita tetap setia pada prinsip dan rutinitas kita. Sebaliknya, kalau dibiarkan, reaktansi malah bisa bikin kita keras kepala, menolak aturan yang baik, bahkan terjebak dalam misinformasi. Kuncinya? Pahami reaktansi, ubah cara komunikasi, dan cari jalan tengah. Dengan begitu, kebebasan tetap dihargai, tapi tujuan bersama juga tercapai. Menarik, bukan?
ADVERTISEMENT

Referensi

Brehm, J. W. (1966). A theory of psychological reactance.
Garg, D. (n.d.). Reactance theory: The dynamics of psychological reactance in society. The Decision Lab. Retrieved from https://thedecisionlab.com/reference-guide/psychology/reactance-theory
Cherry, K. (2020). Cognitive Dissonance and Ways to Resolve It. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-cognitive-dissonance-2795012
Huda, R. A. A., & Rahmawati, I. (2023). The Dynamics of Psychological Reactance in Society Towards Physical Distancing Policy. Journal of Health and Behavioral Science, 5(3), 297 - 312. https://doi.org/10.35508/jhbs.v5i3.13638
Shen, L. (2010). Mitigating psychological reactance: The role of message-induced empathy in persuasion. Human Communication Research, 36(3), 397–422. https://doi.org/10.1111/j.1468-2958.2010.01381.x
Steindl, C., & Jonas, E. (2012). What reasons might the other one have?—Perspective taking to reduce psychological reactance in individualists and collectivists. Psychology, 3(12A), 1153–1160. https://doi.org/10.4236/psych.2012.312A170
ADVERTISEMENT
Iyengar, S. S., & Lepper, M. R. (2000). When choice is demotivating: Can one desire too much of a good thing? Journal of Personality and Social Psychology, 79(6), 995–1006. https://doi.org/10.1037/0022-3514.79.6.995
Shen, L. (2014). Antecedents to psychological reactance: The impact of threat, message frame, and choice. Health Communication, 30(10), 975–985. https://doi.org/10.1080/10410236.2014.910882
Zuckerman, M., Porac, J., Lathin, D., & Deci, E. L. (1978). On the importance of self-determination for intrinsically motivated behavior. Personality and Social Psychology Bulletin, 4(3), 443–446. https://doi.org/10.1177/014616727800400317
Miller, C. H., Burgoon, M., Grandpre, J. R., & Alvaro, E. M. (2006). Identifying Principal Risk Factors for the Initiation of Adolescent Smoking Behaviors: The Significance of Psychological Reactance. Health Communication, 19(3), 241–252. https://doi.org/10.1207/s15327027hc1903_6
ADVERTISEMENT