Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Politik Luar Negeri Inggris Tanpa Boris Johnson
13 Juli 2022 13:08 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Naldo Helmys tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kursi panas pucuk pimpinan Tory, julukan Partai Konservatif yang berkuasa di Inggris, diperebutkan sejumlah kandidat setelah Boris Johnson mundur sebagai pemimpin partai sekaligus perdana menteri. Siapapun yang mendapat mandat parlemen, quo vadis politik luar negeri Inggris selanjutnya tidaklah terlalu cepat digaungkan.
ADVERTISEMENT
Ada 358 anggota parlemen Tory di Dewan Rakyat. Mereka yang akan menentukan siapa perdana menteri selanjutnya. Bakal calon semula ada sepuluh orang, tetapi Sajid Javid, mantan Menteri Kesehatan, dan Rehman Chishti gagal memperoleh 20 suara sehingga tidak dapat maju pada pemilihan ronde pertama. Delapan calon tersisa harus mengamankan 30 suara agar tidak dieliminasi. Proses ini terus berlanjut sampai tersisa dua calon. Pemenangnya akan memimpin pemerintahan Inggris.
Mereka yang tersisa termasuk nama-nama yang berpeluang besar. Sebut saja Rishi Sunak, mantan Menteri Keuangan yang pengunduran dirinya turut meruntuhkan kepercayaan Tory terhadap Boris Johnson. Lalu ada Penny Mordaunt, perempuan pertama yang menjadi Menteri Pertahanan Inggris pada 2019. Tidak kalah berpeluang adalah Liz Truss, Menteri Luar Negeri yang langsung meninggalkan Bali pada pertemuan G20 setelah mengetahui dinamika politik di Westminster. Kandidat lain adalah Kemi Badenoch, Suella Braverman, Jeremy Hunt, Tom Tugendhat, dan Nadhim Zahawi.
ADVERTISEMENT
Di antara mereka, belum satu pun yang memberi gambaran politik luar negeri Inggris ke depan. Para kandidat seolah sibuk memperbaiki kekacauan yang telah diperbuat Johnson tiga tahun belakangan: mulai dari biaya hidup bengkak hingga berita politik penuh skandal. Para kandidat, meski punya gaya kepemimpinan tersendiri, sepertinya akan meneruskan beberapa kebijakan luar negeri Johnson.
Johnson kerap dipandang kurang kreatif dan dikritik seperti troli belanja yang penuh ragu. Namun, di Eropa pamornya sedang naik. Dia menghadirkan Inggris menjadi punggawa negara demokrasi untuk melindungi kontinen dari ancaman Rusia.
Selama invasi Rusia ke Ukraina, Johnson sudah dua kali melakukan kunjungan resmi terhadap Presiden Volodymyr Zelenskyy. Bahkan, beberapa minggu sebelum invasi, tepatnya 1 Februari, Johnson sudah ke Ukraina dan memberi sinyal akan adanya pergerakan nyata Rusia. Johnson juga memberikan jaminan keamanan kepada Swedia dan Finlandia dalam proses penggabungan kedua negara pada keanggotaan NATO, sesuatu yang jelas tidak diinginkan Rusia.
ADVERTISEMENT
Lantas apa selanjutnya? Penerus Johnson akan tetap memandang penting Rusia sebagai ancaman, tetapi tidak tampak ada niat untuk menurunkan eskalasi konflik. Dukungan Inggris secara militer terhadap Ukraina lebih tampak sebagai upaya provokatif, meskipun Rusia tidak etis menggunakan provokasi sebagai alasan untuk menduduki daerah timur Ukraina.
Media arus utama Inggris pun lebih tertarik dengan pertemuan ‘hangat’ Johnson-Zelensky daripada upaya perdamaian nyata yang dilakukan Presiden Joko Widodo. Patut dicatat, Johnson tidak pernah bertemu lagi secara resmi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin sejak invasi. Sedangkan Presiden Joko Widodo hanya dalam waktu dua hari melakukan diplomasi nyata untuk perdamaian, dengan cara menampung pesan Zelensky untuk disampaikan langsung kepada Putin. Tukang keruh kadang lebih menarik daripada pejuang perdamaian.
