Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
The Game Changer: Efektivitas Kebijakan REDD+ melalui Result Based Payment dalam
4 Agustus 2024 13:54 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Nanang Eldi Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Global Warming adalah fenomena global yang dapat dialami oleh seluruh negara di dunia. Ini adalah permasalahan yang mendunia yang tidak dapat diatasi oleh hanya satu negara saja, melainkan memerlukan kerjasama antarnegara. Pemanasan global mengancam kelestarian ekosistem, mengurangi keanekaragaman hayati, dan mengganggu kehidupan manusia secara global. Untuk menanggulangi ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengadopsi suatu bentuk upaya yang disebut Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). REDD+ adalah kerangka kerja yang dibangun untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang, serta mempromosikan konservasi, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara-negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Mengapa hutan??
Hutan memiliki peran penting dalam menangani pemanasan global. Hutan menyerap CO2 dari atmosfer, sehingga mengurangi konsentrasi gas rumah kaca. Deforestasi dan degradasi hutan berkontribusi signifikan terhadap peningkatan emisi CO2 di udara. Oleh karena itu, pelestarian hutan menjadi sangat penting sebagai salah satu mitigasi perubahan iklim yang ada. REDD+ menggunakan mekanisme insentif global bagi beberapa negara berkembang yang mampu menjaga hutannya dari kerusakan yang lebih lanjut. Negara-negara berkembang diundang untuk ikut andil dalam bertanggung jawab terkait kerusakan yang dibuat oleh negara-negara maju.
Indonesia adalah salah satu negara dengan emisi karbon terbesar di dunia, dengan hutan yang sangat rentan terhadap deforestasi dan degradasi. Hutan Indonesia menyimpan 289 gigaton karbon dunia secara total, dan kehilangan lahan hutan hujan tropis sebesar 339.888 ha pada tahun 2018 menempatkan Indonesia di urutan ketiga setelah Brazil dan Kongo dalam daftar negara dengan angka kehilangan hutan hujan tropis tertinggi. Maka menjadi sangat penting kebijakan REDD+ ini diterapkan di Indonesia. Kebijakan REDD+ di Indonesia bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, serta mempromosikan konservasi dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, REDD+ memiliki kebijakan yang lebih spesifik yang bertujuan untuk memperkuat arsitektur REDD+ dan Sistem Registri Nasional , meningkatkan tata kelola hutan dan lahan, serta meningkatkan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada hutan. Strategi Nasional REDD+ 2021-2030 mencakup berbagai dimensi, termasuk Tata Kelola, Implementasi, Penerima Manfaat, Penggunaan Lahan, Pemantauan, Keanekaragaman Hayati, Pendanaan, dan lain-lain, yang sangat penting untuk perencanaan dan pelaksanaan program yang efektif. Beberapa daerah yang telah di terapkan kebijakan ini adalah Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Implementasi REDD+ di berbagai wilayah di Indonesia telah melibatkan berbagai inisiatif dan kemitraan global, serta upaya untuk meningkatkan tata kelola hutan dan lahan, meningkatkan mata pencaharian masyarakat, dan mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan.
ADVERTISEMENT
Ada apa dengan hutan Indonesia?? Berdasarkan laporan KLHK pada tahun 2016 hutan Indonesia berhasil menurunkan emisi karbon sebesar 8,7% dari target penurunan sebesar 29% jika di konversi kedalam Gigaton maka sekitar 131,7 Gg C02e. Dari pernyataan tersebut kita tau bahwa hutan Indonesia memiliki peran penting dalam menurunkan emisi karbon baik lokal maupun secara global sehingga memang diperlukan kebijakan REDD+ ini.
