Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Matinya Wali Kota, Matinya Nurani
20 Januari 2019 19:58 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:48 WIB
Tulisan dari Naldo Helmys tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gdansk barangkali bukan kota yang lagi asing di telinga, khususnya bagi pencinta sepak bola Tanah Air. Salah satu talenta terbaik Garuda, Egy Maulana Vikri, merumput bersama klub sepak bola terbesar di kota tersebut, Lechia Gdansk, di kasta tertinggi kompetisi sepak bola di Polandia.
ADVERTISEMENT
Namun, di luar lapangan hijau, ada cerita lain dari Gdansk. Wali Kota Gdansk, Pawel Adamowicz, ditusuk hingga tewas beberapa hari silam (14/01). Sang wali kota adalah figur liberal populer. Dia dibunuh di hadapan ratusan orang saat menghadiri acara amal the Great Orchestra of Christmas.
Bukan hanya istri dan kedua putrinya yang kehilangan. Pemakamannya diiringi oleh ribuan warga kota yang bersimpati. Belasungkawa tidak hanya datang dari seluruh Polandia, tetapi juga beberapa negara Eropa. Gdansk sekarang seorang yatim, sebab Adamowicz yang telah tiada, telah mengurus kota pelabuhan terbesar di Polandia itu sejak tahun 1998. Masa dua puluh tahun tentu bukan waktu yang sebentar untuk sebuah kekuasaan.
Dalam politik Polandia, Adamowicz adalah sosok penting bagi Partai Platforma Obywatelska (Civic Platform). Adamowicz sudah bergabung bersama partai sejak tahun 2002, pertama kali partai didirikan. Selama delapan tahun, partai berhaluan liberal dan pro-Uni Eropa itu memimpin Polandia sebelum kalah pada pemilu 2015.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan parlemen selanjutnya beralih ke tangan partai konservatif, PiS atau Prawo i Sprawiedliwosc (Law and Justice). Partai ini berhaluan Eropa-skeptisisme, suatu pandangan yang menilai bahwa bergabung dengan Uni Eropa lebih condong merugikan negara.
Sejak itu, hubungan Polandia dan Uni Eropa tidak begitu baik. Dalam pemilihan wali kota setahun silam, Adamowicz maju dari jalur independen. Namun, Civic Platform tetap mendukungnya. Salah satunya karena dia adalah pengkritik PiS yang konsisten. Terkait pembunuhan keji tersebut, petinggi PiS turut mengutuk aksi tersebut.
Pelaku penusukan dikabarkan mengalami gangguan mental. Namun, yang jadi masalah, bagaimana seseorang yang mengalami gangguan psikologis dapat terdorong begitu saja untuk membunuh salah satu petinggi politik di Polandia? Jelas, ini bukan hanya masalah seorang individu yang tidak puas dengan pemerintah. Pembunuhan ini adalah klimaks dari perpecahan politik yang membelah warga Polandia.
ADVERTISEMENT
Publik Polandia sudah lama terbelah, saling tuduh, saling ejek, dan saling fitnah gara-gara perbedaan pandangan politik. Yang satu dikatakan pro terhadap asing atau imigran, sedang yang lain tampil seolah sebagai pembela kedaulatan bangsa. Ujaran kebencian dan rasisme dengan mudah tersebar. Gambaran itu tak asing karena beberapa negara di belahan dunia lain, baik di Eropa, Amerika Serikat, Brazil, dan bahkan di Indonesia sendiri, tengah terjadi benturan dua narasi, liberal dan konservatif.
Bumbu agama pun tidak dapat dihindari untuk memperkeruh suasana. Itulah mengapa Uskup Agung Gdansk, Slawoj Leszek, menyerukan agar perpecahan politik di tengah rakyat Polandia harus diakhiri. Kematian wali kota adalah pelajaran, ganjaran, dan peringatan.
Dari Gdansk, kita dapat belajar rupanya retorika mengadu domba dari elit politik akhirnya memakan korban. Terlepas dari pro dan kontra soal pandangan liberal Adamowicz, pembunuhannya menunjukan bahwa hati nurani dan kemanusiaan barangkali sudah mati. Seorang yang mencita-citakan masyarakat inklusif dibunuh di hadapan ratusan orang, saat acara amal mengumpulkan dana untuk pelayanan kesehatan. Ironisnya, peristiwa itu terekam dan tersebar jelas. Jelas, ini adalah pukulan bagi rakyat Polandia dan pelajaran bagi siapapun.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah umat manusia, ujaran kebencian memang bukan hal baru. Namun, yang mengkhawatirkan, di negara demokratis, ia menjamur menjelang dan pasca-pemilihan umum. Apalagi saat ini populisme dan politik sayap kanan-jauh sedang sibuk menggambar-gemborkan narasi-narasi antiasing. Belum lagi media sosial saat ini adalah wadah yang ampuh untuk memproduksi, mengemas, dan menyebarluaskan ujaran kebencian, rasisme, dan hal diskriminatif lainnya.
Bagi Indonesia yang sudah ditakdirkan majemuk, tentu saja, ada suatu kewajiban untuk menjaga agar ujaran kebencian ini tidak berkembang. Tidak dapat dimungkiri, Bangsa Indonesia terdiri dari banyak ras, suku bangsa, dan agama. Sampai kapan pun, perbedaan itu akan tetap demikian. Kalau tidak dirawat, sampai kapan pun, Indonesia akan terjebak dengan perang sipil atau konflik etnis.
Penting untuk dicatat bahwa saat ini di dunia, perang antarnegara begitu sedikit, sedangkan konflik antaretnis, konflik horizontal di dalam negeri, atau perang sipil antara minoritas dengan pemerintah yang disokong oleh mayoritas adalah masalah utama keamanan dunia yang tidak dapat diabaikan.
ADVERTISEMENT
Belajar dari para pakar yang sudah mengkaji konflik, perbedaan di tengah masyarakat itu tidak akan bisa hilang atau disatukan. Penyatuan biasanya tidak dapat dilakukan, kecuali dengan cara paksa. Sedangkan paksaan hanya akan memperpanjang lingkaran setan konflik kemanusiaan.
Hal yang paling memungkinkan untuk diperbuat adalah memahami perbedaan dan kemudian merayakannya. Soal imigran misalnya, baik pendatang maupun yang telah lama menetap mestinya dapat saling bertukar informasi, berbaur, dan berdialog, agar tercipta rasa percaya dan saling memahami. Namun, kalau keduanya masih menyekat diri, tentu saling curiga akan mengabadi.
Tidak mudah memang untuk mengerti bagaimana mereka (other) dengan pandangan kita (we). Namun, agar Indonesia ini terawat dan dapat menjadi rumah damai bagi semua, mau tidak mau kita harus melangkah ke sana. Kalau tidak, mungkin kita butuh korban-korban lain yang lebih parah daripada duka di Gdansk.
ADVERTISEMENT