Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sukses tapi Merasa Gagal? Waspadai 6 Karakteristik Impostor Phenomenon Ini!
29 November 2022 14:31 WIB
Tulisan dari NAJWA CHANA INDICA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apakah kamu pernah merasa gagal bahkan ketika sudah mencapai kesuksesan? Atau apakah kamu pernah menganggap pencapaian yang kamu raih itu hanya sebuah keberuntungan? Atau malah kamu selalu menghina dirimu ketika kamu merasa gagal? Hm…
ADVERTISEMENT
Setiap orang jelas ingin mengukir prestasi, baik dari bidang akademik, maupun non akademik. Pencapaian prestasi oleh seseorang seharusnya memberikan rasa bangga terhadap diri sendiri. Bahkan ketika ia gagal, seharusnya ia tetap merasa bangga karena telah berhasil mencoba. Namun, beberapa orang justru merasa pencapaian mereka adalah hasil faktor eksternal dan merasa malu mengakui kegagalannya. Ketika seseorang gagal dalam menginternalisasikan pencapaian yang ia raih, ia cenderung memandang dirinya sebagai seorang penipu (Sakulku & Alexander, 2011). Fenomena ini sering disebut sebagai impostor phenomenon atau impostor syndrome.
Seseorang dengan sindrom ini cenderung merasa takut ketika pada akhirnya orang lain menganggap bahwa ia tidak mempunyai kapabilitas yang sesuai seperti yang ia tunjukkan. Ia merasa pencapaian yang diraih berasal dari faktor eksternal seperti keberuntungan, bantuan dari orang lain, ataupun penampilan (Langford & Clance, 1993; Wulandari & Sia, 2007).
ADVERTISEMENT
Karakteristik Impostor Phenomenon
Menurut Clance, (1985) impostor phenomenon memiliki 6 karakteristik khusus. Orang yang mengalami impostor phenomenon tidak selalu memiliki 6 karakteristik tersebut. Namun, setidaknya terdapat minimal 2 karakteristik untuk mengetahui impostor phenomenon pada seseorang.
Siklus impostor merupakan karakteristik yang paling penting pada fenomena ini. Agar lebih mengerti, mari kita lihat pada sebuah contoh.
Fulan yang mengalami impostor phenomenon ditugaskan untuk mengerjakan suatu hal. Ia mulai merasa cemas dan meragukan kemampuan dirinya sendiri. Selanjutnya, ia akan bekerja sangat keras atau justru menunda-nunda pekerjaan. Fulan cenderung akan berpikir seperti berikut:
ADVERTISEMENT
Pemikiran seperti itu justru memicu kecemasan pada Fulan. Ia juga akan menolak respon positif terhadap dirinya. Dan pada akhirnya, siklus impostor akan berulang. Sangat disayangkan, bukan?
Clance (1985) mengobservasi bahwa seseorang dengan sindrom ini sering berada pada peringkat atas di kelas mereka. Sebagai contoh, Fulan merasa ia adalah murid paling pintar ketika berada di SMA karena berhasil memasuki universitas terbaik di negaranya. Namun, ketika beranjak di dunia perkuliahan, ia merasa dirinya orang terbodoh di sana. Akhirnya, Fulan akan mengabaikan kemampuan yang ia miliki dan merendahkan dirinya sendiri.
Clance (1985) menyebutkan bahwa karakteristik ini dan keinginan menjadi spesial sangat terkait. Seseorang akan cenderung menjadi perfeksionis. Contohnya, Fulan memiliki standar yang sangat tinggi terhadap impiannnya karena ingin menjadi spesial. Akibatnya ia akan menjadi perfeksionis dan bekerja secara berlebihan untuk mencapai kesuksesannya.