ADVERTISEMENT
Dikhawatirkan, konflik Rusia-Ukraina akan dieksploitasi sedemikian rupa, siapa yang berani menjamin untuk menampar Rusia, mungkin akan mendapat suara lebih. Menlu Liz Truss mungkin lebih paham!
Faktor Ideasional
Politik luar negeri ditentukan oleh kepentingan nasional. Sedangkan kepentingan nasional diarahkan oleh identitas bangsa. Dalam konteks Inggris, aspek ideasional yang menentukan politik luar negeri ini adalah metafora Winston Churchill yang dikemukakan tahun 1948.
Salah satu tokoh Partai Konservatif itu menempatkan Inggris pada titik temu tiga lingkaran yaitu ‘Persemakmuran dan Kekaisaran Britania’, ‘dunia penutur bahasa Inggris’, dan ‘Eropa Bersatu’. Namun, Inggris juga melihat dirinya sebagai pusat pelayaran dan penerbangan dari ketiga dunia tersebut. Inggris tidak diharapkan menjadi kerajaan mati suri yang tenggelam dalam kepentingan Eropa, seperti Belanda, Belgia, Spanyol, atau Swedia.
ADVERTISEMENT
Memang, Inggris disibukan oleh gonjang-ganjing politik domestik. Adanya empat perdana menteri sejak 2016, ketika proses Brexit dimulai, jauh dari kata stabil. Namun, kondisi itu akan diproyeksikan kembali stabil sehingga peran global Inggris akan lebih dapat diantisipasi.
Tahun lalu Inggris sudah memiliki aliansi militer dengan Australia dan Amerika Serikat (AUKUS). Perkembangan ini menarik! Pendorong AUKUS paling gigih adalah AS yang memerlukan aliansi yang lebih segar untuk mengimbangi pengaruh China di Asia Tenggara. Namun, keikutsertaan Inggris diantisipasi lebih dari sekadar sekutu dekat AS, melainkan berpotensi untuk perluasan pengaruh di kawasan.
Secara tradisional, dua negara ASEAN, yaitu Malaysia dan Singapura, adalah sekutu Inggris yang tergabung dalam aliansi militer FPDA. Aliansi berusia 51 tahun itu merupakan singgungan antara Inggris dengan bekas koloninya. Berbeda dengan FPDA, AUKUS lebih strategis karena dibentuk untuk mengantisipasi tantangan baru dan nyata. Dalam hal ini ASEAN perlu terus memantau pergerakan AUKUS, salah satunya dengan memastikan aliansi itu untuk menghormati Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ). Jika tidak, dikhawatirkan akan ada rembesan teknologi nuklir dari Inggris ke ASEAN, yang tentu tidak diinginkan.
ADVERTISEMENT
Tidak berhenti di situ, seperti lingkaran Churchill inginkan, perluasan pengaruh Inggris tidak saja di samudera, tetapi juga di dirgantara. Rencana Inggris untuk membentuk versi ekonomi AUKUS dengan melibatkan Kanada, Australia, dan Selandia Baru (CANZUK) perlu ditinjau serius. Tujuan resmi CANZUK adalah untuk membentuk perdagangan bebas. Namun, patut diingat, keikutsertaan Kanada sangat strategis mengingat Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) bermarkas di Montreal. Perlu terus dipantau apakah Tory akan menggunakan CANZUK untuk meluaskan pengaruh kedirgantaraan lewat motif ekonomi.
Di tengah upaya berbenah Tory di Westminster, politik luar negeri Inggris akan berjalan pada arah yang semakin konservatif, dalam artian akan berupaya untuk mempertahankan tatanan dunia lama tanpa kebangkitan China. Dengan kata lain, keruh politik di London adalah juga untuk menentukan langkah apa yang akan diambil untuk dieksekusi di Asia Tenggara, yang perlu dihindari untuk sekadar jadi medan pengaruh Barat dan China.
ADVERTISEMENT