Implementasi REDD+ tidak terlepas dari RBP (Result Based Payment). RBP adalah sistem pembayaran yang memberikan insentif kepada negara atau pihak yang berhasil mencapai target pengurangan emisi karbon melalui program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Sistem ini didasarkan pada prinsip bahwa pembayaran hanya diberikan setelah target pengurangan emisi karbon tercapai, bukan berdasarkan jadwal atau estimasi. Indonesia sendiri telah mengimplementasikan RBP dalam beberapa proyek REDD+. Pada tahun 2014-2016, Indonesia menerima dana sebesar USD 103,8 juta dari Green Climate Fund (GCF) untuk proyek REDD+ yang mencapai pengurangan emisi sebesar 20,25 juta ton CO2eq. Selain itu, Indonesia juga menerima dana dari Indonesia-Norway Partnership dan FCPF-Carbon Fund untuk proyek-proyek REDD+ yang berfokus pada pengurangan emisi karbon.
ADVERTISEMENT
RBP biasanya diberikan untuk kinerja pengurangan emisi karbon yang terukur dan terverifikasi. Contohnya, dalam proyek RBP REDD+ untuk periode 2014-2016, pembayaran diberikan berdasarkan hasil pengurangan emisi karbon yang tercapai. Program Prioritas Kehutanan (PPK) yang meliputi Perhutanan Sosial, Program Kampung Iklim, dan Penanganan Karhutla juga merupakan bagian dari proyek-proyek yang mendapatkan dana melalui RBP. Lebih jauh lagi, RBP juga mendukung pengembangan arsitektur REDD+ serta kapasitas implementasi REDD+ di tingkat provinsi dan lokal. Hal ini dilakukan melalui konsultasi multi-pemangku kepentingan dan pengembangan STRANAS (Standar, Prinsip, Kriteria, dan Indikator) yang mendasari proyek RBP.
Pengelolaan dana RBP REDD+ dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dengan bimbingan dan koordinasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Proyek RBP REDD+ melibatkan berbagai komponen, termasuk program prioritas nasional, result-based payment untuk verified ER (kinerja ER pada 2014-2016), alokasi untuk subnasional/provinsi, program implementasi NDC pada sektor nasional, dan kegiatan pendukung/enabling condition.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan dampaknya?
Menurut data Global Forest Watch , laju deforestasi Indonesia telah melambat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir (2016-2021). Sebagian besar kehilangan hutan primer di Indonesia akibat deforestasi yang didorong oleh komoditas sebenarnya terjadi di wilayah yang secara hukum diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, bukan hutan primer. Namun, pada tahun 2022 dan 2023 menunjukkan peningkatan deforestasi pada hutan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat penurunan penerapan REDD+.
Apa masalahnya??
Pembangunan ekonomi menjadi alasan utama Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan yang menghambat implementasi REDD+. Di sektor kehutanan, KLHK mendapat tekanan signifikan dari kepentingan pertambangan untuk mengalokasikan kawasan hutan bagi kegiatan pertambangan. Di sektor pertanian, Kementerian Pertanian mendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas kawasan hutan yang dikonversi menjadi kawasan non-hutan dalam kurun waktu 1986-2012 mencapai 5,8 juta hektare, dengan 99% diperuntukkan bagi perkebunan. Pada tahun 2021 dan 2022 Perkebunan sawit ini juga menjadi penyumbang terbesar deforestasi hutan Indonesia. Selain itu, sektor pertambangan juga berdampak signifikan terhadap tutupan hutan. Melihat fenomena ini terdapat inkonsistensi regulasi tersebut dengan REDD+ khususnya regulasi yang terkait dengan sektor kehutanan.