ADVERTISEMENT
Seseorang akan merasa sangat cemas ketika diberi tugas karena ia takut akan jatuh gagal. Karakteristik ini mendasari motif sebagian besar dari mereka (Clance & O’Toole, 1988). Ketika ia gagal atau melakukan kesalahan, ia akan merasa malu dan cenderung merendahkan diri sendiri. Maka dari itu, seseorang yang memiliki impostor phenomenon cenderung bekerja lebih keras guna menghindari kegagalan yang mereka tidak inginkan (Clance, 1985).
Seseorang dengan sindrom ini merasa kesulitan untuk menerima pujian dari orang lain karena ia merasa tidak pantas. Bahkan, ia akan lebih berfokus pada argumen lain untuk membuktikan bahwa dirinya tidak pantas dipuji (Clance, 1985).
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, Fulan menerima banyak pujian atas pencapaian yang ia raih. Lalu, ia merasa bersalah karena ia merasa berbeda. Terlebih lagi, ia semakin takut orang akan memiliki ekspetasi lebih terhadap dirinya karena ia tidak ingin orang lain mengetahui bahwa dirinya ‘penipu’. Alhasil, Fulan menjadi tidak yakin untuk menjaga kinerjanya dan tidak berani mengambil tugas atau tanggung jawab yang lebih berat.
Strategi Melawan Impostor Phenomenon
Meskipun terdapat 6 karakteristik yang menandakan impostor phenomenon, namun masih ada 7 strategi yang dapat kita lakukan untuk membantu mengatasinya.
Coba cari tahu fakta/bukti apa yang mendukung bahwa kamu layak dan pantas dalam peran kamu?
Ini dapat membantu mereka untuk berbagi apa yang mereka lihat dalam diri kamu.
ADVERTISEMENT
Lakukan mulai dari hal kecil seperti menyimpan atau menulis respon positif yang kamu dapat.
Daripada menurunkan standar, cobalah untuk menyesuaikan standar dengan pencapaian yang kamu dapat.
Cobalah untuk lebih berfokus pada faktor internal dirimu.
Berbagi pengalaman kegagalan dapat memberi gambaran yang lebih realistik terhadap usaha orang lain.
Mengatasi sindrom ini bukan berarti menghilangkannya sama sekali. Sindrom ini dapat muncul kapan saja. Jadi, kita harus memahami bahwa berada dalam posisi apa pun, perasaan seperti ini dapat timbul kembali.
Referensi
Ati, E. S., Kurniawati, Y., Nurwanti, R. (2015). Peran impostor syndrome dalam menjelaskan kecemasan akademis pada mahasiswa baru. Jurnal Psikologi Mediapsi, 1(1), 1-9. https://doi.org/10.21776/ub.mps.2015.001.01.1
ADVERTISEMENT
Fitriyah, S. M. (2021). Surviving Impostor Syndrome: Navigating Through the Mental Roller coaster of a Doctoral Sojourn. Journal of International Students, 12(2). https://doi.org/10.32674/jis.v12i2.3274
Nurhikma, A., & Nuqul, F. L. (2020). Saat prestasi menipu diri: peran harga diri dan ketangguhan akademik terhadap impostor phenomenon. Intuisi Jurnal Psikologi Ilmiah, 12(2), 145-154. https://doi.org/10.15294/intuisi.v12i2.20614
Sakulku, J., & Alexander, J. (2011). The impostor phenomenon. International Journal of Behavioral, 6 (1), 73-92. Diunduh dari: http://bsris.swu.ac.th/journal/i 6/6-6_Jaruwan_73-92.pdf
Gottlieb M, Chung A, Battaglioli N, Sebok-Syer SS, Kalantari A. (2020). Impostor syndrome among physicians and physicians in training: A scoping review. Med Educ, 54, 116–124. https://doi.org/10.1111/medu.13956
Clance, P. R., & Imes, S. A. (1978). The impostor phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy: Theory, Research, and Practice, 15(3), 241–247.
ADVERTISEMENT
Clance, P. R. (1985). The Impostor Phenomenon: Overcoming the fear that haunts your success. Georgia: Peachtree Publishers.