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, tentunya tidak akan pas jika menilai efektivitas REDD+ ini hanya dengan melihat dari sisi outputnya, dari sisi kinerja pemerintah beberapa hal yang masih perlu diperbaiki adalah, pertama terkait dengan kurangnya integrasi kolaborasi yang efektif. Implementasi REDD+ yang tidak hanya di tingkat nasional tapi sub nasional dan lokal menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam berkolaborasi. Selanjutnya, keterbatasan data dan monitoring, data yang reliable di butuhkan untuk memastikan kebijakan REDD+ ini berjalan dengan baik, namun pengumpulan data dilapangan menjadi sebuah tantangan tersendiri dari pemerintah maupun pihak donatur. Kemudian, kesulitan dalam pengakuan identitas Masyarakat Adat, Seperti yang kita ketahui masih banyak masyarakat Adat di hutan-hutan Indonesia hal ini tentu bukan masalah yang bisa dianggap sepeleh. Selanjutnya Pengelolaan dan Pengawasan yang Lemah, Sistem monitoring dan evaluasi yang lemah serta kurangnya kerangka kerja yang kuat untuk memastikan akuntabilitas sering menjadi masalah. Hal ini mengakibatkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam distribusi manfaat REDD+. Berikutnya Pembayaran Berbasis Hasil (RBP) tidak selalu efektif, Pendekatan pembayaran berbasis hasil tidak selalu menjamin efektivitas REDD+. Konteks di mana hasil didefinisikan dan disepakati, bersama dengan kondisi yang memungkinkan penerimaan sosial dan politik, sangat penting untuk keberhasilan​​. Terakhir, pemenuhan syarat dan keterbatasannya dukungan teknis.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan masalah-masalah sebelumnya, kita tahu bahwa masih banyak tugas yang harus di selesaikan oleh pemerintah Indonesia, termasuk bagaimana mengalokasikan pengurangan emisi kepada pemerintah provinsi dan strategi pelibatan swasta dalam REDD+. Dari semua masalah yang ada koordiasi menjadi tantangan yang signifikan dalam implementasi EDD+.
Kebijakan REDD+ di Indonesia telah menunjukkan beberapa hasil positif, seperti penurunan laju deforestasi dan pengurangan emisi karbon yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Implementasi REDD+ melalui mekanisme Result Based Payment (RBP) telah membantu Indonesia menerima dana internasional untuk proyek-proyek pengurangan emisi karbon. Pada tahun 2014-2016, Indonesia berhasil menerima dana sebesar USD 103,8 juta dari Green Climate Fund (GCF) setelah mencapai pengurangan emisi sebesar 20,25 juta ton CO2eq. Namun, tantangan masih ada, termasuk peningkatan laju deforestasi pada tahun 2022 dan 2023, tekanan ekonomi dari sektor pertambangan dan perkebunan, serta masalah tata kelola dan koordinasi antar kementerian.
ADVERTISEMENT
Untuk meningkatkan efektivitas REDD+, pemerintah Indonesia perlu meningkatkan koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait untuk mengurangi konflik kepentingan dan memperkuat tata kelola hutan. Pemerintah juga harus memperluas keterlibatan pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat dan sektor swasta, dalam perencanaan dan pelaksanaan program REDD+. Selain itu, peningkatan kapasitas teknis dan sumber daya untuk monitoring dan verifikasi pengurangan emisi karbon sangat penting. Pemerintah juga perlu mengatasi tekanan ekonomi dari sektor pertambangan dan perkebunan dengan mengembangkan kebijakan yang sejalan dengan tujuan REDD+.
Dengan peningkatan tata kelola dan dukungan internasional, REDD+ memiliki potensi besar untuk membantu Indonesia mencapai target pengurangan emisi karbon, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada hutan. Upaya yang konsisten dan kolaboratif dari berbagai pihak akan sangat menentukan keberhasilan REDD+ dalam jangka panjang. Selain itu, penguatan mekanisme monitoring dan evaluasi, serta transparansi dalam pengelolaan dana REDD+, akan menjadi kunci penting dalam memastikan keberlanjutan program ini. Inovasi dalam pengelolaan hutan dan penggunaan teknologi juga dapat mendukung implementasi REDD+ yang lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam upaya global mengatasi perubahan iklim melalui pelestarian hutan.
ADVERTISEMENT